Ilustrasi/Sumber: kompas.com
Pada 18 April lalu, organisasi Islam Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan awal puasa Ramadhan 1437 H jatuh pada Senin Pahing, 6 Juni 2016. Sedangkan 1 Syawal 1437 H jatuh pada Rabu Pahing, 6 Juli 2016. Bahkan Muhammadiyah sekaligus menetapkan 1 Dzulhijjah 1437 H jatuh pada Sabtu Legi, 3 September 2016. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ormas Islam ini selalu mengumumkan lebih dulu soal penentuan awal Ramadhan dibanding ormas Islam lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis) dan ormas Islam lainnya bahkan sebelum pemerintah memutuskan penentuan awal Ramadhan melalui sidang istbat yang biasa digelar oleh Kementrian Agama.
Persoalan perbedaan mengenai penentuan awal bulan dalam Islam memang bisa saja terjadi, meskipun metode penghitungan penanggalan (kalender) mengenai masuknya bulan baru (qomariyah) adalah sama untuk umat Islam di seluruh dunia, yakni tetap berpedoman kepada metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (visibilitas bulan). Terjadinya perbedaan mengenai perhitungan awal bulan dalam Islam sesungguhnya didasarkan pada asumsi bahwa terdapat wilayah-wilayah lain yang berbeda secara zona time. Perhitungan jam pasti juga berbeda-beda antar negara diberbagai belahan dunia dan ini sudah dihitung dan disesuaikan  berdasarkan wilayah zona time-nya sendiri-sendiri. Jadi, bisa dimungkinkan karena perbedaan zona time, jatuhnya awal bulan hijriyah di Indonesia misalnya bisa berbeda dengan wilayah Arab Saudi, dikarenakan perbedaan waktu dan wilayah zona time.
Metode dalam penghitungan kalender hijriyah didasarkan pada perhitungan siklus perputaran bulan, berbeda dengan masehi yang didasarkan pada siklus perputaran matahari. Dalam kalender hijriyah, penentuan awal bulan biasanya didasarkan pada dua metode, yaitu hisab dan rukyat (visibilitas bulan). Kedua metode ini dalam sejarahnya tetap dipergunakan dalam menentukan awal bulan qomariyah (hijriyah) bahkan penentuan awal bulan bisa ditetapkan untuk beberapa tahun kedepan berdasarkan hisab. Hanya saja, perbedaan yang terjadi biasanya terletak pada interpretasi atas metode hisab dan rukyat yang digunakan kemudian.
Sebagian umat Islam ada yang hanya menggunakan metode hisab saja dan ada yang menggabungkan antara keduanya, hisab dan rukyat. Bagi yang menggunakan metode hisab, berasumsi bahwa sebenarnya didalam hisab juga sudah terdapat didalamnya rukyat, hanya saja rukyat yang dilakukan hanya sebatas imkanu rukyat (visibilitas hilal) dan bulan baru selanjutnya dianggap tampak (ijtimak) meskipun tidak dilakukan berdasarkan penglihatan dengan kasat mata. Hal ini berbeda dengan penganut metode penggabungan hisab dan rukyat. Meskipun secara hisab sudah diketahui awal bulan hijriyah, namun rukyat tetap merupakan jalan terakhir dalam menentukan tampak atau tidaknya hilal (bulan sabit) melalui penglihatan langsung. Jika hilal tidak tampak, kemudian dilakukanlah istikmal (penyempurnaan) sehingga awal bulan tidak bisa terjadi pada esok hari, tetapi pada hari berikutnya.
Kasus di Indonesia, perbedaan interpretasi atas metode hisab dan rukyat ini pernah beberapa kali terjadi, terutama perbedaan yang biasanya terjadi antara Muhammadiyah dan pemerintah. Pemerintah sebagai fasilitator yang mewadahi berbagai organisasi Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah dan lainnya sejatinya sudah membentuk sidang istbat (ketetapan bersama) untuk menyeragamkan perbedaan interpretasi atas fenomena perhitungan awal bulan hijriyah ini, khususnya mengenai awal Ramadhan dan Syawal (idul fitri). Pemerintah justru tidak melakukan monopoli atas kapan mulai berlakunya awal Ramadhan dan Syawal, tetapi selalu melibatkan seluruh ormas Islam agar didapatkan kesepakatan bersama. Penyamaan persepsi mengenai ketetapan awal bulan yang dilakukan pemerintah semestinya dijadikan titik temu dalam rangka persatuan, bukan perpecahan. Meskipun pada kenyataannya, perbedaan pendapat mengenai penentuan awal Ramadhan dan Syawal memang tidak bisa dihindari karena perbedaan atas interpretasi kedua metode tadi.
Perbedaan mengeai penetapan awal bulan hijriyah yang terjadi di Indonesia khususnya, memang diyakini sejauh ini berdasarkan perbedaan pembacaan atas dalil-dalil syar’i yang berkaitan dengan pelaksanaan hisab dan rukyah yang dipergunakan sejak dahulu. Sehingga, perbedaan interpretasi ini berada pada wilayah ijtihadi (klaim kebenaran atas sebuah teks) yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya. Ormas Islam Muhammadiyah misalnya, mengacu pelaksanaan metode hisab berdasarkan pada Q.S 55:5 dan Q.S 10:5 dimana al-Quran menggambarkan bahwa matahari dan bulan beredar berdasarkan perhitungan waktu, sehingga metode hisab berdasarkan ayat-ayat ini dianggap paling kuat. Sedangkan metode rukyat yang ada dalam sejarah Islam yang dilakukan Nabi hendaknya dipahami sebagai illat (alasan terjadinya suatu hukum) saja, karena pada zaman Nabi saw sangat minim orang yang paham ilmu astronomi.
Disisi lain, seperti yang dilakukan ormas Islam NU, metode hisab tetap dipakai sebagai acuan pehitungan mengenai siklus bulan hijriyah, tetapi digabung dengan metode rukyah, karena rukyat bukanlah illat tetapi memang alasan yang dipergunakan Nabi saw dan para sahabatnya dalam menentukan awal bulan hijriyah. Alasan rukyatyang bukan merupakan illatdapat dilihat dari sebuah riwayat shahihyang berasal dari Bukhori dan Muslim bahwa Nabi saw memerintahkan agar berpuasa ketika melihat hilal (bulan baru) dan berhenti berpuasa (karena syawal) dengan melihat hilal. Alasan lain juga diperkuat oleh adanya riwayat yang bersumber dari Muslim bahwa seorang sahabat Nabi saw yang bernama Kuraib pernah diutus ke daerah Syam (Iraq).
Sesampai di negeri Syam, Kuraib menyaksikan orang-orang sudah berpuasa karena menurut persaksian orang-orang disana, mereka telah melihat hilal. Maka sesampainya kembali ke Madinah, Kuraib menyampaikan hal ini kepada Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Syam telah berpuasa, berbeda dengan Madinah yang belum berpuasa. Maka Ibnu Abbas menjawab, bahwa orang-orang di Madinah belum melihat hilal, sehingga mereka melakukan istikmal, demikianlah yang Nabi saw ajarkan kepada kaum muslimin. Riwayat dari Muslim ini kemudian menjadi rujukan bahwa bisa saja terjadi perbedaan diantara dua wilayah karena perbedaan dalam melihat hilal, sehingga metode rukyattidak dianggap illatdalam menangani kasus perbedaan penentuan awal bulan hijriyah.
Asumsi saya, yang terbaik adalah menyatukan dua metode ini secara bersama-sama tetapi dengan tidak melihat kepada perbedaan pembacaan atas dalil-dalil syar’i yang ada. Kementrian Agama semestinya bisa menjadi otoritas tunggal dalam hal penyeragaman perbedaan penetapan awal bulan ini melalui kesepakatan-kesepakatan yang terjadi diantara ormas Islam yang ada. Otoritas tunggal yang dimaksud adalah bahwa semua ormas Islam dengan penuh kesadaran dan menghilangkan egonya masing-masing duduk bersama menyepakati penanggalan kalender Islam sehingga sekecil mungkin perbedaan-perbedaan yang terjadi dapat dihindari. Jika di negara-negara Islam lain pemerintah menjadi otoritas tunggal, maka di Indonesia ormas-ormas Islam-lah yang menjadi otoritas tunggal yang difasilitasi pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama. Sehingga bisa dipastikan untuk waktu-waktu yang akan datang, tidak lagi terjadi bahwa ada ormas Islam yang lebih dahulu mengumumkan awal Ramadhan, mendahului keputusan otoritas tunggal.
Wallahu a’lam bisshawab