Terdapat keterkaitan erat antara baleid yang ada dalam UU ITE dan juga UU Ormas, keduanya memiliki pasal-pasal yang mengatur kebebasan berpendapat masyarakat. Kita tentu menyadari, bahwa domain kebebasan masyarakat dalam hal mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul tentunya ada dalam UUD 1945 bahkan aturan ini semakin diperjelas melalui maklumat UU No 9 tahun 1998 yang disahkan ketika Reformasi bergulir di negeri ini.
Namun yang jelas, bahwa keberadaan UU ini merupakan sebuah terobosan dalam menerapkan sistem demokrasi yang sempat terpasung selama lebih dari 32 tahun. Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul menjadi satu kesatuan yang melekat sebagai hak dasar kemanusiaan yang dikenal sebagai HAM.
Bagi sebagian orang, revisi dari UU ITE menjadi pintu masuk bagi pembungkaman ekspresi masyarakat dalam hal mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Bagaimana tidak, pasal-pasal yang menyangkut pencemaran nama baik justru diperluas, tidak lagi dibatasi hanya pelaku aktif yang membuat pernyataan-pernyataan atau konten yang terindikasi menyebar kebencian atau fitnah yang merugikan nama baik seseorang, tetapi juga pelaku pasif yang hanya menyebarkan konten yang telah terlebih dahulu dibuat pihak lain.
Selain itu, revisi UU ITE juga merambah soal SARA, pornografi, hak untuk dilupakan dan termasuk pemblokiran website. Memang, masa penahanan untuk kasus-kasus dengan delik yang ada di UU ITE berkurang dari 6 ke 4 tahun, tetapi banyak pihak yang mengkritik bahwa revisi akan berpotensi akan disalah gunakan oleh pihak pemegang kekuasaan, termasuk pemerintah dan pemilik modal yang dengan mudah mengkriminalisasi masyarakat.
Menurut berbagai data yang dungkap ke publik, pasal yang menyoal pencemaran nama baik sebenaranya terus meningkat seiring diberlakukannya UU ITE pada 2009 silam. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers bahkan menunjukkan bahwa 70 persen kasus pencemaran nama baik dilaporkan oleh pejabat publik yang merasa dirugikan oleh opini yang menyudutkan yang justru dilakukan oleh masyarakat biasa.
Hal ini tentu menjadi preseden buruk terhadap proses keterbukaan informasi sekaligus proses demokratisasi yang memberikan peluang kepada publik untuk terus mengkritisi setiap kebijakan yang dinilai telah merugikan masyarakat. Apa jadinya ketika setiap kebijakan yang dikritisi kemudian dilaporkan sebagai opini yang merugikan, sehingga mereka yang kritis harus dibui? Kita tentu tidak lupa, ketika Prita Mulyasari mengkritik kinerja RS Omni tetapi malah dibui karena dituduh mencemarkan nama baik mereka. Berbondong-bondong orang kemudian mengumpulkan dana dalam aksi “koin untuk Prita” sebagai simbol kekalahan rakyat kecil oleh penguasa.
Setelah resmi diberlakukan revisi UU ITE pada 28 November 2016, kini publik harus juga menelan pil pahit mengenai rencana pemerintah yang akan merevisi UU Ormas dan akan memasukkannya dalam program Prolegnas 2017 di DPR. Rencana revisi ini telah dimatangkan oleh Kemendagri dan Kemenkumham yang salah satu poinnya adalah pengetatan pembentukan ormas dan mempertegas sanksi kepada ormas yang belakangan sulit ditindak secara hukum karena berbelit-belitnya prosedur yang selama ini tertera dalam UU tersebut.
Padahal, sejauh ini banyak juga ormas yang dinilai melanggar hukum dan kemudian dibekukan pemerintah karena tidak sesuai atau melanggar ketentuan UU yang berlaku. Sejauh ini, Pasal 59 dan 60 yang ada pada UU No 17 Tahun 2013 sudah mengatur sedemikian rupa bagaimana dan apa sanksi yang akan diberikan kepada Ormas jika melakukan pelanggaran. Saya kira, UU Ormas yang telah ada saat ini telah memberikan keleluasaan kepada publik untuk mengatur hak berkelompok, berserikat dan berkumpul yang dibatasi aturan-aturannya oleh undang-undang.
Saya justru khawatir, bahwa menguatnya berbagai isu politik belakangan ini disinyalir menjadi semacam kekhawatiran atau ketakutan pemerintah yang berlebihan dalam rangka menjalankan kebebasan aspirasi publik. Banyak beragam pihak juga yang beranggapan bahwa serentetan peristiwa yang kemudian menuai reaksi masyarakat, baik yang kemudian bergulir dalam bentuk aksi massa dan menajamnya berbagai pernyataan nyinyir, SARA atau ujaran kebencian (hate speech) yang ramai di media sosial menjadi sebuah kekhawatiran besar bagi pemerintah terutama menjadi ancaman tersendiri bagi stabilitas negara.
Sebagai masyarakat kecil, saya justru berharap, bahwa keinginan pemerintah untuk merevisi undang-undang yang berkait dengan kebebasan ekspresi masyarakat, baik berpendapat ataupun berorganisasi tidaklah sebagai upaya pemberangusan terhadap hal warga negara yang telah dijamin oleh undang-undang. Jika kemudian keinginan memperketat bahkan mengkriminalisasi masyarakat apalagi berkait dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah, justru bisa mengganggu proses demokrasi yang saat ini sudah baik berjalan.
Kita tentu trauma dengan demikian dikekangnya kebebasan masyarakat dalam banyak hal selama kepemimpinan rezim Orde Baru. Begitu mudahnya penguasa waktu itu memberikan “cap kriminal” atau “pengganggu” stabilitas negara sehingga hak-hak kebebasan masyarakat justru ditumbangkan dan tidak mendapat tempat dalam proses kebangsaan dan kenegaraan. Kita tentu juga berharap, bahwa jangan sampai terjadi kembali pengekangan hak-hak sipil termasuk pengkerdilan hak kebebasan berpendapat masyarakat, melalui 2 revisi UU yang berkaitan dengan hak dan kebebasan publik dalam berpendapat dan berorganisasi.