[caption caption="Sumber gambar: opensource.com"][/caption]Kita tentu masih ingat bahwa WS Rendra pernah menulis sebuah syair: Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
Bait syair ini secara makna mempunyai implikasi yang sangat dalam terutama terletak pada baris bait: “pelaksanaan kata-kata”. Syair ini hendak memberitahukan dan menunjukkan kepada kita bahwa setiap kata yang diucapkan seseorang tidaklah hadir menyendiri dalam sebuah ruang kosong, tetapi ia hadir dalam sebuah ruang aktivitas di mana terjadi proses dialogis di dalamnya.
Oleh karena itu, setiap kata yang diucapkan seseorang, tentu mempunyai implikasi retorik, karena ketika hadir dalam sebuah ruang publik, kata-kata yang diucapkan bisa bernilai baik atau buruk; benar atau salah; jujur atau bohong bahkan kita dapat menilai berkualitaskah kata-kata itu atau tidak.
Berbicara sejatinya merupakan hasil dari serangkaian aktivitas berpikir seseorang yang kemudian dituangkan dalam medium lisan ataupun tulisan. Dalam medium lisan, berbicara umumnya berkaitan sedikit banyak dengan suasana batin atau psikologis seseorang apakah dia senang, benci, merasa takut, atau stress sehingga berdampak terhadap setiap kata yang diucapkannya terlebih jika dihadirkan pada ruang publik. Ketika berbicara, selalu terdapat dimensi internal dan eksternal.
Dimensi internal ialah situasi psikologis dan intensi atau kehendak pikir, sedangkan dimensi eksternal ialah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam wujud lahir, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada “orang lain”.
Berbicara berarti melibatkan pikiran, emosi atau tindakan lain yang melingkupinya. Mengolah pikiran, emosi dan tindakan dapat menentukan output bahasa yang dipergunakan. Tepat seperti apa yang dikatakan Imam al-Ghazali, bahwa 'seseorang bisa selamat ketika menjaga apa yang keluar dari ucapannya' (salamatul insaan fi hifdzillisaan).
Belakangan, kita disuguhkan oleh media, sebuah tontonan “perang” retorika yang dilakukan sementara elite di negeri ini. Mereka berbicara dan lebih luasnya berbahasa sudah tidak lagi dilandasi aktivitas berpikir, namun hanya berlandaskan suasana batin dan psikologis sehingga kata per kata yang dilontarkan tidak lagi memperjuangkan esensi kebenaran tetapi justru menunjukkan rasa kebencian, kekhawatiran atau dalam tekanan sehingga mereduksi bahasa dan maknanya sendiri.
Padahal, “bahasa menunjukkan kualitas pembicara”, sehingga semakin baik bahasa yang digunakan semakin baik pula kualitas orang yang berbicara tersebut. Tentu publik akan lebih dapat menilai dan membedakan sejauh mana kualitas seseorang ketika berkomunikasi dalam ruang publik. Komunikasi tentu saja tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi bisa juga dalam bentuk tulisan yang sering kita baca.
Belakangan ini, ada sementara pemimpin politik yang mengumbar kata-katanya karena mungkin dilandasi motif kebencian terhadap lawan politiknya, atau ada juga seseorang yang motifnya karena memang “menyukai” seseorang atau klik-nya sehingga kata-kata yang keluar tampak sebagai untaian kata-kata pembelaan yang terkadang dipaksakan. Namun yang lebih parah, ada juga yang berkata-kata tapi tidak jelas motifnya apa, bisa motif kebencian, politis atau karena “dukungan” terhadap seseorang.
Seperti yang pernah kita saksikan di media bahwa ada pemimpin politik atau elite yang melakukan “nazar politik”. Saya menyebut nazar politik karena biasanya kata-kata ini paling sering diucapkan politisi dan memiliki implikasi politis. Entah mungkin dalam rangka counter terhadap “kekuatan” politik lain yang dianggap sebagai tantangan bagi dia atau bisa saja karena beban psikologis yang sedang dialaminya.
Publik kemudian dapat menilai ketika “pelaksana kata-kata” dalam nazar politik tersebut tidak mampu dibuktikan. Implikasi lebih lanjut dari sebuah nazar politik adalah bahwa berbicara mempunyai landasan moral dan eskatologis, di mana seseorang yang berbohong atau bersumpah palsu merupakan tindakan kejahatan dan tergolong dosa.