Belakangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kerapkali disudutkan oleh banyak pihak atas rekomendasi pendapat keagamaannya yang secara eksplisit menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika berkunjung ke Kepulauan Seribu adalah bentuk dari penistaan agama. Saya kira, kajian keagamaan yang dilakukan MUI terhadap soal ini, tidaklah berdiri sendiri dengan mengedepankan unsur subjektivitas diantara mereka masing-masing, tetapi lebih didasari oleh upaya menjaga keharmonisan umat Islam yang dikhawatirkan bisa saja “liar” jika MUI tidak memberikan rekomendasi apapun.
MUI diketahui merupakan organisasi yang diakui oleh negara yang didalamnya berkumpul unsur-unsur tokoh agama dari berbagai ormas Islam yang ada. Rekruitmen keanggotaan MUI juga dilaksanakan secara demokratis melalui pemilihan kompetitif bukan didasarkan pada penunjukkan oleh kekuasaan.
Keberadaan MUI memang seringkali dikritik, tidak hanya oleh kalangan politisi atau aktivis keagamaan, bahkan para tokoh agama Islam sendiri terkadang melontarkan kritiknya terhadap organisasi yang dianggap sebagai para ulama yang mapan berada di “menara gading” ini. Kritik seringkali dialamatkan oleh serentetan produk fatwa MUI yang dianggap “pesanan” penguasa tanpa melihat lebih jauh terhadap realitas sosial yang ada. Padahal, sejatinya, hampir seluruh fatwa yang dikeluarkan MUI tidaklah “mengikat” tetapi lebih kepada rekomendasi yang bersifat “anjuran” yang dialamatkan kepada umat muslim Indonesia. MUI bukanlah lembaga resmi negara yang fatwanya mengikat terhadap masyarakat muslim berbeda dengan konsep “mullah” di Iran yang fatwanya memiliki kekuatan mengikat kepada masyarakat.
Saya kira, ketika ada yang tidak sejalan dengan satu atau dua orang yang mengatasnamakan MUI tidak secara langsung kita membuat generalisasi bahwa organisasi ini berisi orang-orang “picik” yang hanya mementingkan pencitraan atau terkesan dipolitisasi oleh “alat kekuasaan”. Sama halnya, ketika ada satu atau dua orang misalnya yang membuat pernyataan-pernyataan yang mengklaim sebagai utusan dari salah satu ormas Islam, tidak sepenuhnya juga bahwa ormas itu merupakan “alat” politik atau condong kepada kelompok atau pihak tertentu.
Perbedaan pemikiran dan pendapat selayaknya dipandang sebagai sebuah dialektika publik yang bersifat wajar dan disinilah justru alam dinamisasi nalar berputar. Ketika tidak mampu menerima perbedaan atau bahkan memberikan kritik yang tidak seimbang, justru malah sama dengan menyemai kepicikan itu sendiri. Saya malah heran justru ketika ada suara agar MUI dibubarkan, padahal mereka justru berfungsi sebagai katalisator dan dinamisator umat Islam yang notabene mayoritas di Indonesia.
Sebagai wadah para ulama, MUI memang spesifik diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan dalam bidang keagamaan Islam. Padahal, konteks “ulama” sebetulnya tidak hanya berkonotasi kepada para ahli agama saja, karena ulama juga bisa dialamatkan kepada mereka yang bukan ahli agama. Hal ini melihat kepada arti “ulama” yang merujuk kepada bahasa Arab yaitu yang dimaksud adalah “orang-orang yang berpengetahuan”. Namun terkadang, orang-orang membedakannya antara ulama dan ilmuwan, padahal keduanya memiliki konotasi yang sama, bahkan kata “ulama” dan “ilmuwan” memiliki rumpun kata yang sama berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap kedalam bahasa Indonesia.
Melihat realitas unsur-unsur di MUI, memang terdapat ulama ansich yang memang masih kental dengan pola pikir “beyond tradition” sehingga cenderung susah untuk “out of the box” terhadap realitas pemikiran keagamaan yang ada. Tetapi disisi lain ada juga ulama yang bersifat cendekiawan yang biasanya lebih inovatif dalam melakukan apa yang disebut dalam term agama sebagai “ijtihad”. Para ulama cendekiawan ini memang terkadang tidak terlalu dilihat oleh publik karena cenderung tidak banyak terlibat dalam urusan fatwa, tetapi lebih memberikan pencerahan kepada umat melalui tulisan-tulisannya secara pribadi yang tersebar di media massa.
MUI misalnya memiliki sederet tokoh nasional yang duduk di Dewan Pertimbangan, seperti Prof.Dr HM Din Syamsudin, MA, Prof.Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA. Sederetan nama ini merupakan para ulama sekaligus cendekiawan yang banyak memberikan pencerahan umat yang tidak melalui fatwa.
Ralitas publik justru terjebak pada penilaian yang kurang berimbang yang seakan-akan bahwa MUI hanyalah organisasi yang mengurusi soal fatwa keagamaan tidak lebih. Apalagi fatwa yang dilihat hanyalah urusan-urusan soal penistaan agama saja yang terjadi dalam masyarakat, sehingga akan membawa frame yang sempit dalam melihat MUI secara keseluruhan. MUI memang berfungsi untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat soal suatu perbuatan yang dinilai memenuhi unsur penistaan agama atau tidak, tetapi yang berhak kemudian membawa ke ranah hukum merupakan tugas pihak kepolisian.
Akan lebih banyak terjadi anomali dalam masyarakat, ketika MUI justru memihak kepada satu kelompok atau cenderung kepada aliran keagamaan tertentu disaat organisasi ini mengeluarkan fatwa. Fatwa dikeluarkan, saya kira, merupakan jawaban atas desakan masyarakat terhadap sesuatu persoalan yang terjadi, sehingga posisi MUI dalam hal ini justru bisa menjadi peredam dari pihak-pihak yang akan memanfaatkan persoalan dalam masyarakat dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab.
Masyarakat Indonesia memang nampaknya semakin kekurangan produk-produk kecendekiawanan dari ulama, karena yang ada justru penyebaran-penyebaran informasi yang tidak seimbang oleh media. Media-media elektronik hanya dipenuhi oleh kegandrungan akan 3G (Girls, Guns dan Ghost) yang pasti tidak cendekia. Padahal, kecendekiawanan yang melekat pada para ulama minim disiarkan ke publik. Kita tentu bisa merasakan betapa produk-produk kecendekiawanan ulama hanya ditempatkan pada jam-jam dimana orang masih banyak yang tidur bukan di waktu-waktu prime time seperti acara entertainment yang justru hadir disaat orang-orang memang rileks. Disinilah nampaknya kemudian kekurangseimbangan informasi yang didapat oleh kebanyakan orang tentang ulama yang cendekia. Ketidakseimbangan ini justru memberikan efek stigmatisasi yang buruk pada akhirnya kepada organisasi semisal MUI.