Tidak seperti wilayah lainnya di Indonesia, pilkada Jakarta sepertinya memiliki daya tarik tersendiri soal bagaimana tipologi para pendukung setiap kontestan jelang perhelatan politik kali ini terbentuk. Padahal, tipologi pemilih rata-rata memiliki kecenderungan yang sama dalam hal memilih di hampir seluruh kontestasi politik yang ada.
Jakarta sebagaimana diberitakan oleh banyak media, selalu mencerminkan suhu politik yang relatif panas karena memang “cuaca panas” dihasilkan oleh setiap pendukung masing-masing kandidat sehingga mengenal tipologi para pemilih dan pendukung setiap kontestan di pilkada Jakarta justru semakin menarik. Terlihat jelas bahwa emosi politik para pemilih di Jakarta lebih banyak dibentuk oleh apresiasi setiap individunya terhadap beragam informasi politik yang ditangkap secara kognitif oleh alam pikiran mereka sendiri.
Para pendukung dan non-pendukung salah satu kandidat jelang kontestasi politik di Jakarta tidak seluruhnya mengedepankan rasionalitas politik, meskipun Jakarta dianggap sebagai cermin masyarakat perkotaan. Padahal semestinya, masyarakat Jakarta yang secara geografis merupakan wilayah perkotaan, dianggap banyak orang sebagai perwujudan masyarakat yang rasional terutama soal pilihan politik.
Masyarakat yang cenderung rasional akan memilih kandidat sesuai dengan program kerjanya yang ditawarkan atau mampu memberikan solusi konkret terhadap persoalan masyarakat yang ada, tidak lagi tergantung pada persoalan ideologi apa yang dianut oleh seorang kandidat.
Namun demikian, ketika solusi konkret dalam persoalan masyarakat belum juga terpecahkan atau program kerja ada yang tidak sesuai dengan harapan publik, para pemilih rasional bisa saja bersikap “subjektif” dalam menilai setiap kandidatnya yang akan dipilih. Subjektivitas pemilih di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur rasional dan non-rasional dalam hal politik. Umumnya, model masyarakat seperti ini membentuk sebuah masyarakat kritis dalam mengapresiasi setiap hal yang bernuansa politis.
Dalam banyak hal, kecenderungan para pemilih yang relatif rasional seperti di Jakarta, dilihat dari apresiasi mereka kepada setiap kandidatnya, dapat dibedakan kedalam dua tipologi. Pertama, para pemilih yang berorientasi kepada “policy problem solving” dan Kedua para pemilih yang cenderung berorientasi “ideology”.
Meskipun terkadang kedua orientasi ini bisa saja berpadu dan hadir secara bersamaan pada setiap individu pemilih, tetapi seringkali salah satunya akan terlihat nampak lebih dominan. Tipologi pemilih yang disebut pertama biasanya lebih banyak melihat kepada keberhasilan kinerja (back ward looking) atau program kerja yang ditawarkan (forward looking) oleh masing-masing kandidat.
Kelompok ini cenderung tidak peduli terhadap ideologi apa yang dianut atau nilai-nilai apa yang dapat diambil dari seorang kontestan politik yang akan dipilihnya. Selama mereka yakin bahwa program kerja yang ditawarkan dapat memberikan solusi kepada masyarakat, mereka akan cenderung memilih kandidat yang dalam pandangan mereka mampu bekerja secara lebih baik.
Kelompok pertama yang disebutkan tadi, umumnya diwakili oleh kelompok-kelompok yang tingkat pendidikan dan ekonominya lebih tinggi. Kelompok-kelompok ini biasanya sudah merasa “nyaman” dengan program dan hasil kerja yang telah terbukti berhasil di masyarakat, sehingga memilih kandidat lain yang belum teruji program kerjanya cenderung sulit mereka terima.
Mereka juga umumnya bukanlah pemilih pemula atau pemilih mengambang (floating voters) dalam masyarakat. Mereka terbentuk sebagai pemilih yang erat kaitannya dengan kondisi awal sebagai pemilih yang banyak mengakses beragam informasi baik dari media atau dari berasal dari kontestan politiknya secara langsung. Kelompok ini cenderung lebih mudah dalam mengakses beragam informasi dan lebih kritis dalam mengolah terhadap seluruh informasi politik yang mereka terima.
Kelompok kedua biasanya lebih mengikatkan diri dalam hal kesamaan atau kedekatan berdasarkan subjektivitas terhadap pribadi kontestan politik, bisa karena kesamaan budaya, nilai, kepercayaan, agama, moralitas, norma atau emosi yang telah terbentuk dalam individu si pemilih. Semakin dekat terhadap ideologi yang ada dalam diri seorang kontestan politik, maka semakin kuat keyakinan para pemilih untuk memilihnya.