Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Tabayyun" SBY ketika Bertemu Jokowi

10 Maret 2017   10:12 Diperbarui: 11 Maret 2017   00:00 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertemuan yang sekian lama tidak pernah terwujud, antara dua tokoh penting nasional yang masing-masing merepresentasikan dua kekuatan politik yang saling bertentangan secara diametral, oposisi dan partai penguasa. SBY, yang mantan Presiden ke-6 memang sejak awal keberhasilannya menduduki kursi kepresidenan, mempunyai “dosa politik” terhadap parpol pengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dianggap “bermanuver” ketika masih menjadi menteri pertahanan di era Megawati. Megawati Soekarnoputri yang pada saat itu menjabat presiden seakan “ditelikung” SBY karena membentuk Partai Demokrat yang menjadikannya sebagai kendaraan politik yang mengantarkannya ke kursi kepresidenan.

Kekecewaan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri terhadap SBY sekian lama dapat dibuktikan melalui berbagai acara kenegaraan dimana setiap undangan yang seharusnya melibatkan para tokoh nasional sekaligus mantan-mantan presiden, tak pernah satu kalipun dihadirinya. Bahkan tak jarang, ketika dalam suatu pertemuan yang “tak disengaja” sekalipun, keduanya—SBY dan Megawati—tampak bersikap dingin sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap berbagai opini publik. Kondisi ini terus terbawa, hingga kemudian, “dewi fortuna” berpihak kepada parpol pimpinan Megawati yang sukses mengantarkan Jokowi menuju kursi kepresidenan. PDI-P yang menjadi partai penguasa, kemudian disikapi oleh parpol besutan SBY untuk menjadi oposisi dalam pemerintahan yang imbasnya tak ada satupun menteri yang berasal dari Partai Demokrat.

Dalam pilpres 2014 yang lalu-pun, Demokrat tetap pada pendiriannya, tidak mendukung salah satu dari dua kubu yang bertarung di kontestasi pilpres, ia tetap menjadi kekuatan politik oposisi sebagai “penyeimbang” diantara kekuatan politik yang ada, baik yang terkait di ranah legislatif maupun eksekutif. Sikap “oposan” yang ditunjukkan Demokrat, sedikit banyak telah menarik simpati masyarakat, sehingga mampu menjadikan sosok SBY sebagai cermin kekuatan politik yang semakin diperhitungkan. Tak jarang, Demokrat selalu ditunggu-tunggu kemana berlabuh kecenderungan dukungannya, disetiap ajang kontestasi politik. Pada Pilkada Jakarta, misalnya, kubu Demokrat selalu menjadi penasaran banyak pihak, kemana arah dukungannya pada waktu itu. Namun fakta berbicara lain, SBY dengan kekuatan politiknya mampu menggandeng parpol lain untuk berkoalisi dan menentukan calonnya sendiri untuk “dipertaruhkan” dalam ajang Pilkada DKI Jakarta.

Ajang unjuk kekuatan politik di perhelatan kontestasi Pilkada Jakarta, semakin menunjukkan bahwa SBY dan Partai Demokrat selalu menjadi kekuatan politik “penyeimbang” dengan tidak mendukung salah satu kubu politik manapun. Kekalahan calon yang diusung SBY di Pilkada Jakarta, bukanlah akhir dari petualangan politiknya, namun tetap semakin diperhitungkan oleh setiap kekuatan politik yang ada. Kenyataannya, sampai saat ini-pun, seluruh parpol pendukung AHY yang mengalami kekalahan di Pilkada Jakarta, belum sepenuhnya secara resmi mengalihkan dukungannya kepada calon lain. Akan sangat berbeda jika misalnya, SBY bermanuver mendukung salah satu pasangan, maka dipastikan seluruh parpol pendukung, bisa saja mengamini manuver SBY.

Kondisi “kurang harmonis” yang ditunjukkan oleh partai penguasa dan partai Demokrat, kemarin sengaja ditepis oleh Presiden Jokowi dengan mengundang secara resmi SBY untuk datang ke Istana Negara. Pertemuan dua tokoh yang diisukan “miring” oleh publik, karena masing-masing dipersepsikan sebagai “musuh” politik ternyata terjawab sudah, bahwa keduanya tetap memiliki kesamaan dalam hal memperbaiki kondisi bangsa dan negara. SBY bahkan menandai pertemuan ini sebagai langkah “tabayyun” yang titik tekannya adalah mengkonfirmasi ulang soal kebenaran isu-isu “miring” yang dipersepsikan publik kepada dirinya. SBY, misalnya, merasa sebagai pihak “tertuduh” sebagai penggerak beragam aksi yang diprakarsai oleh kelompok-kelompok Islam yang dipicu oleh kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Pertemuan antara SBY dan Presiden Jokowi dapat dijadikan sebuah langkah baru dalam menyongsong prospek kehidupan politik yang jauh lebih baik kedepan. Terlebih bahwa SBY secara gamblang menyatakan bahwa pertemuan ini tidak lebih sekadar “tabayyun” melakukan cek dan ricek serta konfirmasi sehingga menemukan sebuah jawaban atas kondisi yang sebenarnya. Saya kira, pertemuan ini menjadi langkah positif bagi prospek pembangunan politik, dimana masing-masing kekuatan politik—baik penguasa ataupun oposisi—tetap memiliki visi dan misi yang sama, yaitu mengedepankan isu-isu nasional untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa, bukan hanya sebatas perebutan kekuasaan yang bersifat sektoral yang sejauh ini ditunjukkan oleh masing-masing kekuatan politik.

Disamping itu, Presiden Jokowi juga menunjukkan dirinya sebagai seorang “negarawan” yang selalu berupaya “merangkul” berbagai pihak tanpa harus mengidentifikasikan dirinya  dengan parpol penguasa yang dipersepsikan banyak pihak hanya sekedar “petugas partai” yang harus sesuai dengan apa yang diperintahkan partai pengusungnya. Karena bisa jadi, bahwa yang dimaksud oleh SBY beberapa waktu yang lalu bahwa dirinya “dihalang-halangi” bertemu dengan Jokowi adalah benar adanya. Karena boleh jadi bahwa pimpinan parpol pengusung Jokowi sengaja tidak memberi ruang yang luas untuk SBY melakukan kembali manuver politik yang jelas-jelas pernah “menelikung” mereka. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap SBY justru ditepis oleh Jokowi dengan mengundang SBY bertemu secara khususu dengan penuh keakraban dan kehangatan.

Apa yang kemudian dibicarakan oleh kedua tokoh nasional ini saya kira tidak begitu penting, yang terpenting adalah bahwa suasana ketegangan politik yang selama ini ditunjukkan serius oleh para pendukung masing-masing pihak justru mampu diredam oleh sikap kenegarawanan Jokowi. Saya yakin, bahwa apapun hasil pertemuan SBY-Jokowi akan sangat berpengaruh terhadap kondisi kepolitikan di Indonesia yang selama ini sempat menghangat, menjadi cair dan penuh harapan akan masa depan bangsa ini kedepan. Lagi pula, ini merupakan sebuah proses dialogis yang sangat membangun, tidak hanya berpengaruh terhadap kebaikan antara masing-masing kekuatan politik, tetapi jauh dari itu, membuka lebih lebar semangat dialogis terhadap semua orang yang masing-masing berafiliasi terhadap segmentasi kekuatan politik yang ada.     

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun