Umumnya sebuah kegiatan kampanye politik selain diisi oleh beragam kegiatan yang dijalankan para kandidat atau parpol, baik itu orasi politik, talkshow, rapat-rapat umum dengan pengerahan massa atau parade ada juga pemasangan atribut dalam rangka memperkenalkan para kandidat atau parpol tertentu kepada khalayak publik. Bahkan pemasangan atribut politik ini dirasa paling jor-joran dilakukan oleh calon kandidat yang akan bertarung dalam sebuah kontestasi politik.
Kampanye dalam bentuk atribut ini bahkan menjadi tren sejak aturan pemilu diubah pada 2004 yang lalu yang berimbas terhadap seorang kandidat, misalnya, harus mensosialisasikan dirinya ditengah masyarakat melalui beragam atribut, baik spanduk, pamflet, poster atau bentuk atribusi apapun yang sekiranya dapat membuat lekatnya perhatian publik. Seluruh kegiatan kampanye ini bisa dilakukan berdekatan dengan momen sebuah kontestasi atau bisa saja jauh sebelum ramainya perhelatan kontestasi politik digelar.
Memang harus diakui, bahwa masyarakat cenderung menganggap bahwa kampanye politik merupakan bagian dari proses interaksi intensif yang dilakukan oleh parpol atau kandidat dalam kurun waktu tertentu jelang pemilihan umum saja. Dari sini kemudian diatur bahwa kampanye politik bersifat periodik, waktu yang ditentukan oleh panitia pemilihan kepada semua kontestan politik untuk mensosialisasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan ide, program kerja, latar belakang atau apapun yang bertujuan untuk mempengaruhi publik agar mau memberikan suaranya disaat pencoblosan berlangsung.
Bagi saya, kampanye politik seperti ini masuk dalam kategori kampanye jangka pendek, sehingga seringkali membuat para kontestan mempersiapkan segala macam biaya dalam jumlah yang tidak sedikit. Penggiringan opini massa agar bergerak ke bilik-bilik suara pada saat pemilu diupayakan seluas mungkin walaupun masih belum yakin soal kepastian hasilnya. Sayangnya, sejauh ini-pun sebagian kalangan masih menganggap bahwa kampanye politik adalah kampanye pemilu, sehingga wajar, yang terjadi adalah pragmatisme, soal bagaimana kandidat jagoannya menang dengan cara memobilisasi massa di sisa-sisa waktu yang ditentukan.
Untuk mengakali soal pendanaan yang terlampau besar, kampanye jangka pendek biasanya seringkali didominasi oleh kegiatan “kampanye terselubung” diluar jadwal yang ditentukan oleh panitia pemilihan. Kegiatan-kegiatan tertentu, walaupun dibungkus dengan tema-tema sosial atau keagamaan, terkadang dapat menjurus kepada kegiatan mempengaruhi opini massa untuk “memilih” dan “tidak memilih” salah satu kandidat yang ada.
Sebut saja, misalnya ada kegiatan bakti sosial yang diprakarsai oleh salah satu pendukung kandidat dengan membagi-bagikan sembako kepada masyarakat dengan memperlihatkan “atribut politik” yang dikenakan oleh para penggagasnya. Atau bisa saja mengumpulkan masyarakat dengan memanfaatkan jaringan birokrasi untuk melakukan sosialisasi soal kesehatan, pendidikan atau apa saja yang dianggap menjadi isu penting yang seringkali dibicarakan dan diangkat masyarakat.
Pendanaan yang minim serta waktu yang terbatas, bisa saja kemudian dilakukan dengan cara memprovokasi massa untuk menjatuhkan kandidat tertentu dan mengangkat salah satu kandidat lainnya. Model kampanye short term ini jelas, digunakan sebagai ajang kompetisi jangka pendek menjelang pemilu, untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini publik dalam waktu yang sangat singkat. Maraknya berbagai kegiatan politik dalam hal kampanye ini, dilakukan melalui berbagai media yang ada, baik yang konvensional atau yang murah-meriah adalah melakukan provokasi secara terus menerus melalui jaringan media sosial. Model short term kampanye politik seperti ini dapat kita rasakan pada ajang kontestasi Pilkada DKI putaran kedua.
Yang paling menghebohkan belakangan adalah maraknya spanduk-spanduk yang seakan-akan mendukung salah satu kandidat tertentu dan menjatuhkan kandidat yang lainnya yang tentu saja bernada provokatif dengan mengangkat isu agama dan terpampang di tempat ibadah. Publik tentu akan bertanya-tanya, apakah benar bahwa orang yang berbeda pilihan kemudian diragukan keimanannya? Sampai-sampai jenazahnya-pun tidak layak untuk diurus secara ritual-keagamaan? Spanduk bernada provokatif ini anehnya sulit dicari siapa sebenarnya yang memasang, perorangankah? Atau kelompok?
Bahkan hingga sampai saat ini, aparat sepertinya “mandul” dan menganggap spanduk-spanduk provokatif yang terpampang di beberapa tempat ibadah adalah bikinan “ghaib” yang sulit dilacak siapa sebenarnya yang membuat dan memasangnya. Kampanye politik dengan media spanduk tentunya menekan pendanaan kampanye politik sesedikit mungkin dengan catatan bahwa spanduk dibuat untuk tujuan provokasi massa sehingga akan berpengaruh terhadap penggiringan opini publik agar mendukung salah satu kandidat tertentu saat pencoblosan berlangsung.
Saya kira, kampanye politik sangat berkait erat dengan peningkatan, pembentukan atau perubahan image baik bagi kontestan atau parpol pengusungnya ditengah ekspektasi publik terhadap pemilu. Kampanye politik jangka pendek yang akan menghabiskan banyak biaya justru ditekan sedemikian rupa, melalui wahana kampanye yang lebih murah. Membuat informasi, selebaran atau spanduk yang provokatif justru merupakan jalan pintas (short cut) yang sanggup secara cepat dan murah mempengaruhi opini publik.
Program-program kerja-pun dilakukan melalui jalan pintas, asal dapat memprovokasi massa dan bisa berpengaruh terhadap perolehan suara nantinya, jelas akan dilakukan. Media-pun kemudian banyak mengangkat isu-isu seputar kampanye short term ini, seperti misalnya membentuk “pasukan merah”, deklarasi “santri kehormatan” atau deklarasi yang scope-nya lokal sengaja dihembuskan lewat informasi yang disebar melalui media.