Hampir lebih dari 15 abad yang lalu, kelahiran Nabi Muhammad saw sudah ditunggu-tunggu bangsa Arab yang konon selalu disindir oleh bangsa-bangsa lainnya sebagai bangsa yang “terbuang” dan luput dari skenario Yang Mahaagung. Di saat Romawi dan Persia pada saat itu memiliki keberadaban, bahkan telah memiliki agama atau keyakinan serta kitab suci yang dibawa oleh para utusan Tuhan, bangsa Arab merupakan bangsa yang terkucilkan oleh peradaban, tidak memiliki seseorang yang khusus dikirimkan Tuhan kepada mereka, bahkan mereka tidak memiliki kitab suci yang sementara itu dibanggakan bangsa-bangsa lainnya.
Bangsa Arab yang didominasi suku Quraisy merupakan suku terkuat dan terbesar waktu itu, hanya berkonsentrasi mencari uang dan mempertahankan dominasi kesukuannya sehingga sering kali kekerasan timbul silih berganti yang menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa “lemah” karena masing-masing suku kemudian mengklaim atas dominasinya sendiri-sendiri.
Keadaan ini justru berubah, setelah pada Hari Senin, 12 Rabi’ul awwal 570 M, Muhammad lahir di Mekkah dari rahim seorang ibu bernama Aminah. Kelahiran Muhammad ini ditandai oleh banyak peristiwa sejarah yang diceritakan kembali oleh al-Quran atau al-Hadits, termasuk kegagalan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah pada waktu itu.
Kehidupan belia Muhammad banyak diprediksi oleh para ahlulkitab (people of the book) sebagai “tanda” bagi utusan Tuhan yang masuk dalam rencana agung-Nya untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang terpecah-pecah dan cenderung tanpa peradaban menjadi bangsa yang lebih kuat dan beradab. Semua kondisi kemudian berubah-- di saat bangsa Arab semakin ditengarai banyak pihak sebagai bangsa “pecundang” karena luput dari rencana Tuhan—pada tanggal 17 Ramadhan tahun 610 M, Muhammad bangun dan mendapati dirinya disergap kekuatan Yang Mahaagung, hingga dari bibirnya meluncur ayat-ayat suci yang berasal dari sebuah kitab yang selama ini ditunggu-tunggu bangsa Arab.
Selama dua tahun, Muhammad terdiam di sela-sela menajamnya ekspresi spiritual dirinya dalam kegundahannya menyaksikan kemunduran bangsa Arab. Muhammad sudah terbiasa untuk ber-tahannuts (menyepi dalam keheningan untuk berdialog dengan Tuhan) di sebuah pegunungan yang sepi, yaitu Gua Hira. Waktu dua tahun yang dijalani Muhammad untuk berdiam merupakan proses meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia peroleh selama menyepikan diri adalah benar-benar merupakan “tanda” yang diisyaratkan Tuhan agar ia memulai memperbaiki kondisi bangsa Arab.
Peristiwa spiritual yang dialami Muhammad kemudian diceritakan kepada orang terdekatnya, yaitu Khadijah istrinya dan seorang rahib beragama Kristen, Waraqah ibn Naufal. Lambat laun, peristiwa spiritual ini diceritakan kepada orang-orang yang dirasa dekat, seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar sahabatnya dan Usman bin Affan saudagar kaya dari Umayyah. Beberapa di antara kolega lain kemudian meyakini bahwa apa yang diterima Muhammad sebagai “perintah Tuhan” yang harus diikuti di tengah ketidakadilan pemerintahan Mekkah pada waktu itu.
Pesan yang disampaikan Muhammad sangat sederhana, ia tidak mengajarkan doktrin baru tentang ketuhanan, karena bangsa Arab pada waktu itu sudah meyakini akan adanya Tuhan yang menciptakan mereka dan mereka akan diadili pada Hari Akhir nanti. Keyakinan yang ada pada bangsa Arab, baik mereka yang taat terhadap ajaran Nasrani dan Yahudi tidak ditentang oleh Muhammad, tetapi ia hanya menguatkan keyakinan lama, bahwa hanya Tuhan Yang Maha Esa-lah yang seharusnya disembah, bukan dewa-dewa yang berkonotasi beragam.
Muhammad memahami akan kegandrungan bangsa Arab akan kesusastraan, sehingga ia mulai membacakan ayat-ayat suci yang berasal dari al-Quran sebagai bagian dari kesusastraan yang bahkan bisa menandingi produk sastra yang telah lama ada. Muhammad tidak pernah mengklaim bahwa dirinya membawa ajaran agama baru, tetapi selalu melengkapi ajaran-ajaran lama dengan menyempurnakan, mengakulturasikan dan penegasan terhadap keyakinan adanya Keesaan Tuhan.
Muhammad kemudian merasa perlu menyempurnakan ajaran-ajaran agama masa lalu pada saat usianya mencapai kematangan pada usia 40 tahun. Kritik-kritiknya terhadap bangsa Arab yang senang menumpuk kekayaan pribadi, suka berperang, menindas yang lemah, merupakan bagian dari skenario awal Muhammad untuk membuat bangsa Arab berkeadilan dan jauh dari itu memiliki keberadaban, layaknya bangsa-bangsa lain. Inilah sebenarnya yang menjadi jawaban al-Quran yang diinformasikan kepada Muhammad untuk mengatasi segala krisis kemanusiaan yang terjadi pada bangsa Arab.
Ekspektasi yang besar dari visi dan misi Muhammad adalah menjadikan bangsa Arab bangsa yang kuat, saling menghargai, membela dan membantu yang lemah dan mengangkat problem kemanusiaan, seperti perbudakan, keadilan sosial termasuk memberikan ruang kepada kaum hawa agar bisa menjadi dimanusiakan seperti halnya kaum adam. Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang tak beradab, karena wanita hanya dijadikan warga kelas dua dan kelahirannya bahkan dianggap sebuah aib bagi mereka.
Pesan utama yang dibawa Muhammad untuk bangsa Arab pada waktu itu hanya berujung pada soal keadilan dan persamaan. Mengangkat sisi kemanusiaan yang lebih beradab, sehingga bangsa Arab bisa setara dengan bangsa-bangsa lainnya yang lebih beradab. Prinsip keadilan dan persamaan ini kemudian mewujud dalam sebuah madzhab baru, yaitu Islam yang berarti bentuk “penyerahan diri” seseorang yang menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, menaati seluruh perintah-Nya agar umat manusia memperlakukan satu sama lain secara berkeadilan, membangun kebersamaan dan kasih sayang.