Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melemahnya Identitas Politik Ahok

21 Oktober 2016   11:14 Diperbarui: 21 Oktober 2016   15:35 3303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memamerkan kemeja kotak-kotak barunya yang akan digunakan untuk kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 kepada Kompas.com, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (21/9/2016). (Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)

Calon Gubernur Petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok banyak disebut-sebut oleh beberapa lembaga survei cenderung menurun elektabilitasnya jika dihadapkan dengan konstelasi politik jelang Pilkada Jakarta. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh kemunculan dua pasang calon kontestan politik lainnya sehingga cukup untuk memecahkan suara dukungan publik Jakarta. Namun demikian, banyak pula hal lain yang dianggap sebagai pemicu menurunnya elektabilitas petahana selain kemunculan dua calon kompetitor, yaitu melemahnya citra politik Ahok di mata publik. Merosotnya citra politik Ahok juga didukung oleh berbagai sepak terjangnya yang dinilai kurang humanis selama menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Berbicara mengenai sebuah identitas politik yang ada pada seorang kontestan, hal ini biasanya didukung oleh image yang terbentuk dalam dirinya dan kemudian divisualisasikan melalui berbagai atribut yang dipersepsikan oleh pihak luar mengenai sepak terjang dirinya sebagai kontestan politik. Saat pertama-tama Ahok menjadi gubernur, citra politiknya moncer dengan berbagai keberhasilannya menata infrastruktur Ibu Kota, bahkan seluruh lawan politiknya dipaksa bungkam karena tidak berhasil membangun citra buruk terhadap dirinya. Namun, belakangan ini justru berbalik, apa yang dipersepsikan oleh image orang lain terhadap dirinya, baik itu tentang citra, reputasi dan kredibilitasnya sedikit-demi sedikit mulai dipertanyakan publik. Image politiknya bahkan bertambah turun ketika Ahok membuat pernyataan yang mengandung SARA yang justru dialamatkan kepada agama tertentu. Saya kira, ini merupakan beban politik yang tidak hanya ditanggung oleh Ahok sendirian, tetapi seluruh parpol pendukung dan afiliasi politiknya juga ikut menanggung seluruh risikonya.

Image politik Ahok yang pada awal-awal selalu dilihat publik sebagai simbol perlawanan terhadap koruptor sekaligus pengganjal bagi birokrasi yang korup belakangan malah hampir tidak terlihat lagi. Yang muncul justru “perlawanan” yang begitu gigih dari berbagai pihak, terutama para lawan politiknya, untuk bisa menggagalkan kemenangan Ahok di Pilkada Jakarta nanti. Padahal image positif yang ditanamkan Ahok selama ini sebagai ikon perlawanan terhadap korupsi sudah cukup memberikan positioning yang bisa menjadi salah satu sumber penentu bagi kemenangan Ahok di Pilkada nanti. Sebuah image politik yang melekat pada seorang kontestan tentunya sangat sulit digantikan atau digeser, tetapi sebuah image politik bisa diberangus atau dihancurkan melalui strategi yang dinamakan “pembunuhan karakter”. Ahok dalam hal ini, seakan menggali lubang kuburnya sendiri dengan membuat pernyataan yang dianggap banyak pihak justru memicu isu SARA sehingga meruntuhkan identitas politiknya sendiri.

Saya kira, Ahok lupa, bahwa pembentukan image politik tidak selalu diikuti oleh komunikasi yang berbasiskan fakta dan data, tetapi pemahaman publik akan subjektifitas politik seorang kontestan justru jauh lebih menentukan. Sehebat apa pun program kerja seorang kontestan atau sekuat apa pun dirinya dalam sebuah kontestasi politik, masih terdapat subjektifitas politik yang dipersepsikan kuat dalam benak masyarakat dan berpengaruh kuat dalam pembentukan image dalam benak publik. Image politik adalah identitas politik yang melekat pada seorang kontestan yang ketika image dirinya mulai melemah, maka dipastikan akan menurunkan reputasi dan kredibilitasnya sebagai seorang kontestan yang akan dipilih oleh publik.

Mengembalikan image positif yang tertanam dalam benak masyarakat mengenai Ahok rasanya cukup sulit jika tidak diiringi oleh intensitas komunikasi yang digencarkan Ahok sendiri dengan publik Jakarta. Sejauh ini, Ahok cenderung terlihat “bersembunyi” dan jarang berkomentar di hadapan publik. Identitas politik Ahok justru saat ini sedang dibangun dan dicitrakan kembali oleh calon kontestan politik yang mendampinginya, Djarot Syaiful Hidayat. Djarot tampaknya berjibaku membangun komunikasi yang baik dengan publik Jakarta dengan membangun citra politik melalui program pembenahan Ibu Kota dalam menangani persoalan banjir.

Djarot tampaknya lebih banyak muncul di hadapan publik dibanding Ahok, karena memang secara positioning politik, Djarot lebih banyak membawa identitas politik sebagai orang PDI-P dan bebas dari resistensi publik soal sepak terjangnya sejauh ini. Waktu yang tinggal beberapa bulan menuju perhelatan politik Ibu Kota ini tampaknya dimanfaatkan PDI-P dan Djarot untuk mulai merebut simpati publik dengan menanamkan image politik positif dirinya sebagai petahana yang sukses membangun Jakarta bersama Ahok. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi Djarot dan PDI-P untuk mengembalikan reputasi dan kredibilitas seorang petahana, perlu interaksi yang terus-menerus dengan publik, konsisten dengan program kerja yang ditawarkan, dan yang paling penting adalah membangun image politik positif dalam benak masyarakat Jakarta.

Tanpa diduga-duga, calon kontestan lainnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) justru berhasil membangun image politik positif kepada benak masyarakat di sela-sela sempitnya waktu menuju perhelatan politik di Jakarta ini. AHY justru dipersepsikan publik Jakarta melalui rilis oleh berbagai lembaga survei sebagai kontestan yang memilki reputasi cukup baik (dengan melihat track record SBY sebagai mentor politiknya) dan dianggap memiliki kredibilitas untuk memimpin Jakarta. AHY membangun citra politiknya melalui serangkaian interaksi yang terus-menerus dengan publik Jakarta, terutama berdialog mengenai simbol, makna, dan peristiwa yang terjadi jelang Pilkada Jakarta. Strategi AHY tidak lagi model “blusukan” yang sempat menjadi tren dalam masyarakat, tetapi lebih dimaknai sebagai bentuk pembangunan image politik positif melalui berbagai media dialog yang lebih mengedepankan pemahaman kepada publik mengenai subjektivitas politik dirinya.

Konsistensi AHY dalam berinteraksi dengan publik Jakarta bahkan telah menyalip reputasi kontestan politik lainnya, yaitu pasangan Anies-Sandiaga. Anies yang pernah terekam beberapa lembaga survei memiliki elektabilitas di bawah Ahok, justru semakin terpaut tipis dengan elektabilitas AHY yang notabene orang baru dalam gelaran kontestasi politik. AHY, saya kira, cerdas dalam memanfaatkan strategi politik dengan membangun positioning yang jelas tentang image politik yang justru dapat memudahkan pemilih melakukan identifikasi terhadap pilihan politiknya. 

Interaksi, komunikasi dan melakukan dialog dengan masyarakat secara terus-menerus akan memberikan efek subjektivitas politik yang tertanam dalam ruang keyakinan dan kognitif publik sehingga mereka merasa bahwa kebutuhannya tentang banyak hal merasa terlayani. Pemimpin sejatinya adalah “pelayan” bagi masyarakat, abdi bagi masyarakat, sehingga diperlukan penguatan image melalui interaksi yang terus-menerus dengan masyarakat, bukan malah menghindar dari masyarakat.

Asumsi saya, perjuangan mengembalikan identitas politik Ahok yang mulai melemah melalui penguatan image baru yang dilakukan oleh Djarot akan menempuh perjalanan yang cukup terjal. Image Djarot tidak serta-merta dapat menggantikan image Ahok. Parpol pendukung dan seluruh afiliasi politik pendukung Ahok harus mampu meyakinkan publik Jakarta secara terus-menerus melalui interaksi secara intensif bahwa program kerja dan ideologi politik yang mereka usung dapat memberikan harapan kepada publik untuk Jakarta yang lebih baik. Masih ada waktu untuk berbenah diri mengembalikan identitas politik Ahok yang mulai terpuruk.

Wallahu a'lam bisshawab           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun