Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi “Keislaman” Ahok

9 Mei 2016   12:14 Diperbarui: 9 Mei 2016   12:20 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menulis tentang Ahok serasa tidak pernah usang. Ahok selalu dilihat orang dari banyak perspektif, politik, budaya bahkan agama. Ahok sendiri bisa dibilang sosok paling kontroversial saat ini, sehingga keberadaannya dibenci sekaligus disukai oleh banyak kalangan. Tulisan ini bukan untuk memberikan justifikasi atas diri Ahok, bukan juga sebagai bagian dari dukungan kepada Ahok dalam pencalonan gubernur dalam Pilkada 2017 di Jakarta. Saya hanya akan melihat Ahok dari sisi lain, yakni sisi “keislaman” dimana terdapat hal-hal “baik” yang ada dalam diri Ahok ketika dihubungkan dengan konsep keberislaman yang selama ini saya ketahui.

Tulisan saya ini terinspirasi dari liputan media online detik.com yang mengulas mengenai datangnya Ahok ke sebuah pesta pernikahan warganya, pasangan Ayu dan Indra yang melangsungkan pernikahan di Kalideres, Jakarta Barat pada 23 April 2016. Ketika ditanya wartawan, Ahok menjawab singkat, “kayak begini-begini ini (maksudnya menghadiri pernikahan) adalah ibadah”. Saya agak terperangah, ketika Ahok menyatakan menghadiri pernikahan adalah bagian dari ibadah. Bagi saya, terlepas dari adanya bentuk “kampanye politik” atau tidak, dengan memenuhi undangan pernikahan atau dalam term Islam disebut “walimatu ‘ursy” selain merupakan ibadah tentunya merupakan anjuran bahkan Nabi Muhammad saw memberikan penekanan “keharusan” seorang muslim jika diundang ke suatu pesta pernikahan, terlebih bagi seorang pemimpin.

Dalam ajaran Islam, menghadiri pernikahan adalah wajib dikarenakan terdapat kalimat perintah yang terdapat dalam sebuah hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berasal dari Ibnu Umar mengisyaratkan hal ini, dimana Nabi Muhammad saw menganjurkan jika siapapun diundang dalam acara pernikahan hendaklah dia datang (idzaa da’a ahadukum ila al-waliimah falya’tiha). Konteks dalam hadits tersebut bersifat umum, tidak ada batasan muslim-non muslim sehingga siapapun yang mengundang kita, maka Islam mengajarkan agar datang dan memenuhi undangan pernikahan tersebut. Ketika undangan merupakan “perintah” dari Nabi saw, maka jelas kedatangan seseorang yang diundang oleh orang lain merupakan rangkaian dari suatu ibadah.  

Ahok yang notabene sebagai non-muslim justru telah mengamalkan kaidah dari hadits Nabi saw tersebut, bahwa ditengah kesibukannya, gubernur DKI Jakarta ini rela mendatangi undangan pernikahan warganya bahkan tanpa tercium oleh media. Bagi Ahok, mungkin inilah sisi lain dari “ibadah” yang dia yakini sehingga bisa mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Ibadah yang dilakukan dalam memenuhi undangan pernikahan sarat dengan ibadah sosial (muta’addi) yang justru paling disukai oleh Nabi saw dibanding ibadah individual (qoshiroh). Ibadah sosial memberikan dampak kebaikan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Menghadiri pernikahan bisa mendatangkan kebahagiaan untuk mempelai dan juga keluarganya. Dalam Islam, memberikan kebahagiaan kepada orang lain merupakan inti dari “keislaman” seseorang tersebut.

Inti dari Islam sendiri yang merupakan asal kata dari “salama” berarti submission atau “penyerahan diri”. Konsep penyerahan diri seseorang merupakan intisari dari sebuah ibadah. Jika konteksnya “berserah diri” maka segala sesuatu yang dilakukan dalam hal kebaikan apalagi menyangkut kemanfaatan untuk orang banyak merupakan “keislaman” sehingga seluruh kebaikan yang dilakukan dapat bernilai ibadah. Ahok nampaknya dapat mengaktualisasikan dirinya dalam meramu konsep “Islam” itu sendiri. Islam oleh Ahok tidak dipahami sebagai sebuah keyakinan saja, tetapi Islam juga dapat dipahami sebagai norma-norma atau nilai-nilai baik ketika dijalankan dalam hal kemasyarakatan atau sosialitas. Memang, kata “salama” dalam pengertian “Islam” juga memiliki konotasi lain, yaitu “menyelamatkan atau selamat”. Sehingga kandungan yang lebih luas dari kata Islam sendiri merupakan seruan agar setiap manusia harus “Islam” jika dia mau selamat.

Islam seharusnya memang tidak melulu dilihat dari sisi formalitas dengan mengedepankan simbol-simbol keagamaan yang dibawanya. Tetapi penting juga kiranya bagaimana seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya melalui norma-norma atau nilai-nilai yang luhur yang terkandung dalam ajaran Islam sendiri. Memang, kekurangan Ahok adalah tidak secara formal masuk kedalam agama Islam, tetapi dia bisa “membumikan” nilai-nilai keislaman yang selama ini seringkali luput dari seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim. Hal sederhana seperti menghadiri pernikahan atau undangan seseorang dalam pernikahan telah diatur dalam ajaran Islam, sehingga seharusnya dapat menjadi perhatian tersendiri bagi umat Islam dalam mengapresiasikan ibadah sosialnya. Kenyataan yang dihadapi saat ini, banyak undangan-undangan pernikahan yang karena yang mengundang “bukan kelompoknya” atau karena undangan bukan dari “orang penting” atau orang-orang yang dianggap “tidak selevel” seringkali diabaikan oleh sebagian umat Islam sendiri. Padahal, jauh-jauh hari Islam melalui serangkaian teladan dari Nabi Muhammad saw menekankan pentingnya ibadah sosial yang dicontohkan melalui kehadiran atas undangan seseorang.

Apa yang dilakukan Ahok dengan datang memenuhi undangan warganya merupakan sisi lain dari “keberislaman” Ahok. Satu hal yang masih kurang, bahwa Ahok tidak secara formal masuk Islam tetapi mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam yang selama ini sering diagung-agungkan dengan konsep “rahmatan lil ‘alamin”. Konsep berislam rahmatan lil ‘alamin memiliki konsekuensi sangat luas, dia tidak terbatas pada golongan, suku, ras ataupun keyakinan agama sekalipun. Nilai-nilai yang dikandung dalam ajaran Islam jika diimplementasikan justru akan menjadi “nilai kemanusiaan atau sosial” untuk kebaikan alam raya ini, siapapun yang melakukannya, apapun agamanya, apapun kelompoknya, apapun warna kulitnya.

Wallahu a’lam bisshawab     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun