Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib 10 Sandera Abu Sayyaf Masih Belum Jelas

11 April 2016   06:44 Diperbarui: 11 April 2016   08:35 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir dari dua pekan, nasib para sandera asal Indonesia masih belum jelas keberadaannya sejak Kapal Tunda Brahma 12 dan Kapal Tongkang Anand 12 berbendera Indonesia dibajak oleh sekelompok orang bersenjata yang diyakini kelompok Abu Sayyaf. Kapal ini dikabarkan sedang dalam perjalanan dari Sungai Puting Kalimantan Selatan menuju Batangas, Filipina Selatan. Hingga sampai batas akhir tanggal 8 April 2016—batas yang diberikan oleh kelompok teroris—nampaknya belum terlihat tanda-tanda yang jelas mengenai nasib 10 WNI ini.

Sebagaimana diketahui, kelompok teroris meminta tebusan 50 juta peso atau setara 14,3 milyar jika ingin para sandera tersebut dibebaskan. Sejauh ini, pemerintah hanya mengupayakan jalur diplomasi yang dilakukan bersama pemerintah Filipina, belum terdapat opsi lain yang disebut akan digunakan dalam rangka pembebasan para WNI. Berbagai upaya dialog dan negosiasi bahkan mulai diupayakan diluar jalur diplomasi resmi antar kedua negara, yakni dengan menghadirkan orang-orang tertentu agar bisa bernegosiasi karena memiliki “kedekatan” dengan kelompok Abu Sayyaf, seperti Nur Misuari dan Umar Patek.

Nur Misuari diketahui sebagai tokoh Pembebasan Bangsa Moro (MNLF) di Filipina Selatan yang memiliki pengaruh cukup besar dikalangan muslim Filipina. Nur Misuari pernah juga menjabat gubernur di wilayah otonomi Mindanao pada masa pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos. Ketokohan Misuari diakui oleh International Conference of Islamic Scholar (ICIS) yang berkedudukan di Jakarta. ICIS melalui Sekjen-nya KH Hasyim Muzadi menilai Misuari dapat mempergunakan pengaruhnya untuk meminta Abu Sayyaf membebaskan para sandera. ICIS mengakui pernah juga melakukan negosiasi dengan tokoh-tokoh Thaliban di Afghanistan dan berhasil membebaskan para wartawan Korea Selatan yang disandera pihak Thaliban.

Adapun Umar Patek dikenal sebagai orang yang pernah melatih personel kelompok Abu Sayyaf dan kelompok Muslim Moro, yang dipimpin Misuari. Patek memang sedang dalam tahanan akibat terbukti terlibat dalam berbagai aksi teroris di Indonesia. Patek dijanjikan pengurangan hukuman oleh pemerintah Indonesia asal dapat melobi kelompok Abu Sayyaf untuk dapat membebaskan 10 sandera WNI. Meskipin demikian, kabar Patek yang akan dihadirkan guna bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf nampaknya masih ditutup-tutupi pemerintah. Keberadaan dan posisi Patek yang merupakan tahanan teroris masih dipertimbangkan guna melobi kelompok Abu Sayyaf dalam upaya pembebasan para sandera.

Pemerintah Indonesia nampaknya enggan untuk memberikan tebusan kepada kelompok Abu Sayyaf dan mengakhiri drama penyanderaan ini. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pernyataan di media, baik sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Presiden Joko Widodo. Kalla bahkan menolak menggunakan opsi tebusan uang dan mendorong perusahaan pemilik kapal agar tidak melakukan upaya pembebasan melalui tebusan. Kita bisa bandingkan bagaimana pemerintah mengupayakan biaya besar hingga mencapai angka 225 milyar untuk mensupport pembalap F1, Rio Haryanto dan enggan berupaya membayar tebusan dengan nilai 15 milyar untuk WNI yang disandera kelompok teroris. Sungguh kita disuguhkan sebuah kenyataan yang sangat ironi.

Kita belum bisa menebak, bagaimana akhir dari drama penyanderaan yang dilakukan kelompok bersenjata Abu Sayyaf ini, apakah berhasil dibebaskan melalui jalur diplomasi dan negoisasi tanpa uang tebusan? Pemerintah nampaknya tetap menjalankan opsi negosiasi dan diplomasi yang diserahkan kepada pemerintah Filipina sehingga terlihat kurang maksimal. Pendekatan “damai” melalui negosiasi dan dialog dalam upaya pembebasan sandera diakui Kepala BIN Sutiyoso, bahwa Indonesia akan tetap melaksanakan konsep soft power dalam upaya pembebasan 10 sandera WNI, bukan hard power melalui pendekatan militer. Kondisi para sandera yang posisinya berada di Negara lain juga menjadi pertimbangan dalam kendala persoalan izin lintas negara jika harus dilakukan operasi militer.

Saya justru khawatir, upaya diplomasi yang kurang maksimal ini justru akan membuat drama penyanderaan ini berakhir dengan terbunuhnya para sandera WNI—tentu kita sangat berharap itu tidak terjadi—di tangan kelompok bersenjata ini, Jika ini yang terjadi, maka Indonesia secara politik sudah dilecehkan Thailand, karena ternyata pemerintah Thailand juga tidak serius dalam upaya melakukan pembebasan sandera. Padahal, beberapa waktu yang lalu, pemerintah Filipina sukses melakukan diplomasi politik dengan pemerintah Indonesia untuk menunda eksekusi mati bandar narkoba asal negeri uang dijuluki Lumbung Padi itu, Mary Jane. Pemerintah Filipina mestinya juga dapat secara maksimal untuk melakukan pembebasan atas WNI yang sampai saat ini masih disandera oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf, karena Indonesia mengabulkan permohonan penundaan eksekusi mati Mary Jane.

Informasi yang beredar di media, bahwa akibat tenggat waktu yang telah ditentukan telah habis dan upaya negosiasi masih menemukan jalan buntu, maka para sandera dikabarkan  sudah disebar penempatannya tidak disatu titik agar tidak mudah dideteksi dan akan semakin menyulitkan pembebasan jika diupayakan melalui operasi militer. Jangan sampai kisah-kisah tragis sandera Abu Sayyaf menimpa para WNI yang justru mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah para pekerja yang berjibaku dengan lautan mencari penghidupan yang layak untuk sanak keluarganya, bukan wartawan, bukan politisi, bukan pengusaha mereka hanyalah kurir yang kebetulan berada pada wilayah yang tidak menguntungkan mereka. Pemerintah harus bergerak cepat untuk hal ini, karena ini berkaitan dengan nyawa yang tidak bisa dinilai dengan uang berarpapun. Banyak opsi yang bisa dilakukan dengan tidak hanya sekedar menunggu upaya diplomasi dari pemerintah Filipina.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun