Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puasa dan Pembangunan Fatsoen Politik

11 Juni 2016   15:45 Diperbarui: 11 Juni 2016   15:56 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul ini bukan untuk melihat bagaimana hubungannya antara politik dan puasa, atau melihat lebih jauh persoalan korelasi antar keduanya. Hanya saja, puasa yang merupakan kegiatan menahan diri dari segala hal yang dapat merusak yang diakibatkan “syahwat politik” yang besar seharusnya lebih dapat dikendalikan sehingga politik akan lebih bermakna sebagai hasrat atau keinginan yang positif, bukan ambisi terhadap kekuasaan yang cenderung negatif. Mengendalikan ambisi kekuasaan yang terkadang “menyimpang” sebetulnya tidak harus dimulai saat Ramadhan yang berkaitan dengan puasa yang dijalankan umat Muslim, tetapi bisa dimulai kapan saja tidak mesti terikat waktu. Ketika puasa dimaknai sebagai bentuk pengendalian diri manusia terhadap syahwat dan hawa nafsu kekuasaannya, maka perjalanan menuju gelanggang perebutan kekuasaan juga akan tempak lebih elegan, arif, beretika dan bisa memberi pelajaran yang baik kepada rakyat. Kita saat ini melihat, geliat Pilkada 2017 yang semakin dekat yang kebetulan dilalui bersamaan dengan bulan Ramadhan seharusnya dapat dijadikan momen positif untuk menahan diri atau mengendalikan hasrat dan ambisi kekuasaannya.

Ribut-ribut masalah politik memang tidak bisa dihindari, hal ini karena masing-masing media memiliki “kepentingan” yang berbeda ketika harus mengangkat berita-berita mana saja yang berkaitan dengan politik kekuasaan. Baru-baru ini, ada ribut-ribut soal saling tuding antara DPR dan KPU mengenai persoalan siapa “penjegal” jalur independen dalam Pilkada 2017 nanti. UU Pilkada yang telah disahkan DPR seakan menimbulkan beragam penafsiran bahkan kecurigaan banyak pihak mengenai adanya upaya “penjegalan” yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap calon kepala daerah yang akan maju melalui jalur independen. Ketika publik menyoal mengenai verifikasi faktual yang hanya diberikan batas waktu tiga hari oleh KPU, dianggap terlalu sempit waktunya oleh para pendukung calon independen. Waktu tiga hari hanyalah melihat kepada model “jakarta sentris” bukan diukur dari keumuman daerah-daerah yang juga akan melaksanakan pilkada. Pesoalan verifikasi faktual yang terdapat dalam UU Pilkada nampaknya hanya ditafsirkan sebagian orang untuk menjegal “seseorang” yang akan maju di jalur independen. Padahal, UU Pilkada merupakan persetujuan bersama antara KPU, DPR dan Pemerintah yang tidak hanya bermain pada aspek lokal tetapi mempertimbangkan aspek nasional secara politik.

Pilkada bukan hanya dijalankan pada satu daerah tertentu, tetapi lebih dari 100 daerah akan melaksanakan Pilkada serentak pada Februari 2017 mendatang. Namun demikian, perhatian publik yang nampaknya “jakarta sentris” lebih memilih untuk menafsirkan adanya upaya-upaya penjegalan yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya calon kepala daerah yang akan maju melalui jalur independen. Sungguh suatu penafsiran yang sempit, yang pada akhirnya memberikan edukasi politik kepada masyarakat yang kurang berimbang. Saat ini fenomena mengenai Pilkada sudah sangat terasa, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Pilkada sebaiknya tidak ditafsirkan sebagai momen bangkitnya calon independen dan matinya kekuatan partai politik, tetapi jadikanlah Pilkada sebagai ajang pertarungan politik yang kompetitif dan mampu memberikan edukasi politik yang baik kepada masyarakat.

Memang, tidak ada hubungannya antara puasa seseorang dengan ambisi politik kekuasaan. Tetapi, ketika seseorang mampu memahami esensi puasa secara benar, sebagai sikap pengendalian hawa nafsu politik, maka ambisi atau hasrat yang begitu besar akan politik kekuasaan lebih bermuatan positif. Tidak akan terjadi saling tuding, saling fitnah atau saling melempar tanggung jawab antar berbagai pihak. Politik, disukai ataupun tidak memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Manusia itu “makhluk politik” begitu kata seorang filosof. Karena makhluk politik, maka seluruh aspek kehidupannya sadar atau tidak selalu saja berkaitan dengan politik. Dalam sebuah keluarga saja, seorang ayah yang dalam bersikap kepada anak-anaknya yang rewel atau marah, bisa saja dia bersikap bak Hitler yang kejam atau Suharto yang diam-diam menghanyutkan. Disinilah pentingnya bagaimana seseorang mengontrol hawa nafsu kekuasaannya, sehingga politik pada akhirnya lebih bernilai dan beretika.

Ramadhan yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang didapat dari puasa, semestinya dapat juga menjadi pertimbangan yang dipergunakan untuk mengatur insting berpolitiknya secara lebih positif dan bermakna. Dengan menghayati nilai-nilai puasa, seseorang yang memiliki ambisi politik yang besar dapat lebih terarahkan untuk membangun fatsoen politik. Pengertian politik yang cenderung dimaknai “buruk” oleh kebanyakan orang, karena terkait perebutan kekuasaan, korupsi, penjegalan atau kepentingan serta keserakahan pribadi dapat kembali dicitrakan “baik” ketika fatsoen politik ditegakkan dengan memahami nilai-nilai yang dikandung dalam puasa. Saya kira tidak hanya dalam politik, dalam hal apapun ketika ambisi dan syahwat yang terlalu berlebihan hadir lebih mendominasi kehidupan pribadinya, tentu akan mendatangkan kerusakan dan berpengaruh terhadap harmonisasi kehidupan manusia. Dengan demikian, nilai-nilai puasa yang dapat  mengendalikan hawa nafsu akan membangun citra kekuasaan politik bermakna positif di tengah masyarakat yang memang agamis, seperti di Indonesia.

Saya kira, tidak ada salahnya membangun sebuah fatsoen politik ditengah masyarakat Indonesia yang cenderung bersikap pragmatis. Politik yang ditegakkan berdasarkan etika akan tampak berwajah “adil” dan “bersih” walaupun cara memperoleh kekuasaannya bisa dibilang menabrak rambu-rambu demokrasi. Lihat saja saat ini, Indonesia hanya mempertontonkan ambisi kekuasaan politik yang ditunjukkan oleh setiap kegiatan politik, baik itu pilkades, pilkada atau pilpres sekalipun. Tak jarang kita saksikan masing-masing kontestan politik membuat manuver-manuver yang sengaja “menjegal” atau “menjatuhkan” lawan politiknya tanpa kompromi. Meskipun semuanya merupakan hal yang wajar dalam berpolitik, tetapi seharusnya sedikit demi sedikit, Indonesia harus berani melawan maenstream politik yang ada. Mainstream yang dimaksud adalah praktek-praktek kecurangan, keculasan, money politics atau bentuk-bentuk manipulasi politik lainnya yang sengaja dibentuk dengan berlindung dibawah konsep demokrasi. Membangun sebuah iklim politik yang baik adalah membangun kekuatan konsolidasi demokrasi itu sendiri. Fatsoen politik yang dibangun dengan nilai-nilai puasa akan memberikan efek kejujuran, kearifan dan keadilan. Semoga Indonesia bisa!

Wallahu a’lam bisshawab  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun