Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Razia (Warteg) di Bulan Ramadhan

12 Juni 2016   12:56 Diperbarui: 12 Juni 2016   15:27 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
screenshot video Kompas TV Seorang ibu menangis saat dagangannya diangkut petugas Satpol PP Kota Serang, Banten, Jumat (9/6/2016)

Ada sedikit kegundahan diantara para pedagang makanan di sekitar kita ketika menjelang Ramadhan tiba, antara tutup atau tetap buka seperti biasa. Memberikan layanan kepada masyarakat satu sisi adalah sebuah alasan bahwa warung-warung makan tetap buka seperti biasa, terlebih lagi, bulan Ramadhan meskipun kebanyakan umat Muslim berpuasa, tetapi ada mereka-mereka yang tidak berpuasa karena perbedaan agama, sedang sakit, dalam perjalanan atau karena memang pekerja berat. 

Bagi saya, membuka warung-warung makan ketika bulan Ramadhan dengan tujuan memang sebagai usaha dan membantu mereka-mereka yang dalam kondisi tidak berpuasa sebetulnya tidak pernah dipersoalkan secara agama. Sejauh pemahaman saya mengenai agama Islam, tidak ada satu dalil-pun yang melarang supaya warung-warung makan tutup selama bulan Ramadhan. Bahkan dalam sejarah Islam awal, tidak pernah ada bahwa otoritas Muslim pada waktu itu “memaksa” agar tempat-tempat makan tutup untuk menghormati bulan Ramadhan.

Baru-baru ini ada kejadian yang cukup membuat geram banyak pihak, dimana masih ditemukan razia yang berlebihan yang dilakukan aparat terhadap warung makan yang masih buka di Bulan Ramadhan. Razia tempat makan secara berlebihan oleh aparat terjadi di Kota Serang, Banten, Jawa Barat. Anehnya, razia ini berasal dari himbauan yang disepakati bersama antara pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah kota setempat dalam rangka penertiban penyakit masyarakat sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 2 Tahun 2010 pemerintah Kota Serang. 

Saya agak sedikit mengerenyitkan kening, jika membuka warung makan di bulan Ramadhan adalah larangan dalam agama Islam, sungguh sebuah upaya pembenaran agama yang sesat dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang justru harus diteladani umat selama Ramadhan. Padahal, ada sebuah riwayat yang Sahih yang berasal dari Nabi saw yang menyatakan, bahwa “bulan Ramadhan merupakan bulan dibukanya pintu-pintu syurga, ditutup rapat-rapat pintu neraka dan setan-setan terbelenggu”. 

Hal ini sudah jelas, Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri bagi yang menjalani dimana banyak keutamaan yang dapat diraih termasuk puasa akan membuat “setan-setan terbelenggu”.

Saya kira, sejak masa-masa Islam awal, Nabi Muhammad saw tidak pernah memerintahkan agar bulan Ramadhan harus dihormati dengan cara menutup tempat-tempat makan, penghormatan yang diperintahkan Nabi selama Ramadhan adalah memperketat ibadah, memperbanyak amal soleh dan lebih peka terhadap masalah-masalah sosial. Justru sebuah ibadah itu lebih utama dan bernilai jika semakin berat dilakukan kondisinya atau diluar kondisi kebiasaan. 

Seorang Muslim yang berpuasa di negara-negara minoritas Muslim, misalnya, akan memiliki “nilai lebih” ibadah puasanya dibanding berpuasa di negeri-negeri mayoritas Muslim. Karena berpuasa di negara yang minoritas Muslim cenderung lebih sulit dan berat menyesuaikan kondisi ibadah puasa kita. Sama halnya ketika ibadah puasa dilakukan ditengah-tengah maraknya tempat-tempat makan tetap buka di bulan Ramadhan akan menambah “nilai lebih” bagi puasa kita yang sedang dijalankan. 

Puasa yang kita jalani semakin sulit dan berat dengan tetap dibukanya tempat-tempat makan justru akan menambah “nilai lebih”  dari puasa yang kita dapatkan. Hal ini cocok dengan sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “semakin sulit (berat) suatu ibadah semakin besar pahala yang diraih”.

Jadi saya kira, membuat aturan yang merazia tempat-tempat makan selama bulan Ramadhan seharusnya tidak mengikutsertakan agama di dalamnya, karena agama Islam tidak pernah sama sekali mempersoalkan bahwa tempat-tempat makan harus ditutup apalagi dilakukan razia dengan alasan agama, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar

Banyak salah persepsi mengenai adagium amar ma’ruf nahi munkar ini yang kemudian dijadikan tolok ukur dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kerusakan atau kemunkaran. Konsep ini sebenarnya memiliki relevansi dengan metode dakwah yang dibangun Nabi Muhammad saw, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw pada masa-masa awal dilakukan kepada keluarga dan pihak terdekat terlebih dahulu bukan kepada masyarakat luas secara umum. Kegiatan dakwah Nabi dengan metode “uswatun hasanah” (memberikan tauladan yang baik kepada umat) justru sukses menarik simpati berbagai kalangan ketika itu.

Seringkali konsep amar ma’ruf nahi munkar ini justru dimonopoli penafsirannya oleh kelompok-kelompok tertentu padahal, apa yang dimaksud oleh amar ma’ruf nahi munkar merupakan upaya berdakwah secara umum, dimana nilai-nilai kebaikan ditegakkan dan nilai-nilai keburukan disingkirkan. “Munkar” yang terambil dari bahasa arab mengandung pengertian “sifat-sifat keburukan yang bertentangan dengan syariat dan akal”, bukan pengertian yang mengandung pengertian “bentuk kebendaan” yang harus dilawan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun