Perhelatan besar partai politik tertua di Indonesia, Partai Golkar, di Nusa Dua Bali mendapat perhatian yang cukup besar dari publik. Partai politik (parpol) yang sempat berjaya dalam beberapa dekade akibat sistem single majority party diberlakukan rezim Orde Baru sedang memilih siapa yang akan menahkodai parpol dengan lambang pohon beringin ini untuk 5 tahun kedepan. Setelah Aburizal Bakrie turun tahta, Partai Golkar kini dihadapkan pada sebuah realitas politik, antara terus berada pada jalur oposisi ataukah berbalik mengambil jalur lain sebagai partai pendukung pemerintah.
Sejak pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu, partai yang dipimpin Aburizal Bakrie ini mendukung penuh pencalonan Prabowo Subianto sebagai capres berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Kekalahan Prabowo dalam pilpres oleh Joko Widodo membuat partai ini kemudian memilih menjadi oposisi terhadap pemerintah dengan membentuk Koalisi Merah Putih (KMP) dalam parlemen.
Sejak Joko Widodo menjadi presiden, Partai Golkar seringkali berada pada sebuah dilema: antara mendukung sepenuhnya pemerintahan dengan masuk dalam struktur kabinet atau tetap berada dalam kelompok oposisi. Upaya bargaining politik sejak pembentukan kabinet di awal pemerintahan Joko Widodo antara Partai Golkar dan pemerintah ternyata gagal menemukan titik temu, meskipun beberapa pertemuan politik digagas oleh beberapa petinggi partai baik partai pendukung pemerintah atau kekuatan politik oposisi.
Partai Golkar dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie hingga masa kepemimpinannya berakhir tetap sebagai kekuatan politik oposan bersama-sama dengan parpol lainnya, seperti Partai Gerindra, PKS, dan PAN. PPP meskipun kadernya ada yang berada dalam kabinet, namun partai berlambang Ka’bah ini mengaku tetap berada pada haluan oposisi bergabung dengan KMP di parlemen.
Pada Munaslub Partai Golkar kali ini, mungkin bisa menjadi ajang penentuan posisi politik partai, antara tetap menjadi oposisi atau berubah haluan menjadi pendukung pemerintah dan Partai Golkar akan menerima “jatah kursi” di kabinet. Melihat pada komposisi para calon ketua umum yang ada, partai ini cenderung membawa dua gerbong pemilih yang berseberangan, antara tetap berada di oposisi atau ikut menjadi bagian pendukung pemerintahan yang ada.
Di antara dua calon terkuat, Ade Komarudin (Akom) dan Setya Novanto (Setnov) memperlihatkan komposisi dua gerbong tersebut. Akom yang didukung oleh sebagian besar DPP dan beberapa politisi partai yang ada di parlemen menyiratkan partai berlambang beringin ini agar tetap pada haluan sebagai partai oposan bersama-sama dengan Gerindra, PKS dan PAN sedangkan Setnov berkeinginan membawa partai ini dapat mendukung pemerintah sepenuhnya dan mendapat posisi di kabinet.
Dukungan pemerintah terhadap pencalonan Setnov dapat diamati melalui pola pendekatan para politisi senior Partai Golkar yang ada di pemerintahan, seperti yang disinyalir dilakukan oleh Luhut dan Yusuf Kalla. Kedua politisi senior Partai Golkar ini diketahui melakukan pendekatan politik kepada unsur-unsur pimpinan partai, terutama yang duduk di Dewan Pimpinan Daerah (DPD).
Arah dukungan para peserta Munaslub Golkar terhadap realita para calon ketua umumnya kemudian sangat mudah dibaca. Terdapatnya unsur-unsur politisi senior yang berasal dari Partai Golkar di pemerintahan dapat dimanfaatkan sebagai kelompok lobi politik pada tingkat elite partai sehingga senioritas para pelobi ini bisa saja mempengaruhi arah dukungan selanjutnya yang sedang dihadapi para peserta munas.
Partai Golkar memang “seksi” bagi beragam kepentingan politik yang masih mengharapkan kelanggengan kekuasaan. Pemerintahan Jokowi-JK saat ini masih sangat membutuhkan kekuatan politik lain yang dapat mendukung jalannya pemerintahan maupun kelangsungan kekuasaannya. Partai Golkar dianggap masih memiliki kekuatan politik real dan masih luas mengakar dalam masyarakat, sehingga keberadaan partai ini dalam mendukung pemerintahan sangat diperlukan.
Walhasil, pertarungan politik antara “pendukung” oposisi dan “pendukung” pemerintah di Munaslub Partai Golkar disemarakkan oleh kentalnya aura politik “transaksional”. Hal ini bisa dilihat selepas pidato pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie yang habis masa jabatannya, ada 14 DPD dan 1 ormas underbouw partai yang secara terang-terangan memberi dukungan kepada Setnov sebagai ketua umum baru partai. Padahal, proses pemilihan ketua umum belumlah dimulai, sehingga sangat jelas bahwa sangat mungkin telah terjadi kegiatan transaksional politik sebelum kegiatan Munaslub ini digelar. Godaan politik kekuasaan di tubuh partai berlambang beringin ini terlihat sangat kuat. Bahkan tidak hanya itu, rumor yang beredar di arena Munaslub beberapa pesan singkat yang menjanjikan jabatan dan uang bagi siapa saja yang memilih calon dari salah satu kubu yang ada.
Kekuasaan politik memang menggiurkan bagi siapa saja, selain mendapatkan prestise juga memperoleh privilege bagi yang mampu duduk dalam kekuasaan. Gambaran partai politik saat ini ibarat sebuah perusahaan bisnis yang berorientasi profit, untung-rugi. Negosiasi politik yang terjadi seringkali tereduksi menjadi proses “membeli” dan “dibeli”. Maka ketika partai politik sudah menjadi semacam “bisnis perusahaan” para aktor-aktor politik yang artifisial hanya memanfaatkan partai sebagai “kapal besar” yang mengeruk berbagai keuntungan secara efektif.