Suatu hari ketika dalam sebuah acara buka puasa bersama, saya ditegur oleh seseorang yang memang aktivis politik dengan mengatakan, “Lo paham gak, sekarang ini KPK kelihatannya sudah ada yang mengendalikan, tidak netral lagi”. Entah apa yang dimaksud, mungkin yang saya tangkap karena banyak pemberitaan yang ramai belakangan menyoal beragam kasus korupsi yang semakin marak, tetapi masih seperti tebang-pilih hanya kasus-kasus tertentu yang diungkap tetapi kasus-kasus lain yang lebih besar seakan tidak terungkap atau dibiarkan tidak diungkap karena dianggap tidak ada unsur korupsi.
Kondisi yang digambarkan oleh seorang ativis politik, bisa iya bisa tidak, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Jika dipandang dari sudut politik, bisa jadi ini adalah strategi politik yang sengaja di disain menyongsong Pemilu 2019. Beda jika dilihat dari sudut pandang budaya, mungkin kondisi seperti ini alamiah saja, memang sudah budayanya begitu, tidak bisa lepas dari beragam unsur kepentingan, nilai, norma atau tradisi berpikir masyarakatnya, tidak lepas dari pola patron-klien sejak dahulu.
Memang, disadari atau tidak, dalam setiap kehidupan kompetisi politik tidak ada istilah hitam-putih dimana yang dianggap menang adalah mereka yang paling jujur atau paling benar atau yang paling banyak didukung oleh rakyat. Yang benar hanyalah suara rakyat, vox pupuli vox dei, selama masih murni ketika dihadapkan pada sebuah kompetisi pemilihan, sebelum masuknya propaganda-propaganda atau strategi-strategi politik yang membelokkan arah pilihan rakyat yang sesungguhnya.
Propaganda atau strategi politik dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak informasi tetapi tidak seluruh informasi yang disampaikan kepada rakyat memiliki nilai kebenaran yang kuat. Mereka memberikan bingkai pemahaman informasi kepada rakyat selalu ditumpangi kepentingan, untuk menang dalam pemilihan atau agar untung besar secara materi dalam setiap perhelatan kekuasaan.
Inilah hebatnya sistem demokrasi, dapat memberikan kekuasaan kepada siapapun asal sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Adanya praktek korupsi yang sudah kasat matapun, terkadang selalu disangkal keberadaannya dengan beragam dalih demokrasi.
Dalam sebuah sistem demokratis, rakyat senantiasa mendorong agar negara dapat memunculkan para pemimpin yang bersih dan transparan. Transparansi adalah salah satu bukti bahwa pemerintahan dalam suatu negara itu memiliki cita-cita good governance. Cita-cita luhur ini tentunya akan berdampak pada seluruh keputusan yang harus dilakukan melalui tahapan public discourse terlebih dahulu sebelum betul-betul menjadi sebuah kebijakan.
Negara tidak dibenarkan sewenang-wenang, misalnya, mencabut aturan-aturan tertentu tanpa melalui persetujuan rakyat. Tetapi perlu ada proses public hearing dengan meminta pendapat rakyat lebih dulu.
Cita-cita good governance selain ditopang oleh pemerintahan yang bersih dan transparan juga harus didukung oleh media massa yang akuntabel dalam memberikan informasi yang berimbang, bukan informasi yang dibuat berdasarkan pesanan atau kepentingan terhadap sesuatu. Suatu media massa yang akuntabel harus bisa membuktikan dan bila perlu dapat dicek ulang mengenai informasi yang mereka sampaikan.
Pada tahap tertentu, kita seringkali menyaksikan bahwa propaganda sudah menjadi bagian dari strategi politik. Tidak hanya dilakukan oleh media, tetapi oleh pihak-pihak tertentu yang berkeinginan agar propaganda yang mereka jalankan dapat menghalangi akses langsung pada kejadian sebenarnya sehingga informasi yang sampai ke publik sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Publik pasti sangat paham, betapa informasi yang terjadi mengenai banyak hal seringkali dimunculkan berulang-ulang dan tak jarang malah bergeser dari makna sebenarnya.
Mereka memang piawai dalam menutupi informasi yang sesungguhnya dan publik-lah yang diarahkan untuk mengikuti kepentingan yang sedang mereka bawa. Propaganda yang tadinya bersifat positif, telah berubah menjadi strategi politik untuk mengangkat atau mengarahkan citra seseorang atau kelompok politik sehingga tidak lagi mengandung kebenaran hakiki.