Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret "Kemanusiaan" di Akhir Ramadan

14 Juni 2017   00:14 Diperbarui: 14 Juni 2017   21:42 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga menunaikan shalat Idul Fitri 1436 Hijriah di ruas Jalan Jatinegara, Jakarta. Harian Kompas

Idul Fitri masih kurang lebih dua minggu lagi, namun geliat roda perekonomian terasa semakin cepat, melaju menyesuaikan dengan kebutuhan setiap orang. Fenomena jelang akhir Ramadan sepertinya telah mentradisi dalam bangsa ini, tidak hanya bagi mereka yang selalu mengejar setiap jengkal kebutuhannya, namun juga mereka yang tampak sangat bernafsu mengumbar kedermawanannya, membagi-bagikan “THR” kepada masyarakat sekitarnya. 

Akselerasi kebutuhan manusia Indonesia jelang lebaran yang terkadang sulit dikontrol, malah semakin ruwet oleh kenyataan berbagai kebutuhan pokok yang “menyesuaikan” dengan antusiasme berlebaran masyarakat. Entah kenapa, sulit sekali tradisi jelang lebaran ini diluruskan, menjadi sekadar hal biasa saja yang tak perlu dilebih-lebihkan.

Idul Fitri jelas merupakan Hari Besar Umat Islam yang ditandai oleh haramnya berpuasa di setiap masuk tanggal 1 Syawal. Artinya, puasa Ramadan berakhir, dan kembali seluruh umat muslim menjalani hari-harinya seperti sebelum Ramadhan, biasa saja dan tidak memerlukan banyak kebutuhan atau hal lainnya yang dipaksakan. 

Makna terdalam dari “Idul Fitri” yang semestinya “kembali” menjadi humanis setelah satu bulan umat muslim “disekolahkan” oleh Ramadan, lebih banyak tak berpengaruh, kebanyakan manusia hanya larut dalam tradisi lebaran, berlomba-lomba dalam hal keekonomian, menikmati kemeriahan lebaran dan jelas “habis-habisan” diperdaya oleh hasrat yang berlebih terhadap berbagai kepentingan materi.

Lebaran seringkali menjadi potret kemanusiaan yang paradoks: kebutuhan ekonomi meninggi dan pada saat yang sama, antrian para pencari sedekah tak terhitung banyaknya. Potret kemanusiaan di akhir Ramadan justru seringkali diwarnai emosi atau protes atas nilai-nilai humanisme yang terpasung. 

Sebut saja, jelang akhir Ramadan, puluhan pegawai TransJakarta melakukan mogok massal, karena mereka kalut menghadapi lebaran karena tak mendapatkan “THR” akibat perubahan kebijakan perusahaan: memutus kontrak mereka yang memiliki hubungan keluarga dalam satu perusahaan, atau mereka yang sudah melewati usia 35 tahun. Aksi mogok ini mungkin tidak terlalu massif jika perusahaan menerapkan kebijakannya justru pasca lebaran.

Para pencari sedekah kurang lebih sama, mereka antri massal dan rela berdesak-desakan selama berjam-jam hanya untuk memperoleh “amplop” dengan sejumlah uang yang mungkin jauh dari harapan dapat memenuhi kebutuhan lebaran. Fenomena jelang lebaran nampaknya menjadi tradisi tahunan yang mengakar dalam budaya bangsa ini, menjadi sebuah potret abadi kemanusiaan yang entah kapan akan berakhir. Padahal, sedekah para dermawan “dadakan” tidak harus diukur oleh kenyataan lebaran, sebab sedekah dalam ajaran Islam tak pernah dibatasi waktu ataupun situasi. Sedekah bahkan semestinya dilakukan oleh setiap muslim, dalam keadaan lapang maupun sempit, sehingga kapanpun dan dimanapun, sedekah bisa selalu dilaksanakan.

Memang harus diakui, bahwa beragama akan lekat dengan simbol-simbol dan cenderung jauh dari nilai-nilai substantif yang dibawanya. Idul Fitri jelas merupakan Hari Raya Besar umat muslim yang dianalogikan sebagai sebuah “kemenangan” atas berhasilnya perjalanan meneladani ibadah puasa yang dijalankan. 

Nilai yang dikandung dalam Idul Fitri seakan memberikan makna, bahwa manusia “terlahir kembali” menjadi suci (Idul Fitri), karena nilai-nilai kemanusiaan diteladani dan diaktualisasikan dalam kurun satu bulan melalui ibadah puasa. Namun, nilai-nilai hakikinya terkikis bahkan hilang, tergantikan oleh simbol “kebahagiaan” yang ditunjukkan melalui tradisi mudik, THR, melejitnya segala hal keekonomian, atau kebutuhan hidup yang seringkali tanpa kontrol.

Saya teringat akan sebuah bait ayat terakhir dalam kitab suci al-Quran yang merupakan rangkaian ayat berpuasa di bulan Ramadan dan apa yang semestinya diteladani ketika Ramadan hendak berakhir. “…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS. al-Baqarah: 185). 

Mengakui akan keagungan Tuhan melalui kesadaran bersyukur kepada-Nya adalah nilai-nilai terdalam dari sebuah hari raya. Mengakui keagungan-Nya, berarti sadar atas kesalahan dan keserakahan yang senantiasa melekat dalam diri seseorang, sehingga tak pantas manusia menjadi sombong atau bahkan “berlebihan” dalam memandang hidup. Adapun rasa syukur merupakan kesadaran diri akan anugerah Yang Maha Agung yang tak mungkin kita hitung satu persatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun