Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mempertanyakan Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi

29 November 2016   11:55 Diperbarui: 29 November 2016   12:07 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia saat ini sedang menyoroti kasus minoritas muslim di Myanmar yang sedang “dihabisi” oleh Junta Militer di negeri Tanah Emas tersebut. Etnis Rohingya yang kurang lebih berjumlah 1,1 juta orang telah sekian lama menjadi warga negara “kelas dua” di Myanmar dan terus menerus mendapat tekanan, bahkan mereka termasuk warga negara yang tidak memiliki hak pilih dan dipilih ketika pemilu digelar di negeri yang memiliki 7 wilayah negara bagian tersebut. 

Myanmar—yang sebelum 1989 dikenal sebagai Burma—telah lebih dari 46 tahun dipimpin oleh pemerintahan Junta Militer yang dikenal “rasis”. Bagaimana tidak, istilah “Burma” yang didominasi oleh etnis Bama di Myanmar senantiasa menunjukkan superioritasnya sebagai etnis terbesar sehingga seringkali menekan kelompok-kelompok minoritas lainnya, terlebih etnis muslim yang hidup di wilayah negara bagian Rakhine.

Keberpihakan otoritas Junta Militer Myanmar terhadap etnis tertentu sudah sangat dirasakan bahkan sebelum Burma berubah menjadi Myanmar. Pemerintahan Myanmar misalnya telah memberikan otoritas kepada etnis tertentu, seperti Mon, Chin, Kahcin, Kayah dan Shan untuk mendirikan sebuah negara tersendiri di wilayah Myanmar. Namun, otoritas tidak berlaku untuk etnis Rohingya, walaupun etnis ini mayoritas di wilayah Rakhine. Pemerintah lebih memilih etnis Rakhin yang beragama Budha yang hanya sekitar 10 persen menduduki wilayah tersebut untuk diberikan hak istimewa. Dengan demikian, mayoritas etnis Rohingya yang beragama Islam justru semakin dipinggirkan oleh penguasa bahkan dikebiri hak-haknya sebagai warga negara, sehingga kehidupan muslim Rohingya di Myanmar jauh dari rasa kemanusiaan apalagi kesejahteraan.

Adalah Aung San Suu Kyi, salah seorang pejuang demokrasi yang dikenal gigih di Myanmar, memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan perdamaian yang selama kurang lebih 28 tahun berjuang melawan kesewenang-wenangan Junta Militer. Perjuangan Suu Kyi kemudian menghasilkan perubahan, demokrasi lebih mewarnai kehidupan sosial-politik di Myanmar dan Suu Kyi didapuk menjadi pemimpin Myanmar dengan jabatan State Counsellor (setara perdana menteri) yang disetujui oleh parlemen. 

Suu Kyi dianggap sebagai ikon demokrasi di negeri Junta Militer tersebut karena berhasil merubah tatanan pemerintahan yang dulunya sangat berkesan militeristik dengan iklim demokrasi yang lebih terbuka dan transparan. Suu Kyi bahkan kemudian dianugerahi  Nobel Perdamaian pada 2012 sebagai pejuang demokrasi dan pemrakarsa perdamaian.

Penggagas demokrasi dan perdamaian yang melekat pada Suu Kyi, belakangan mulai banyak dipertanyakan banyak pihak, bahkan ada sementara kalangan yang memprakarsai sebuah petisi agar Nobel Perdamaian yang disematkan kepada dirinya dicabut. Nobel Perdamaian yang seharusnya melekat pada diri seseorang sepanjang hidup, justru ternodai oleh beberapa pernyataan Suu Kyi yang justru rasis. 

Pasalnya, Suu Kyi pada 2013 lalu pernah mengutarakan penyesalannya karena dirinya tidak diberitahu telah diwawancarai seorang jurnalis muslim yang mempertanyakan kondisi etnis muslim Rohingya di negaranya yang kerapkali mendapatkan kekerasan bahkan pengusiran paksa dari wilayahnya. Pernyataan Suu Kyi yang kontroversial ini jelas bertolakbelakang dengan label pejuang demokrasi dan perdamaian yang diperolehnya, kerena justru semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang rasis, antiperdamaian dan antimuslim. Satu kalimat yang diungkapkan Suu Kyi justru tidak mencerminkan seorang pejuang demokrasi apalagi menggelorakan perdamaian bagi Myanmar dan negara-negara lainnya.

Kita tentu dibuat miris oleh sebuah kenyataan bahwa selama 3 tahun terakhir, lebih dari 140.000  minoritas muslim etnis Rohingya di Myanmar terusir dari negerinya sendiri karena mengalami berbagai macam kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat militer otoritas setempat. Pemberitaan diberbagai media bahkan menggambarkan, bagaimana penyiksaan-penyiksaan yang harus diterima mereka yang sama sekali jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Suu Kyi hanya bungkam tidak memberikan reaksi apapun terhadap serangkaian upaya kekerasan yang terjadi ini. Dia seakan membenarkan, bahwa etnis muslim tidak boleh hidup di negeri yang mayoritas beragama Budha. Masih pantaskah gelar Nobel Perdamaian disematkan pada Suu Kyi?

Banyak yang beranggapan, bahwa diamnya Suu Kyi justru memberikan keleluasaan militer Myanmar untuk terus melakukan pembersihan etnis Rohingya dari negaranya. Hal ini jelas tiada bedanya dengan kekuasaan rezim Junta Militer terdahulu yang seringkali melakukan pelanggaran HAM terkait pemberangusan hak-hak minoritas terhadap mayoritas. 

Perjuangan Suu Kyi selama 28 tahun membangun tonggak demokrasi di Myanmar justru hanya sekedar menegaskan kekuasaan tirani dirinya bahkan hegemoni yang kuat atas militer yang saat ini masih berbulan madu dengan Suu Kyi. Diakui atau tidak, Suu Kyi bersimbiosis mutualisma dengan militer, dimana pihak militer hanya menjadikan Suu Kyi sebagai bentuk legitimasi pemerintahan Myanmar yang demokratis dimata negara-negara lain dan Suu Kyi diberikan angin segar oleh militer untuk menduduki jabatan strategis di negerinya. Namun yang pasti, sentimen antimuslim memang sedang menguat di Myanmar, sehingga tidak hanya otoritas pemerintahan yang berjibaku “menghabisi” etnis muslim, tetapi juga semua etnis mayoritas, bahkan para pemuka agama juga dalam kondisi yang sama.

Saya kira, Suu Kyi sebagai seorang pejuang demokrasi dan corong penggagas perdamaian di Myanmar seharusnya mampu menjadi sosok terdepan untuk mengecam dan bersuara lantang ketika ada pelanggaran HAM di negerinya sendiri. Posisinya yang strategis sebagai orang nomor dua di Myanmar justru akan dapat lebih didengar suaranya oleh penguasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun