Mungkin adagium diatas kurang lebih tepat menggambarkan kondisi bangsa belakangan ini, bahwa banyak terjadi peristiwa yang diakibatkan oleh segelintir orang yang sengaja “menabur angin” sehingga wajar jika kemudian “badai” harus dituai tidak hanya oleh kalangan “penabur angin” saja tetapi juga dirasakan oleh hampir seluruh elemen masyarakat lainnya. Efek badai tentunya tidak akan hanya berpusat pada mereka yang menabur angin, tetapi prilaku badai yang tidak konsisten, akan menyapu siapapun, tanpa peduli dia sebagai “penabur angin” ataukah bukan.
Lalu siapa sebenarnya yang paling merasakan dampak badai ini? Dengan tanpa menyudutkan pihak lain, bahwa umat Islam-lah yang sebenarnya sangat merasakan dampak terkena badai ini. Umat Islam sejauh ini benar-benar terpojokkan oleh beragam peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Bagaimana tidak, setelah umat Islam dianggap intoleran dan anti-kebhinekaan, saat ini para tokoh agama termasuk para ulama benar-benar dalam kondisi tekanan, tidak hanya oleh penguasa, tetapi oleh kelompok-kelompok tertentu yang memang “benci” terhadap Islam dan juga ulama. Reaksi umat Islam yang dapat dipotret melalu aksi 212 yang lalu merupakan bentuk kritik kepada penguasa atas ketidakadilan yang seringkali ditimpakan kepada mereka.
Aksi damai yang berlangsung bersih dan aman ini kemudian dianggap sebagai sebuah “ancaman” oleh negara yang dampaknya semakin memicu pobia yang berlebihan dari penguasa kepada umat Islam. Jelas, bahwa reaksi yang beragam dari umat Islam, baik yang sedikit “keras” ataupun yang mengedepankan cara-cara lunak dan persuasif, nampaknya dipukul rata sebagi “ancaman” oleh penguasa.
Kita tentu merasakan bagaimana perjuangan menuntut keadilan yang disuarakan umat Islam seakan “kandas” dan belum memenuhi rasa keadilan bagi mereka. Belum lagi ditambah oleh tekanan besar yang terus menerus, baik yang diopinikan oleh media massa, stigmatisasi yang tidak adil oleh penguasa, bahkan tidak jarang sinisme dan anggapan-anggapan negatif terhadap Islam dan juga para ulama. Saya kira, inilah bentuk Islamofobia a la Indonesia yang justru berlebihan yang tampaknya dipukul rata tanpa kecuali.
Siapapun yang melakukan kritik kepada penguasa, asalkan dia memiliki afiliasi terhadap Islam maka akan dianggap sebagai ancaman bagi NKRI. Sungguh, sebuah anggapan yang terlalu jauh dan justru pengingkaran terhadap perjuangan demokrasi yang justru seharusnya diperkuat di negeri ini.
Inilah saya kira, yang kemudian menjadikan situasi sosial-politik di negeri ini jatuh terkulai kedalam kubangan konflik, jauh dari cerminan masyarakat Bhineka Tunggal Ika yang kondusif. Kegiatan-kegiatan keagamaan semakin dikontrol bahkan tak jarang terus “dipantau” oleh penguasa. Bagaimana tidak, penguasa-pun merasa perlu memverifikasi para juru dakwah (da’i) agar bisa disertifikasi sehingga para da’i yang boleh ceramah di muka umum adalah mereka yang secara legalitas diakui oleh pemerintah.
Jika tidak, maka tidak ada alasan bagi para penceramah di masjid-masjid untuk berceramah di muka umum, baik dalam event keagamaan ataupun event-event sosial lainnya. Para penceramah yang memiliki sertifikatlah yang secara legal diperbolehkan untuk berceramah di masjid-masjid, selain itu akan mendapat teguran atau peringatan dari penguasa karena mereka dianggap da’i ilegal yang menyalahi undang-undang.
Kritik yang mengemuka dari umat Islam pasca persidangan penistaan agama yang melibatkan seorang ulama kharismatis, Kiai Ma’ruf Amin yang dilecehkan justru menuai protes berbagai kalangan dan menganggap Kiai Ma’ruf sebagai “saksi bohong” yang dipolitisasi oleh pihak tertentu. Padahal, pelecehan dan perendahan kepada ulama jelas telah melukai hati umat Islam, apalagi Kiai Ma’ruf merupakan Ketua Umum MUI yang didalamnya bernaung seluruh ormas Islam yang ada di seantero wilayah Nusantara.
Sikap keagamaan yang diambil oleh MUI dalam banyak hal, tidaklah berdasar inisiatif pribadi atau kelompok tertentu, tetapi berdasarkan kesepakatan seluruh perwakilan ormas Islam yang berada dalam kemah besar MUI. Inilah kemudian yang sangat disesalkan, bahwa masih saja ada tuduhan yang dialamatkan kepada MUI sebagai lembaga yang hanya menerima “pesanan” fatwa dari pihak atau kelompok kepentingan lain.
Belum lagi rasa kekecewaan umat Islam ini benar-benar terobati, baru-baru ini justru muncul polemik seputar kehendak penguasa yang mendata para ulama yang difokuskan terlebih dahulu di Jawa Timur. Menarik memang, karena Provinsi paling timur di wilayah Jawa ini adalah gudangnya pondok pesantren dan sekaligus gudangnya para ulama dan kiai.