Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tabayyun dalam Menyikapi Framing Razia Warteg

16 Juni 2016   15:15 Diperbarui: 16 Juni 2016   15:32 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang harus diakui, media merupakan salah satu aspek paling berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Opini yang kemudian akan dimunculkan di ruang publik, biasanya selalu saja mengandung unsur “pesanan” atau “kepentingan” dari pihak-pihak tertentu, sehingga sebuah peristiwa yang terjadi bisa saja kemudian dimodifikasi seakan memiliki pesan lain. Pesan tersebut kemudian diperkuat citranya sehingga publik sebagai konsumen yang membaca akan tergiring opininya ke arah informasi lainnya yang “tersirat” dalam sebuah peristiwa tersebut. Inilah salah satu istilah yang sering disebut sebagai “beyond the line” yang hendak dituju oleh sebuah sumber informasi atau berita. Tidak semua orang dapat secara sadar memahami apa yang dibawa dalam pesan sebuah berita, kebanyakan pembaca hanya memandang dari satu sisi, bahwa terjadi sebuah peristiwa tanpa jelas dipahami atau tidaknya maksud dan tujuan berita itu dibuat atau disebarkan ke ruang publik, sehingga informasi yang didapat kadang ditelan mentah-mentah oleh mereka.

Peristiwa yang melatari persoalan razia warteg di Serang pada saat bulan Ramadhan, nampaknya kian menjadi konsumsi publik dan cukup fenomenal menghiasi banyak berita dan menjadi bahan diskusi banyak pihak, di seluruh media bahkan tak jarang mereka yang terhubung dalam jaringan media sosial. Aneh rasanya, baru kali ini ada fenomena razia warteg yang menjadi begitu fenomenal dan banyak menjadi perbincangan publik, padahal sejak zaman pemerintahan sebelum ini, banyak juga razia tempat-tempat makan yang lebih besar dari hanya sekedar warteg, tetapi tidak menjadi topik pembicaraan apa-apa dalam masyarakat. Mungkin yang menjadi menarik dalam peristiwa ini adalah peristiwa razia warteg ini diapresiasi oleh presiden dan para menterinya, sehingga peristiwa ini menjadi besar dan terasa begitu spesial. Disinilah kemudian mudahnya, bagaimana opini dapat dibentuk, diolah atau sengaja disusupi pesan-pesan dari sebuah peristiwa razia warteg yang kebetulan pas momennya dengan pelaksanaan puasa Ramadhan.

Kenyataannya, peristiwa razia warteg yang dipopulerkan media Kompas, ternyata telah banyak membangun opini yang justru bertentangan dengan kondisi awal ketika pertama kali peristiwa ini dimuat dalam media. Di ranah publik, justru banyak tersebar rumor mengenai hubungan diberangusnya perda-perda bermasalah oleh pemerintah pusat dengan keberadaan razia warteg yang terjadi di Serang karena dilakukan berdasarkan perda otoritas pemerintah setempat. Hal ini lebih diperparah oleh sentimen keagamaan yang dimunculkan pihak-pihak tertentu, sehingga yang terjadi di lapangan adalah pemerintah akan menghapus perda-perda yang berkaitan dengan syariat Islam, ini sungguh diluar batas kewajaran sebuah opini. Razia warteg yang terjadi di Serang dan dilakukan oleh aparat pemerintahan hanyalah bersifat “insidental” dan tidak terjadi di daerah-daerah lain yang juga memiliki perda yang kurang lebih sama, yaitu mengadakan penertiban pedagang yang mengganggu ketertiban masyarakat umum. Apakah memang opini yang hendak dibangun oleh media Kompas sudah sejauh ini tujuannya? Sehingga ormas garis keras seperti FPI justru tersulut untuk mencari sejauh mana kebenaran informasinya.

Memang, banyak sekali rumor yang tersebar seputar razia warteg bulan Ramadhan ini. Ada rumor mengenai penertiban perda, sehingga perda yang berhubungan dengan razia mesti diberantas juga tak pandang bulu, ada rumor mengenai aturan yang seharusnya membolehkan tempat-tempat makan tetap buka di bulan Ramadhan, ada rumor yang nyinyir menyatakan pemerintah teralu lebay ketika menyantuni pemilik warteg yang terkena razia, ada rumor yang lebih spesifik mengungkapkan tentang pelarangan syariat Islam, ada lagi yang lebih aneh muncul kemudian menyoal ada kelompok tertentu yang memiliki keinginan agar tidak perlu menghormati bulan Ramadhan. Rumor-rumor seputar razia warteg tersebut saat ini sudah menjadi opini publik dengan kapasitas dan intelektualitasnya masing-masing, bisa ilmiah, rumor atau bahkan kajian keagamaan dan sosial.

Langkah yang dilakukan pihak FPI saya kira dalam rangka meluruskan rumor-rumor dan opini yang semakin liar berkembang dalam masyarakat mengenai pro-kontra pelarangan membuka tempat makan selama bulan Ramadhan. Ormas ini mungkin merasa paling terusik atas pemberitaan-pemberitaan yang disajikan oleh Kompas Group, baik yang tersebar di media cetak, elektronik atau media sosial. Kita nanti dapat melihat perkembangannya, bagaimana hasil pertemuan pihak Kompas Group dan FPI yang kemungkinan akan berjalan siang ini. FPI sebagaimana diketahui lebih cenderung menyoal hubungan razia yang dihubungkan dengan larangan yang diberlakukan membuka tempat-tempat makanan selama Ramadhan dengan alasan mereka harus menghormati orang-orang yang berpuasa.

Menurut persepsi saya, sebuah peristiwa dan apapun yang melingkupinya haruslah diberitakan sejujur mungkin terlebih bahwa media dapat mengolah dan menyajikannya secara baik dan apa adanya jika masih ingin disebut sebagai media yang menjunjung asas netralitas dalam menyajikan informasi dan framing sebuah peristiwa. Membuat seolah-olah memunculkan unsur lain dalam sebuah peristiwa adalah upaya ketidakjujuran dan “akal-akalan” yang ujung-ujungnya hanya mengambil keuntungan dari kepentingan kelompok atau organisasi tertentu yang berkeinginan mendesak pihak-pihak lain sekaligus mendiskreditkan pihak tertentu, sehingga terbentuk opini pembelaan dari publik yang diharap dapat menekan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah . Gambaran pers pasca Orde Baru merupakan pers yang memiliki kebebasan mampu berdiri untuk semua golongan dengan menyajikan informasi-informasi yang netral dan berimbang. Bukan lagi pers yang terkungkung dalam tekanan sekelompok tertentu yang pada akhirnya “terpaksa” netral demi menghindari kecurigaan pihak penguasa.

Bagi saya, informasi apapun yang kita terima yang bisa berasal dari siapapun, haruslah dibarengi dengan konfirmasi atau dalam istilah lain “tabayun”. Prinsip tabayun yang kemudian dijalankan mengajari bagaimana kita melakukan pemilahan, introspeksi atau retrospeksi, serta konfirmasi atas keakuratan data dalam sebuah informasi sehingga memberikan penyajian yang lebih utuh terhadap sebuah informasi atau berita. Tabayun itu penting, agar kita tidak mudah memberikan penilaian negatif atau bahkan melakukan fitnah kepada pihak-pihak tertentu yang tidak kita senangi. Media sangat mudah sekali membangun opini publik, baik itu baik maupun jelek. Media seharusnya mampu menjadi katalisator dalam membangun informasi yang berimbang dan mencerdaskan sehingga iklim demokratisasi semakin terbentuk. Media sangat berperan penting dalam membangun perdamaian, toleransi bahkan kerjasama antar masyarakat dan kelompok. Di tangan media-lah, seluruh informasi dapat disajikan dalam beragam bentuk, bisa membangun atau menjatuhkan.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun