Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lintas Iman, Toleransi dan Bukber

19 Juni 2016   15:24 Diperbarui: 19 Juni 2016   15:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin banyak yang tidak sepakat mengenai bagaimana dan apa itu lintas iman, toleransi, terlebih ketika dihubungkan dengan buka puasa bersama (bukber). Bagi sebagian orang, persaudaraan kemanusiaan lintas iman dan toleransi merupakan hal penting yang harus dibangun dalam sebuah masyarakat plural dengan bertumpu pada beragam latar belakang agama dan kepercayaan. Hanya saja, terkadang banyak persepsi yang salah ketika konsep ibadah dan keyakinan dalam suatu agama disamaratakan dengan urusan sosial kemanusiaan sehingga bisa dilakukan toleransi dalam hal ibadah sebagai wujud dari persaudaraan lintas iman. Bukber adalah salah satunya yang dianggap sebagai bentuk keyakinan ibadah umat Muslim yang dilakukan pada saat puasa di bulan Ramadhan. Ada sebagian anggapan orang bahwa bukber bukan urusan keyakinan tetapi urusan kemanusiaan, sehingga boleh saja dilakukan di tempat ibadah umat manapun selain dilakukan di masjid.

Puasa merupakan keyakinan yang dilakukan oleh seorang Muslim sebagai sebuah ibadah wajib, sama halnya seperti sholat, zakat, atau ibadah haji. Puasa merupakan rangkaian ibadah yang dilakukan umat Muslim sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Jadi, berpuasa dilakukan sebagai sebuah rangkaian ibadah yang dimulai sejak melaksanakan sahur dan tentunya hingga tiba waktu berbuka puasa. Ini merupakan rangkaian ibadah puasa yang dijalankan oleh seorang muslim. 

Dalam pemahaman Islam, ibadah merupakan sesuatu hal yang sakral dan transendental, tidak keluar dari wilayah keimanan dan keyakinan seseorang sehingga harus dijaga kemurniannya agar tidak tercampur dengan hal-hal yang dapat menggugurkan kesakralan suatu ibadah tersebut, baik karena  unsur dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena sifatnya yang sakral, Islam sejak dini menghargai peribadatan yang dilakukan agama lain selama agama lain tidak memaksakan untuk ibadat disesuaikan dengan agama mereka. Sebagaimana disebut dalam al-Quran, surat al-Kafirun, bahwa “untukmulah agamamu (ibadahmu) dan untukulah agamaku (ibadahku)”. Mencampuradukkan urusan ibadah satu agama dengan agama lain merupakan sesuatu yang dilarang dan dihindari oleh Islam.

Ada beberapa kejadian menarik di saat Ramadhan ini, dimana kemudian ada persoalan bukber yang digelar justru bukan di masjid, tetapi di tempat ibadah umat lain. Bagi saya, bukber yang digagas untuk digelar di tempat ibadah umat lain justru merupakan “pemaksaan” dalam hal ibadah sehingga tidak mencerminkan toleransi di dalamnya. Hal ini karena bahwa berbuka puasa merupakan rangkaian ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim, sehingga tidak mungkin dicampuradukkan dengan ibadah umat lain. Ini sama artinya, seorang muslim sholat tetapi tidak dilakukan di masjid tetapi di tempat ibadah umat lain, seperti di gereja, vihara atau sinagoge misalnya yang jelas-jelas ini melanggar toleransi, bukan membangun toleransi itu sendiri. Umat Muslim yang memahami esensi puasa sebagai sebuah rangkaian ibadah dari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, pasti lebih melihat proses bukber sebagai rangkaian ibadah yang tidak bisa digelar atau dilakukan di tempat ibadah umat lain. Ini yang kemudian terjadi “kemarahan” sebagaian umat Muslim ketika ada kegiatan bukber tetapi dilakukan di tempat ibadah sadaranya yang Non-Muslim.

Dalam sebuah masyarakat yang bercorak pluralistik seperti Indonesia, memang diperlukan dan harus diperkuat lembaga-lembaga kemanusiaan yang bernuansa lintas iman, lintas agama bahkan lintas kepercayaan. Fungsi lembaga-lembaga ini akan menjembatani persoalan-persoalan kemanusiaan secara lebih luas sehingga dapat bersama-sama membangun bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Konsep persatuan yang didasarkan lintas iman dilakukan Nabi Muhammad saw ketika membangun peradaban kota Madinah. Ikatan keagamaan (antarmuslim) pada waktu itu diubah oleh Nabi saw menjadi ikatan iman (antaragama) sehingga masyarakat tanpa terkecuali selama memiliki rasa keimanan dan kepercayaan kepada Tuhan, maka bisa saling bahu-membahu, bergotong royong membangun peradaban masyarakat ke arah lebih baik. Konsep ikatan iman yang dibentuk Nabi saw juga memberikan kebebasan yang luas kepada seluruh manusia untuk mengekspresikan ibadah dan keyakinan mereka dengan saling menghormati dan melindungi diantara mereka. Ibadah merupakan wilayah keimanan masing-masing yang tetap aman ketika dilakukan tanpa mengganggu ibadah umat lain dalam sebuah ikatan persaudaraan iman.

Toleransi sudah sejak dahulu dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw ketika beliau membangun kota Madinah yang bermasyarakat pluralis. Islam yang dibawa oleh Nabi saw merupakan agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Hal ini dibuktikan ketika Nabi di Madinah dengan menggandeng seluruh elemen umat manusia yang ada, tanpa membeda-bedakan suku atau agama. Nabi saw memberikan kebebasan dan menjamin keselamatan seluruh umat manusia pada waktu itu. Inilah bentuk nyata dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang berorientasi kepada kebebasan manusia dari kezaliman dan kebodohan (yukhrijuhum min al dzulumati ila al-nur). Inilah sebenarnya yang mendasari kata “Islam” sebagai sebuah metamorfosa dari akar kata “salima, yuslamu, salaman” atau “aslama, yuslimu, islaman” yang berarti selamat dan damai atau menyelamatkan dan mendamaikan. Inti agama inilah yang dibawa sebagai misi utama kenabian dari Nabi Muhammad saw, selama diutus kepada bangsa Arab hingga menyebar luas ke seluruh dunia saat ini.

Islam dengan demikian sangat mendukung gagasan pesaudaraan antaragama yang lebih besar, lintas bangsa bahkan lintas negara. Bekerjasama dalam berbagai bidang sosial-kemanusiaan sangatlah didorong oleh doktrin-doktrin agama Islam, baik yang bersumber dari al-Quran maupun Sunnah Nabi. Hanya saja, persoalan ibadah inilah yang dibatasi, dimana ibadah merupakan persoalan pribadi sehingga tidak mungkin untuk dicampuradukkan dengan kepercayaan atau agama lain dalam pelaksanaannya. Memang, ibadah tidak semua bersifat pribadi, ada juga ibadah-ibadah yang difatnya sosial dan justru ini yang ditekankan dalam Islam. Ibadah-ibadah pribadi-pun sebenarnya memiliki implikasi terhadap transformasi sosial ketika nilai-nilai ibadah dipahami dan dihayati secara lebih dalam oleh seorang Muslim. 

Dengan demikian saya berasumsi, ketika bukber ditarik menjadi hanya persoalan kemanusiaan dan tercerabut dari akarnya dari rangkaian ibadah puasa, maka itu sama dengan merusak ibadah itu sendiri dengan alasan toleransi. Toleransi seharusnya tidak mencerabut akar ibadah, tetapi menghormati dan menghargai ibadah. Apa yang dilakukan oleh istri mendiang seorang tokoh besar NU di Semarang mengenai bukber yang dilakukan di tempat ibadah Non-Muslim sama dengan mencampuradukkan ibadah sehingga tercerabut dari makna sebenarnya, bahwa bukber adalah ibadah bukan persoalan kemanusiaan. Mari kita bangun toleransi dan persaudaraan lintas iman secara lebih damai dan lebih baik.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun