Entah kenapa, bahwa dalam setiap perhelatan politik, baik itu pilkades, pilkada atau pilpres keseluruhan pelaksanaannya pasti berpotensi konflik. Konflik ini bisa dipicu tidak hanya sekadar adanya sentimen SARA, tetapi sentimen-sentimen negatif lainnya yang justru seringkali timbul akibat adanya “gesekan” secara horizontal yang dilakukan oleh masing-masing pendukung para kontestan politik.
Konflik secara kebetulan memang senantiasa mengikatkan diri dalam sejarah kemanusiaan, karena sebagian besar sejarah kemanusiaan diwarnai konflik karena setiap individu atau kelompok selalu memiliki perbedaan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian persoalan hidup.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara demografis masyarakatnya diikat oleh beragam tradisi dan budaya yang cenderung berbeda bahkan bertentangan antara satu budaya dan budaya lainnya yang terbangun dalam sebuah realitas masyarakat.
Secara sosiologis, perbedaan-perbedaan nilai, budaya, adat atau tradisi bahkan keyakinan yang dimiliki setiap individu dalam sebuah masyarakat seringkali merupakan ranah potensial abadi sebagai pemicu munculnya sebuah konflik dalam masyarakat.
Konflik justru merupakan hal yang sangat wajar dalam dimensi sosial, karena setiap individu secara sosial akan mengikatkan diri dengan kelompoknya yang memiliki nilai-nilai atau budaya yang sama atau sejenis dan cenderung menjauhi kelompok-kelompok lain yang berbeda tujuannya.
Kondisi masyarakat dalam sebuah entitas sosial kemudian sengaja dibuat beragam, dikotak-kotakkan berdasarkan kelompok dan tujuan yang akan dijalankannya masing-masing. Perjuangan masing-masing individu dan kelompok untuk mencapai tujuannya dalam prosesnya seringkali memicu konflik ketika dihadapkan dengan kelompok lain yang berbeda tujuan.
Sama halnya konflik akan senantiasa terjadi dalam dunia politik, disaat perhelatan kontestasi politik baik itu pilkades, pilkada maupun pilpres mulai digelar. Perbedaan pilihan politik yang terjadi dalam sebuah masyarakat cenderung berpotensi konflik padahal memilih untuk hal apapun termasuk politik merupakan sisi terpenting yang dijamin kebebasannya oleh prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Tidak hanya bagian dalam HAM, bahkan nilai-nilai sosial, budaya atau agama juga memberikan kebebasan untuk bisa memilih tanpa harus menciderai pihak-pihak lain yang berbeda pilihan politiknya. Namun kenyataannya, hampir seluruh proses dalam setiap perhelatan politik apapun di Indonesia pasti menimbulkan konflik, meskipun tidak sampai pada tahap konflik fisik secara terbuka yang terjadi antarpendukung kontestan politik.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jauh-jauh hari telah merilis hasil pantauannya terhadap wilayah-wilayah dalam pelaksanaan pilkada serentak 2017 yang berpotensi rawan konflik. Terdapat beberapa daerah yang disebut potensial terjadi konflik yang dihubungkan dengan penyelenggaraan pilkada, yaitu Papua, Papua Barat, Aceh dan Banten.
Tiga wilayah yang disebut lebih dahulu merupakan wilayah terujung Indonesia, sehingga konflik bisa saja terjadi akibat manipulasi surat suara pada saat distribusi. Belum lagi Papua dan Aceh merupakan daerah yang masyarakatnya memiliki sentimen primordialisme yang sangat kuat berkait dengan tradisi dan budaya setempat yang mengikat sehingga mudah sekali berbenturan dengan budaya lain yang berbeda.
Lagi pula, Papua dan Aceh sejak dahulu dikenal sebagai wilayah konflik akibat sejarah panjang kasus separatisme yang pernah hadir di sana. Banten saya kira, merupakan keunikan tersendiri ketika disebut Bawaslu sebagai wilayah rawan konflik Pilkada. Kemungkinan besar karena adanya kepentingan politik tertentu yang berkait dengan “dinasti politik” yang dikuasai para keturunan adat.