Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polemik AJI dan Keluguan Pak Menteri

1 September 2016   13:44 Diperbarui: 1 September 2016   13:57 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin (LHS) diundang untuk memberikan orasi kebudayaan pada acara ulang tahun ke-22 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta. Acara yang dimeriahkan oleh pemberian penghargaan kepada beragam kelompok masyarakat dalam kategori “pejuang sosial” ini tiba-tiba menjadi polemik di tengah publik. Penyebabnya adalah AJI memberikan penghargaan kepada komunitas LGBT atas perjuangannya yang keras ditengah kuatnya penolakan publik terhadap kaum yang dianggap “melenceng” dari fithrah kemanusiaan ini. Penolakan masyarakat terhadap kelompok LGBT ini bahkan saat ini sedang diujikan undang-undangnya di MK. Para profesor dari berbagai perguruan tinggi berkeinginan mengubah delik KUHP yang dapat mempidanakan LGBT karena selama ini pidana hanya diberikan untuk perbuatan asusila bagi yang berlainan jenis tetapi tidak untuk sesama jenis.

Kehadiran LHS dalam acara AJI ini jelas menuai protes dari banyak kalangan, karena seakan-akan negara hadir untuk memberikan dukungan kepada komunitas LGBT Indonesia, padahal sejauh ini negara tidak mengakomodir kehadiran kelompok LGBT secara formal sebagi “komunitas legal” dalam masyarakat Indonesia. LGBT sebagai komunitas yang menuntut ikatan pernikahan sesama jenis belum bisa ditolerir oleh hukum Indonesia. Keberadaan LHS selaku menteri agama yang semestinya mampu meredam gejolak konflik dan memberikan rasa nyaman terhadap masyarakat justru malah memicu perdebatan dan konflik. Anehnya, ketika muncul polemik soal kehadiran LHS di acara AJI, kemudian dibuatlah apologi bahwa LHS hadir hanya dalam rangka memenuhi undangan AJI bukan untuk memberikan dukungan terhadap komunitas LGBT.  

Adalah sebuah kecerobohan atau keluguan? Jika selevel menteri kemudian menyatakan tidak tahu-menahu bahwa acara yang digelar AJI ternyata terdapat prosesi penganugerahan Tasrif Award kepada beragam komunitas sosial di Indonesia. Rasanya sangat tidak mungkin jika undangan tidak menyertakan serangkaian acara yang telah diatur sebelumnya. Apalagi undangan hanya sekedar dibaca soal waktunya tetapi tidak tahu isi acaranya. Ini sama halnya dengan menyatakan, “I don’t read what I signed”, sungguh sebuah keluguan yang ada dalam realitas pejabat publik kita. Tidak tahu isi undangan dan menghadiri itu adalah kecerobohan, sedangkan tidak tahu rangkaian undangan yang tertulis adalah sebuah keluguan.

Polemik soal undangan AJI yang dihadiri LHS ini kemudian mendapat pembelaan juga dari beberapa pihak, terutama kalangan NU. Kiai Masdar F Mas’udi yang duduk sebagai Rais Syuriah PBNU justru menilai tindakan AJI telah “menjebak” LHS ketika diundang hadir dalam acara tersebut. Kiai Masdar menyalahkan AJI karena sejak awal tidak terbuka kepada Menteri Agama soal penerima Tasrif Award diantaranya adalah komunitas LGBT. Bahkan, Kiai Masdar juga menyalahkan staf Kementrian Agama  yang tidak menyampaikan secara jelas perihal acara yang akan dihadiri oleh LHS selaku Menteri Agama. Bagi kiai Masdar, LHS tidak seharusnya dipolemikkan oleh masyarakat karena memang tidak ada kesalahan yang dilakukan dalam hal menghadiri acara AJI tersebut.

Walau bagaimanapun, kontroversi soal kehadiran LHS selaku Menteri Agama dalam acara AJI memang sudah sepatutnya terjadi. Bukan karena persoalan acara ulang tahun AJI tetapi karena ada penganugerahan penghargaan kepada komunitas yang dianggap sangat sensitif di Indonesia. Entah apakah memang pihak AJI yang “sengaja” menyembunyikan bagian acara tersebut sehingga tidak diketahui oleh pihak Kementrian Agama atau memang karena Menag sebagai pejabat publik harus dapat berdiri diatas semua masyarakat dan golongan, sehingga komunitas LGBT yang masih dipolemikkan di tengah masyarakat perlu dihargai dan diapresiasi keberadaannya. Saya kira, sebagai pejabat publik, Menag semestinya dapat lebih arif untuk menghindari hal-hal yang masih sensitif sehingga tidak timbul kegaduhan di tengah publik.

Sebagai bangsa yang masih kuat akan keterikatan tradisi, nilai, budaya dan agama, Indonesia akan sulit dapat menerima komunitas LGBT sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang diakui negara. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji secara mendalam terutama terkait dengan undang-undang soal pernikahan yang masih melegalkan lawan jenis, bukan sesama jenis. Belum lagi perlawanan dari publik yang begitu kuat untuk menolak komunitas LGBT dengan mengedepankan sisi moralitas dan agama. 

Memang, dalam nilai-nilai moral dan agama, setiap perbedaan adalah fitrah (bawaan) yang ada dalam setiap manusia, sehingga penerimaan setiap perbedaan adalah keniscayaan. Hanya saja, fithrah kemanusian yang sesungguhnya adalah manusia dibedakan dari jenis kelamin yang dapat saling melengkapi, yaitu fithrah sebagai laki-laki dan perempuan. Sehingga legalitas perkawinan yang diakui negara adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan bukan pernikahan antara laki-laki dan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.

Saya kira, sebagai seorang pejabat publik, LHS semestinya tidak sekedar memahami bahwa dia harus berada pada posisi netral dengan memposisikan dirinya secara sama disemua golongan masyarakat, kerena jika kemudian meimbulkan konflik yang lebih besar di masyarakat, sebagai seorang Muslim sudah semestinya dapat meneladani kaidah “dar al mafaasid muqaddamun ‘ala jalbi almasholih” dimana seseorang harus bisa mencegah konflik yang lebih besar ketimbang mendahulukan kemaslahatan. 

Prinsip “menghindari konflik” atau akomodatif yang biasa dilakukan kalangan Muslim NU ini hanya pada tataran perbedaan budaya dan pemikiran, bukan pada hal melawan fithrah kemanusiaan. Disinilah mungkin letak persoalannya kenapa acara AJI yang dihadiri oleh LHS menjadi polemik di masyarakat, karena LHS meskipun sebagai cermin pejabat publik, tetapi beliau tidak bisa lepas dari seorang Muslim sekaligus seorang NU. Menghadiri undangan AJI adalah sebuah “maslahah” tetapi hadir disaat penganugerahan Tasrif Award bagi komunitas LGBT dianggap “mafsadah” oleh banyak kalangan Muslim Indonesia.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun