Pilkada DKI Jakarta seakan menjadi magnet pertarungan bagi elite politik partai ditingkat lokal dan nasional. Bahkan sampai hari ini, parpol-parpol selain pendukung calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, seakan masih gamang dalam menentukan siapa sebenarnya sosok yang akan diusung sebagai penantang Ahok pada Pilkada DKI 2017 mendatang. Rumor yang terlanjur menyebar dalam ranah publik mengenai calon yang akan diusung menjadi cagub DKI Jakarta belum sepenuhnya diyakini sebagai sosok yang tepat dan mampu diterima semua pihak.
Pilkada DKI Jakarta memang sedikit unik, karena penentuan mengenai siapa calon kontestan politik yang akan bertarung di Pilkada nanti tidak sepenuhnya berada di tangan elite lokal parpol, tetapi harus merujuk kepada kebijakan para elite parpol di tingkat pusat atau nasional. Elite parpol di tingkat lokal harus merasa puas dalam posisi inferior menunggu keputusan elite parpol pada tingkat nasional. Para elite di tingkat pusat-lah sebenarnya bertumpu semua kebijakan dan keputusan, bukan pada level elite politik lokal.
Dengan demikian, upaya membuka jalur komunikasi politik di tingkat lokal antarparpol yang saat ini terjadi khususnya mengenai siapa calon kontestan yang akan diusung dalam Pilkada Jakarta nanti, hanyalah sebatas penjaringan aspirasi masyarakat mengenai elektabilitas calon-calon kontestan yang sesuai dengan harapan publik. Soal penentuan siapa nanti yang akan resmi diusung, tetap menjadi wilayah kebijakan elite politik parpol di tingkat nasional.
Padahal, beberapa elite parpol di tingkat lokal Jakarta, seperti PDI-P, Gerindra, PKS, PAN, PPP dan PKB tampaknya memiliki resistensi terhadap pencalonan Ahok pada Pilkada Jakarta kali ini, sehingga mereka tampak sepakat untuk mengusung cagub selain mantan Bupati Belitung Timur ini. Meskipun Gerindra nampaknya sudah memberikan sinyal kepada Sandiaga Uno untuk maju dalam Pilkada DKI, namun tetap saja masih bisa ada kemungkinan peluang lain jika pada akhirnya Gerindra harus menerima koalisi.
Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, selalu ada elite yang terdiri dari sekelompok kecil orang yang secara sosial-politis mendominasi. Tidak hanya karena posisinya yang diuntungkan secara sosial-politis karena dia memiliki jabatan atau kedudukan, tetapi karena memang mereka secara sosial adalah individu-individu yang superior. Para elite inilah sebenarnya seringkali memiliki kewenangan penuh dalam soal menentukan apapun kebijakan yang harus diputuskan.
Sama halnya dengan kasus penentuan calon kontestan politik seperti dalam Pilkada Jakarta ini, keputusan para elite di tingkat pusat lebih dapat mengikat mengenai siapa sebenarnya yang akan disetujui untuk berlaga pada kontestasi Pilkada Jakarta mendatang. Dengan demikian, upaya komunikasi politik seperti apapun yang dibangun antarparpol di tingkat lokal, belum sepenuhnya menjadi cermin bagi hasil keputusan final yang akan diambil oleh para elite politik pusat.
Jika Partai Gerindra melalui Prabowo sudah memberikan siyal kepada Sandiaga Uno, lain halnya dengan PDI-P karena masih harus menunggu restu dari Megawati mengenai siapa yang akan terpilih. Selama jajaran elite politik di tingkat pusat belum memberikan sinyal dukungan kepada kontestan politik tertentu, maka jangan berharap bahwa nama-nama yang digadang-gadang publik sebagai penantang Ahok akan mulus diusung oleh parpol sebagai kontestan pada Pilgub DKI Jakarta nanti. Lagi-lagi, penjaringan nama bakal calon gubernur DKI Jakarta yang diatur dalam mekanisme konvensi internal parpol yang semakin mengerucut, belum tentu juga semuanya bakal diakomodasi oleh parpol, jika elite politik parpol di tingkat pusat menyetujui nama lain diluar jalur konvensi, itu mungkin saja nama-nama yang terjaring dalam konvensi serta merta gugur. Semuanya masih harus menunggu restu dari para elite politik pada tingkat nasional.
Jika melihat kepada peluang siapa kontestan yang kemungkinan besar terpilih untuk bertarung di Pilkada Jakarta untuk melawan Ahok, mungkin hanya ada beberapa nama yang secara nasional sudah memenuhi keinginan para elite politik di seluruh tingkatan. Nama Sandiaga Uno, Tri Rismaharini dan Suyoto merupakan tiga nama diantara sekian banyak kandidat yang paling banyak dibicarakan dalam level elit politik nasional. Jika benar Sandiaga telah resmi ditunjuk oleh Prabowo sebagai kontestan politik pada perhelatan Pilkada Jakarta nanti, maka hanya tinggal dua nama yang menunggu restu dari para elite politik pusat. Nampaknya sederetan nama-nama lain yang sempat meramaikan pencalonan gubernur DKI Jakarta, agak sulit diterima jika mekanisme keputusan harus ada di level elite politik nasional. Apalagi beberapa nama yang beredar di ranah publik bukanlah merupakan kader parpol yang memiliki cukup suara dalam pentas politik nasional.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, siapapun kandidat calon gubernur yang diusung, nampaknya sama-sama memiliki potensi untuk bisa menang atau kalah dalam perhelatan kekuasaan politik di Ibu Kota tersebut. Ahok maupun kontestan lain sama-sama pertama kali berlaga untuk ikut kontestasi pemilihan gubernur secara langsung, sehingga masing-masing tetap memiliki peluang yang sama, bisa memenangkan atau bisa dikalahkan. Karena sama-sama memiliki peluang kalah-menang, maka tinggal strategi politik apa yang akan lebih unggul dalam upaya meraup suara terbanyak pada saat pemilu digelar.
Beberapa parpol yang cenderung resistensi terhadap Ahok, mulai menimbang-nimbang siapa kontestan yang dianggap “layak dijual” agar dapat memenuhi target perolehan suara terbanyak. Parpol tidak mungkin mengedepankan ego-nya masing-masing agar kader internalnya dapat berlaga dalam kontestasi politik kali ini. Yang lebih dikedepankan parpol adalah bagaimana kompetisi ini berjalan sesuai dengan mekanisme demokratisasi yang telah disepakati.
Meskipun sebenarnya terdapat bentuk superioritas atas elit parpol di tingkat pusat, tetapi dalam sebuah sistem demokratis pertimbangan-pertimbangan rasional politik yang dijalankan dalam bentuk komunikasi secara menyeluruh, baik antarelit dalam skala lokal maupun nasional atau massa dengan elit tetap akan menjadi muara dalam hal finalisasi bagaimana kebijakan itu ditetapkan. Hal ini membentuk sebuah equality dalam sistem demokratisasi politik yang saat ini sedang berjalan. Todorov pernah mengingatkan bahwa, “we want equality without is compelling us to accept identity, but also difference without its degenerating into superiority/inferiority”.