Diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) yang digelar oleh salah satu stasiun televisi swasta yang membahas soal kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta sekaligus petahana di Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok semakin berbuntut panjang. Kondisi ini terjadi karena adanya silang pendapat antara kelompok yang menganggap bahwa Ahok telah melakukan tindak penistaan agama dengan menyatakan “dibodohi pake surat al-Maidah 51 dan macem-macem…” dan kelompok lain yang menganggap ada unsur kesengajaan dari lawan politik Ahok untuk menyebar fitnah dan kebencian yang dipolitisir sedemikian rupa melalui pernyataan Ahok yang tersebar luas melalui berbagai akun di media sosial.
Saya menyebut adanya dua kutub politik karena masing-masing dari kelompok ini adalah mereka yang secara politik pendukung dan non pendukung calon petahana. Bagi non pendukung petahana, pernyataan Ahok yang menyetir surat al-Maidah 51 saat kunjungan kerja dirinya ke Kepulauan Seribu serasa menjadi amunisi baru untuk menjatuhkan kredibilitas petahana dengan momentum yang sangat tepat.
Rasa kebencian yang sudah tertanam sejak awal bagi mereka yang memang kontra Ahok bak gayung bersambut dengan cepat menggunakan pernyataan Ahok sebagai bentuk propaganda mereka dalam membangun image di masyarakat bahwa Ahok bersikap intoleran bahkan telah dianggap menghina dan melecehkan ulama serta agama Islam.
Disisi lain, kelompok politik pendukung petahana tetap beranggapan bahwa pernyataan Ahok selama kunjungan kerja resminya adalah hal biasa dan tidak ada unsur penistaan terhadap agama.
Pro-kontra mengenai pernyataan Ahok ini justru tambah diperumit oleh hadirnya berbagai tokoh agama Islam yang justru memiliki latar belakang pemahaman keagamaan secara berbeda. Saya melihat, ada unsur keagamaan Islam dengan latar belakang berbeda seperti unsur NU dan Muhammadiyah. Unsur NU-pun nampaknya bisa diwakili oleh kalangan NU “liberal” dan NU “konservatif”, Muhammadiyah-pun nampak sama mewakili kedua model seperti yang ada pada organisasi NU.
Sebagaimana diketahui, NU “konservatif” diwakili oleh salah satu mustasyar-nya yaitu KH Saifuddin Amsir yang dikenal sebagai ulama berpengaruh di Jakarta. KH Saifuddin nampak memberi komentar yang tajam dan kritis terhadap kondisi polemik pernyataan Ahok.
Tidak secara langsung kyai betawi ini “menghukumi” Ahok, tetapi lebih ke arah penyadaran agar umat selalu introspeksi dengan kondisi kebangsaan yang dinilai kisruh ini. Ahok bagi kyai Amsir bukanlah sosok yang harus dikagumi secara berlebihan karena masih banyak di Indonesia sosok-sosok lain yang lebih dapat dilihat sebagai calon pemimpin ketimbang terus menerus membela Ahok.
Kalangan NU “liberal” yang diwakili juga oleh salah satu pengurus suriyah PBNU, KH Ishomuddin nampak lebih terlihat “ambigu” ketika berupaya memposisikan dirinya untuk netral terhadap polemik pernyataan Ahok. KH Ishomuddin justru lebih melihat secara lebih besar kepada persoalan hubungan yang harus terbangun secara kemanusiaan dimana konsep ukhuwah basyariyah harus lebih dikedepankan dalam memandang polemik soal Ahok. Kalaupun Ahok disaat mengeluarkan pernyataannya disengaja, maka ia telah berbuat dzalim kepada umat dan kedzaliman dapat terselesaikan melalui bentuk nyata saling memaafkan.
Kyai satu ini justru merasa bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang dilakukan Ahok ketika membuat pernyataan tendensius kepada agama Islam. KH Ishomuddin nampaknya sangat kental membawa paradigma pluralisme yang cenderung liberal dengan menganggap bahwa semua manusia terlahir dalam “fithrah”nya masing-masing.
Kalangan muda Muhammadiyah yang melaporkan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok nampak terlihat cenderung berparadigma konservatif dalam memandang soal polemik ini. Dahnil Anzar yang merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah tetap berkomitmen untuk mengawal proses hukum yang saat ini sedang dalam proses pengumpulan bukti-bukti dan saksi yang didalami pihak kepolisian.
Danhil menganggap bahwa ketika terjadi perbuatan yang mencederai konteks keberagamaan dalam masyarakat maka perlu ditindaklanjuti secara hukum karena perbuatan ini jelas mengancam kehidupan keberagamaan yang ada dalam masyarakat. Artinya, bahwa meskipun Ahok sudah meminta maaf kepada publik soal perbuatannya, namun proses hukum tetap harus dilanjutkan sebagai efek jera karena telah membuat kondisi keberagamaan menjadi tidak kondusif.