Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tito Karnavian dan Penegasan Sinkretisme Islam

9 April 2017   09:51 Diperbarui: 9 April 2017   22:00 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada hal menarik dalam sebuah acara seminar yang diadakan di Hotel Aryaduta pada Sabtu (8/4) kemarin, dimana Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan menawarkan solusi untuk menahan arus kuat radikalisme dengan mengembangkan ideologi Islam sinkretik. Tawaran tandingan untuk ideologi radikalisme ini, menurutnya ada tiga, yaitu Pancasila, Islam sinkretis dan demokrasi. Ketiga ideologi ini adalah tawaran keniscayaan yang secara langsung dapat membungkam ideologi radikalisme yang belakangan ini terendus di Indonesia yang dimunculkan pihak-pihak tertentu sehingga melahirkan gerakan anti-kebangsaan dan anti-kebhinekaan yang berujung terorisme. 

Padahal, istilah Islam sinkretik sebenarnya lebih membawa konotasi negatif, karena unsur-unsur Islam sebagai ajaran agama “dicampur” dengan nilai-nilai budaya yang telah tumbuh dalam masyarakat. Dengan demikian, “percampuran” antara nilai-nilai moral dalam agama, baik itu dalam bentuk ritual atau non-ritual dengan budaya menjadi hal yang wajar bahkan dapat menjadi alternatif sebagai “ideologi baru” yang akan menangkal ideologi radikal.

Bagi saya, pengertian Islam sinkretis justru pada tahap tertentu akan sangat berbahaya, karena nilai-nilai sakral dalam ajaran agama akan jatuh terjerembab menjadi sekedar adat atau budaya yang lebih kental nuansa profan dan tentunya mistik. Penyebutan istilah “Islam sinkretik” walaupun kemudian yang dimaksud Pak Tito mengacu pada model Islam moderat yang memiliki citra nusantara—sebagaimana dikembangkan organisasi Islam NU—dan model “Islam berkemajuan” a la Muhammadiyah, tetap saja menjadi istilah baru yang bisa saja membuat pro-kontra ditengah masyarakat. 

Istilah “sinkretisme” sendiri ketika dipadukan dengan ajaran agama. Hal ini dapat sedikit dijelaskan melalui apa itu sinkretisme yang dibahasakan oleh John L Esposito bahwa ia lebih merupakan sebuah “fenomena yang bercampur antara praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda”. Pada akhirnya, sinkretisme akan meleburkan “nilai asli” agama kedalam praktik-praktik baru kebudayaan itu sendiri.

Saya kira, praktik penerimaan atas budaya dalam agama yang dikembangkan oleh kalangan tradisionalisme NU, misalnya, bukanlah penerimaan atas budaya atau adat istiadat yang “menyimpang” dari ajaran agama, ia tak lebih dari sekedar bersikap “akomodatif” untuk menerima berbagai praktik tradisi atau budaya yang memang sudah menjadi kebiasaan umat Islam. Sikap akomodatif kalangan NU bukanlah bentuk sinkretisme melainkan “melanjutkan” ajaran-ajaran baik dalam masyarakat yang memang sudah diverifikasi oleh para ulama sebagai bagian dari tradisi keagamaan itu sendiri. Praktik tahlilan, selametan, talqin, ratiban, sholawatan adalah bentuk-bentuk nyata dari penerimaan kalangan muslim tradisional di lingkungan NU terhadap tradisi keagamaan yang bukan merupakan sinkretisme agama. Saya justru khawatir jika kemudian Islam sinkretik ini dikembangkan yang ada malah praktik-praktik bid’ah yang tentu saja dapat merusak kemurnian nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

Saya sendiri sangat sepakat dengan terminologi Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan yang dikembangkan secara bersamaan baik oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Kedua terminologi ini sama-sama berangkat untuk memberikan citra Islam rahmatan lil ‘alamin dimata dunia, dimana Islam tidak bersikap “kaku” atau “gagap” dalam proses sejarah perkembangan zaman. Nilai-nilai Islam yang dibawa sejak zaman Nabi Muhammad justru harus mampu menjawab seluruh tantangan zaman, baik golabilasi, modernisasi, kapitalisasi bahkan dalam tahap tertentu harus juga mampu menjawab sekularisasi dan liberalisasi. Metodologi Islam yang dibawa oleh NU dan Muhammadiyah tidak menjalankan metode sinkretik, tetapi justru “otentik” memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya tanpa harus melawan atau bertentangan dengan tradisi yang telah ada.

Bagi saya, banyak hal untuk menyuguhkan ideologi tandingan yang disebut Jenderal Tito Karnavian sebatas pada tiga ideologi, Pancasila, Islam sinkretik dan demokrasi, yaitu penegakkan keadilan. Prinsip keadilan yang akan lebih banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat tidak hanya menempatkan seseorang atau kelompok lebih memilih melakukan hal-hal baik yang bermanfaat tetapi lebih dari itu, sikap adil akan menurunkan tensi permusuhan, kebencian dan pada tahap tertentu justru akan memberangus ideologi-ideologi ekstrim yang berkembang dalam masyarakat. 

Banyak hal yang kemudian dapat dihasilkan oleh sebuah tatanan yang adil, dimana rakyat dan penguasa justru pada akhirnya saling bersinergi membangun peradaban. Di satu sisi, tawaran Pancasila sebagai “penantang” ideologi radikal tidaklah berdiri pada sebuah ruang kosong, tetapi bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat menguat dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Ini perlu dilakukan tidak sekedar penjabaran secara teoritis yang berhenti pada tataran konsep, diskusi, himbauan, tetapi harus termanifestasi dalam tataran praksis.

Namun demikian, saya tetap mengapresiasi upaya Kapolri yang tak henti-hentinya terus “melawan” radikalisme-terorisme dengan pengembangan metodologi anti-tesis dan counter terhadap ideologi-ideologi bermasalah di Indonesia, seperti radikalisme-terorisme. Walaupun terkadang kita juga harus kritis terhadap tawaran ideologi lain terutama menyangkut istilah-istilah baru yang digulirkan yang saya khawatir publik akan salah menterjemahkannya. 

Saya membayangkan ketika Islam sinkretik ini dibenarkan oleh pemerintah, ini artinya praktek-praktek bid’ah justru akan semakin marak dan pada tahap tertentu akan berbenturan dengan para tokoh agama dan ulama yang justru mereka menolak kegiatan pembid’ahan melalui upaya sinkretisme agama. Alangkah lucunya jika nanti tiba-tiba ajaran Islam berubah jadi mistisisme yang lebih mengedepankan praktik-praktik non-rasional dengan menghadirkan hal-hal ghaib dalam setiap persoalan. 

Bagaimanapun, sinkretisme dan mistisisme bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, keduanya berada pada tempat yang sama. Islam harus akomodatif bagi perkembangan zaman, tetapi menolak sinkretisme yang justru akan menggeser nilai-nilai murni ajaran Islam itu sendiri.  

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun