Tulisan ini tidak akan mengangkat isu gender dimana laki-laki menjadi struktur dominan atas perempuan dalam banyak peran, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Bagi saya, isu gender sudah menjadi perhatian dalam bidang keilmuan sendiri yang banyak mengupas kesetaraan laki-laki dan perempuan, sehingga di masa globalisasi seperti sekarang ini, isu gender dianggap sudah selesai dan terbukti berhasil membuat terobosan dalam banyak hal mengenai kesetaraan peran laki-kaki dan perempuan. Namun dalam banyak hal, dilihat dari perspektif agama maupun sosial, peran laki-laki nampaknya tetap lebih dominan dalam keluarga atau masyarakat, baik dalah soal peran atau tanggungjawabnya. Peran dominasi seperti ini seharusnya berimbas langsung terhadap sebuah kondisi dimana laki-laki memang seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada perempuan.
Saya membuka sedikit sisi sejarah agama, bahwa dalam beberapa kepercayaan agama samawi (Islam, Yahudi atau Kristen) manusia yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu Adam. Adam diciptakan terlebih dahulu setelah mengalami berbagai proses “penggemblengan” oleh Tuhan, dimana Adam diajarkan nama-nama, diajarkan bersosialisasi dengan lingkungan, diajarkan untuk tunduk dan patuh terhadap perintah Tuhan dan sebagainya. Setelah proses penggemblengan berjalan lama, Tuhan baru kemudian menciptakan makhluk sejenis (nafsin wahidah) dengan Adam, yaitu Hawa. Hawa sebagaimana diketahui memiliki perbedaan dengan Adam secara biologis, meskipun secara fisik memiliki banyak kesamaan. Hawa kemudian menjadi makhluk “kedua” yang diciptakan Tuhan sebagai “teman pendamping” bagi Adam. Adam yang lebih dahulu diciptakan tentu memiliki serangkaian pengalaman dalam banyak hal, sehingga dalam kondisi seperti ini, Adam memiliki peran sebagai pelindung bagi Hawa. Pespektif seperti inilah seharusnya yang menjadi kultur yang ada dalam masyarakat, dimana laki-laki memang seharusnya berperan melindungi perempuan.
Saya kemudian benar-benar terkejut ketika membaca berita-berita belakangan ini yang marak mengenai perkosaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (karena tidak mungkin laki-laki memperkosa laki-laki atau perempuan memperkosa perempuan). Kasus yang paling mengejutkan dan membuat meradang banyak pihak adalah kasus perkosaan atas Y oleh 14 orang pemuda dan kemudian setelah diperkosa Y malah dibunuh. Kasus Y ini bisa jadi merupakan “gunung es” dari sekian banyak kasus perkosaan yang berujung pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Hanya karena bahwa perkosaan ini terjadi pada diri Y yang notabene masih dalam kategori anak-anak dan pelaku pemerkosaan juga didominasi anak-anak, maka media secara terus menerus memberitakan kasus ini sehingga memunculkan reaksi publik yang demikian hebat. Kasus pemerkosaan apapun yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan telah menyalahi kodratnya sendiri, dimana laki-laki seharusnya menjadi pelindung bagi perempuan. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Saya kira banyak persoalan yang timbul dalam masyarakat dan telah banyak digali dari beragam perspektif mengenai hal ini, bisa dilihat dari sisi moral, psikologis, lingkungan bahkan pendidikan atau agama.
Secara kodrati, laki-laki memang pelindung bagi perempuan dilihat dari konteks fisiologisnya, bahwa laki-laki memiliki otot yang kuat, tangguh, bahkan jumlah otot laki-laki lebih banyak dari perempuan. Kekuatan perempuan dalam banyak hal hanya kurang lebih sepertiga saja dari kekuatan laki-laki. Oleh karena itu, al-Quran kemudian menggambarkan sejak dini bahwa “laki-laki merupakan pelindung bagi perempuan” (arrijaalu qowwamuuna ‘alannisaai). Konsep ini sebenarnya yang seringkali luput dibudayakan dalam realitas masyarakat, khususnya di Indonesia. Terjadinya banyak kasus kekerasan terhadap perempuan terutama yang didominasi oleh laki-laki merupakan ekses dari kesalahan persepsi bahwa perempuan merupakan “makhluk kelas dua” yang lemah sehingga laki-laki merasa dominan untuk berbuat apa saja terhadap perempuan. Persepsi ini justru “membudaya” dalam masyarakat di Indonesia sehingga sulit diurai apalagi dibentuk persepsi baru bahwa kodrat laki-laki adalah pelindung bagi perempuan.
Terdapat banyak hal kenapa persepsi mengenai “laki-laki adalah pelindung bagi perempuan” sulit dibudayakan saat ini. Pertama, peran utama untuk memberikan persepsi yang benar mengenai peran laki-laki dan perempuan seharusnya adalah keluarga. Keluarga merupakan miniatur masyarakat yang lebih mudah menyampaikan pesan terhadap lingkungannya mengenai hal ini. Jika di keluarga saja kesulitan membangun persepsi ini, maka sulit membangun budaya mengenai hal tersebut. Kedua, peran para agamawan atau ulama. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab sebagai tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi tentang perspektif agamanya dimana peran laki-laki seharusnya menjadi pelindung bagi perempuan. Konsep-konsep yang terdapat dalam kitab suci yang mereka anut seharusnya dapat disampaikan secara proporsional kepada masyarakat mengenai bagaimana peran laki-laki dan perempuan. Kebanyakan para agamawan tidak terlalu peduli mengenai hal ini, sehingga berimbas kepada ketidakpedulian masyarakat pada akhirnya. Ketiga, unsur penguasa atau pemerintah seharusnya lebih peduli dalam memberikan edukasi tentang hal ini. Saya melihat, pemerintah sepertinya memble dalam edukasi mengenai peran laki-laki dan perempuan. Edukasi semacam ini kebanyakan hanya dilakukan oleh kalangan LSM yang supportnya sangat minim dari pemerintah. Pada level pusat, kementrian yang mengurus bidang ini malah tidak pernah terdengar peranannya sama sekali. Hal ini yang semakin membuat budaya kita cenderung memaknai laki-laki bukan pelindung bagi perempuan tetapi “penindas” bagi perempuan.
Dengan demikian, kita seakan disadarkan oleh kasus pemerkosaan yang dialami Y, sehingga kita sekarang hanya bisa meradang, membuat petisi-petisi, mengumpat para pelakunya, menyesalkan kejadiannya, padahal kita seringkali menyaksikan hal-hal kecil disekitar kita yang terkadang terjadi “pelecehan” laki-laki terhadap perempuan namun banyak yang menganggap hal biasa. Di lingkungan sosial kita belum tumbuh budaya “laki-laki sebagai pelindung perempuan”, sehingga hal-hal kecil seperti yang terjadi dalam masyarakat seringkali dibiarkan tanpa diberi edukasi yang semestinya. Sekarang baru masyarakat tersadar, betapa kita harus ekstra hati-hati menjaga anak-anak perempuan kita, bahkan kekhawatiran ini seringkali dimaknai berlebihan oleh masyarakat. Hal ini tidak akan terjadi ketika persepsi masyarakat mengenai laki-laki adalah pelindung bagi perempuan sudah membudaya di negeri ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H