Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perlukah Kita Menyerukan 'Pilkada Damai'?

31 Oktober 2016   16:32 Diperbarui: 1 November 2016   18:09 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: republika.co.id

Mungkin agak sedikit berlebihan jika kemudian beberapa kelompok agama di Jakarta membuat semacam deklarasi 'Pilkada Damai'. Karena, sejauh ini, Pilkada sesungguhnya tidak pernah ada kaitan langsung dengan agama, sehingga momen menciptakan nuansa damai dalam Pilkada seharusnya berada di tangan masyarakat secara umum, bukan tersegmentasi kepada kelompok-kelompok keagamaan saja. 

Entah kenapa kemudian bahwa kontestasi politik di Jakarta yang memicu isu SARA justru kemudian dihubungkan dengan persoalan toleransi keagamaan. Bagi saya, selama masyarakat dewasa dalam berdemokrasi, tanpa adanya deklarasi apapun mereka sudah memahami benar bahwa Pilkada merupakan kontestasi politik yang kompetitif dan bersifat fair, dan tidak ada hubungannya dengan keagamaan seseorang.

Bertempat di Kantor PBNU, beberapa tokoh lintas agama berkumpul dan menyampaikan harapan yang sama agar pelaksanaan pesta demokrasi yang akan digelar secara langsung pada 2017 mendatang berlangsung damai, aman dan tertib. Padahal sejauh ini, belum ada momen sekhusus seperti sekarang di mana para tokoh lintas agama membuat deklarasi untuk Pilkada Damai. Apakah hal ini didorong oleh adanya kasus penistaan agama di Jakarta yang membuat heboh masyarakat? Mungkin bisa iya, bisa tidak. Namun bagi saya, terlalu berlebihan jika kemudian Pilkada disangkutpautkan dengan kedamaian dalam hubungannya dengan toleransi beragama. Di wilayah manapun di Indonesia, Pilkada selalu diikuti oleh beragam kontestan lintas agama dan tidak pernah mengalami masalah sehingga tidak perlu ada deklarasi para tokoh lintas agama.

Bagi saya, agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda, yang justru ketika dicampuradukkan, maka masing-masing entitasnya menjadi absurd bahkan semakin tidak memiliki makna. Politik berhubungan dengan kekuasaan, aturan main, partisipasi, kepentingan yang keseluruhannya bersifat duniawi sedangkan agama erat hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, kepercayaan, ajaran keluhuran budi, moralitas yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan antara manusia dengan lainnya. Ketika kemudian politik dikaitkan dengan agama, maka secara tidak langsung agama malah terpengaruh oleh politik, sehingga nilai-nilai dan ajaran luhurnya hanya dipergunakan untuk 'pembenaran' dalam rangka mencapai kekuasaan. Fungsi agama malah cenderung lebih rendah rasanya ketika kemudian dipakai sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan politik.

Sepanjang pengetahuan saya, dari beberapa kali Pilkada serentak di seluruh Indonesia, tidak pernah ada ancaman serius soal intoleransi atau bahkan kekerasan yang muncul akibat perbedaan pilihan politik masyarakat. Bahkan, Pilpres 2014 beberapa waktu yang lalu yang dianggap berpotensi SARA dan kekisruhan, ternyata tidak pernah terbukti. Masyarakat Indonesia dalam tahap ini sudah dewasa dalam berdemokrasi sehingga isu-isu menyangkut provokasi terhadap ancaman intoleransi atau kekerasan terbukti dapat dihindari. 

Menjadikan Pilkada damai adalah kewajiban yang harus ada dalam image setiap orang yang salah satunya bersumber dari pemahaman yang benar atas ajaran-ajaran agamanya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Bahkan, Indonesia sudah berpengalaman dalam sejarah panjang mengenai demokratisasi, dimana setiap perhelatan pesta demokrasi, rakyat selalu disadarkan akan sebuah keniscayaan perbedaan pilihan politik. Riak-riak pemicu kekerasan dan konflik memang ada, tapi sejauh ini hanya menjadi 'buih' yang dengan sangat cepat hilang terhapus ombak.

Di tengah menguatnya ekspektasi masyarakat soal Pilkada damai, muncul pula desakan masyarakat yang begitu besar mempersoalkan rasa keadilan mereka yang terusik akibat kasus penistaan agama. Desakan ini begitu kuat, sehingga mereka harus rela turun ke jalanan untuk menyuarakan aspirasinya, agar rasa keadilan mereka dapat terpenuhi. Sejauh ini, mereka senantiasa menyerukan 'aksi damai' yang semestinya juga tidak terlalu berlebihan ditanggapi sebagian orang. 

Aksi damai ini tidak pernah terbukti melakukan tindakan-tindakan anarkis yang justru akan mencoreng nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi yang selama ini telah terbangun. Seruan aksi damai yang disuarakan oleh sebagian masyarakat muslim di Jakarta hendaknya juga tidak ditanggapi terlalu berlebihan oleh pemerintah. Bangsa ini sudah banyak belajar berdemokrasi, mengerti betul apa itu toleransi dan menyadari dengan baik bahwa damai akan membawa bangsa ini semakin kuat dan beradab.

Imbauan aksi damai terus digaungkan oleh banyak kalangan, baik yang berasal dari ormas, kelompok keagamaan bahkan pemerintah sendiri. Kita ini hanya tersulut oleh phobia yang berlebihan soal aksi massa yang dulu pernah meluluhlantakkan Jakarta. Padahal, semua kita tahu, bahwa aksi massa yang meluluhlantakkan Jakarta jelang Reformasi, lebih banyak ditunggangi 'pihak lain' dan sengaja dihembuskan isu-isu SARA yang bernada provokatif sehingga mudah membangun image negatif dalam masyarakat. Saya kira, deklarasi Pilkada damai dan imbauan aksi damai yang saat ini bergulir ditengah masyarakat merupakan bentuk nyata bahwa negeri ini selalu mengedepankan rasa perdamaian dibanding menyulut api permusuhan. Masyarakat, saya kira, sudah lebih cerdas untuk tidak terprovokasi isu-isu 'murahan' yang akan merusak sendi-sendi demokrasi di negeri ini.

Saya kira, kata 'damai' yang ada pada masing-masing, baik Pilkada dan Aksi menjadi pengikat utama yang pada akhirnya menjadi dasar terbangunnya sebuah negeri demokrasi. Jadi, tidak seharusnya kemudian ketika masing-masing pihak mengedepankan perdamaian tetapi justru dikotori oleh asupan-asupan provokatif yang serba berlebihan dalam menilai setiap upaya perdamaian. Asupan-asupan bernada provokatif tersebut bisa saja berasal dari phobia berlebihan atau kepicikan berpikir seseorang atau sekelompok orang yang justru tidak suka perdamaian, mereka lebih memilih menjadi semacam kelompok yang antikeragaman, antidemokrasi bahkan antiperdamaian. Jadikanlah Pilkada damai dan aksi damai sebagai bagian dari proses pembelajaran berdemokrasi, bukan ajang saling provokasi untuk saling membenci. 'Damai' dengan demikian menjadi kata kunci yang paling mudah untuk membangun negeri ini melampaui demokrasi itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun