Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menyoroti Viralnya Video Kampanye Ahok-Djarot yang "Penuh Kebencian"

11 April 2017   07:31 Diperbarui: 11 April 2017   18:00 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebuah video yang menampilkan beberapa frame soal adegan “kekerasan” yang mengambil ilustrasi dari kerusuhan Mei 1988 menjadi pembicaraan publik yang semakin ramai. Di media sosial, video berdurasi kurang lebih dua menit itu dipoles dengan hashtag#KampanyeAhokJahat kemudian menjadi viral. Beberapa stasiun televisi swasta bahkan telah secara khusus menghadirkan tim sukses dari masing-masing pendukung, baik kubu Ahok-Djarot dan Anies-Sandi untuk mengklarifikasi soal video yang justru dianggap provokatif itu. Sejak dari awal durasi penayangan video tersebut, kesan demonstrasi dan kekerasan yang menggambarkan realitas sosial diangkat menjadi tema utama dalam video ini, seakan rangkaian dari realitas sosial belakangan ditangkap oleh pendukung pasangan Ahok-Djarot sebagai data dan informasi yang kemudian “dimaknai” sehingga membentuk sebuah kerangka atau frame yang utuh.

Tidak berlebihan juga kiranya, bahwa kemunculan pasukan demonstrasi yang bersurban dan berpeci dengan spanduk bertuliskan “ganyang cina” dibelakangnya seakan menyampaikan pesan kepada mereka yang gemar “menjual” simbol-simbol agama adalah mereka yang justru “provokatif” dan gemar melakukan “kekerasan”. Framing inilah yang kemudian banyak menimbulkan polemik ditengah mengerasnya sentimen keagamaan sejak sebelum berlangsungnya Pilkada di Jakarta. Sentimen keagamaan yang sempat mendingin, kini malah menghangat kembali dan mulai memanas setelah viral-nya video kampanye Ahok-Djarot tersebut.

Entah terdapat kaitan atau tidak, bahwa pengunggahan video kampanye Ahok-Djarot yang kemarin dirilis bertepatan dengan akan dibacakannya tuntutan jaksa atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok di persidangan ke 18 yang pada hari ini rencananya digelar. Penolakan hakim atas permintaan kepolisian untuk menunda pembacaan tuntutan terhadap Ahok, nampaknya menjadi kekhawatiran di pihak pendukung Ahok-Djarot, sehingga pengunggahan video kampanye yang dinilai provokatif ini menjadi alasan utama untuk mempengaruhi opini publik betapa fenomena sosial belakangan penuh dengan intimidasi dan juga provokasi yang dapat “menekan” dan mempengaruhi keberpihakan seseorang. Frame demi frame dalam video tersebut paling tidak ingin menyampaikan pesan, negara ini sedang dalam keadaan bahaya dan harus segera diperbaiki.

Memang sudah menjadi konstruksi umum dalam sebuah kampanye bahwa partai politik (parpol)  atau kontestan akan membuat pemaknaan terhadap sebuah realitas sosial yang terjadi. Parpol yang berada dalam lingkaran pendukung Ahok-Djarot nampaknya ingin menyadarkan masyarakat terhadap pelbagai peristiwa dan permasalahan melalui pemaknaan realitas sosial yang pernah terjadi. Kasus serangkaian demonstrasi umat muslim yang menuntut penegakkan hukum atas kasus penistaan agama, mengentalnya “politisasi agama” yang seringkali disebarkan bersamaan dengan virus “pemaksaan kehendak” atau sentimen-sentimen keagamaan yang dianggap anti-kebhinekaan, justru diciptakan dan dibentuk menjadi sebuah fenomena sosial dalam video kampanye Ahok-Djarot sehingga jelas menuai kontroversi. Justru frame yang menggambarkan “simbolisasi agama” dalam video tersebut seakan-akan menohok agama tertentu yang tentu saja bisa mengundang SARA.

Saya kira perlu adanya rekonstruksi terhadap pemaknaan berbagai realitas sosial yang akan dijadikan sebagai bahan atau “alat politik” berkampanye. Beragam permasalahan yang timbul dalam masyarakat sejatinya dapat direkonstruksi melalui pemaknaan-pemaknaan yang lebih positif, dengan menggambarkan bahwa agenda parpol adalah selaras dengan agenda politik nasional. Artinya, penggambaran singkat realitas sosial yang dipotret melalui beragam peristiwa lokal di masa lalu dan dimaknai dengan masa sekarang, terlebih terdapat framing yang memicu isu SARA, justru bertentangan dengan agenda politik nasional yang lebih menekankan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Alih-alih membangun kampanye positif yang memobilisasi masyarakat agar memilih pemimpin yang pro-kebhinekaan, malah terjerembab jatuh menjadi kampanye provokatif dan dituding anti-kebhinekaan karena terdapat sentimen SARA didalamnya.

Saya beranggapan, video berdurasi dua menit soal kampanye Ahok-Djarot yang viral malah mempertontonkan nuansa kebencian bukan suasana sejuk kebersamaan dalam keragaman yang ditunjukkan oleh kemajemukan suku bangsa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Mungkin kita dapat menangkap “makna” pada frame pertama drama dalam video tersebut, dimana sekerumunan orang menggedor-gedor kaca mobil yang didalamnya terdapat pasangan muda-mudi yang ketakutan, suasana chaos, orang berhamburan, kemudian banyak orang bernuansa putih-putih yang berteriak-teriak lengkap dengan “simbolisasi” agamanya, tak lebih dari sekedar menggambarkan “kebencian” sekelompok orang terhadap orang lain. Pemilihan nuansa “kekerasan” yang dilatari oleh aksi demonstrasi yang chaos justru memperlihatkan bangsa ini adalah bangsa yang suka “kekerasan” dan anti perdamaian. Walaupun pesan yang ditujukan jelas, bahwa kekerasan dan kebencian harus dihapuskan melalu kesadaran kebhinekaan, keragaman, namun tetap terdapat unsur provokatif yang sengaja dibangun dalam video tersebut sebagai “pesan politik” kepada pihak lawan.

Walaupun dunia politik terkesan boleh saja menghalalkan segala macam cara, namun saya kira, cara-cara berpolitik yang lebih santun dan bermartabat, terlebih sejauh ini senantiasa digaungkan oleh simpatisan Ahok-Djarot yang jangan terpancing provokasi, jangan membalas provokasi, jangan berkampanye hitam, malah seakan-akan terjerumus dalam kata-katanya sendiri. Kompetisi politik di negeri ini harus dibangun dengan sehat, adil dan berkeadaban, tanpa harus menyakiti atau melukai perasaan orang lain, terlebih menista kepercayaan atau agama lain. Jadilah bangsa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, sehingga sesulit apapun, sebenci apapun, cara-cara terbaik tetap dikedepankan dalam menyelesaikan beragam masalah, sehingga kerukunan antarkelompok, antaragama akan tetap terjaga dan hidup damai dalam bingkai besar kebangsaan.   

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun