Di sebagian wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur, lebaran tidak hanya diramaikan oleh datangnya tanggal 1 Syawal saja, tetapi akan berlanjut keramaiannya setelah tujuh hari lebaran. Dalam tradisi oral, hari ketujuh lebaran ini dinamakan “Kupatan” atau “Syawalan”. Entah sejak kapan tradisi ini muncul, tetapi kearifan lokal ini tetap terjaga ditengah arus globalisasi dan modernisasi seperti saat ini.
Masyarakat Jawa meyakini, bahwa tradisi Kupatan mempunyai makna yang dalam terhadap upaya pembentukan dan penguatan masyarakat karena didalamnya terdapat tradisi saling tatap muka, berkumpul, saling memohonkan maaf yang seakan-akan jika tradisi ini dilewatkan, tatanan masyarakat akan runtuh, tercela, atau bahkan tidak akan mendapat keberkahan dari Tuhan.
Konon, tradisi ini sudah diperkenalkan sejak jaman Wali Songo yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kharismatis yang berjasa mengislamkan Tanah Jawa. Istilah “kupat” sendiri, konon katanya, merupakan kependekan dari “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) yang dibungkus sedemikian rupa dengan janur.
“Janur” sendiri merupakan istilah yang dimodifikasi oleh para Wali Songo dari bahasa arab, “ja’annuur” (telah datang cahaya) karena ketika seseorang senantiasa mengakui kesalahan-kesalahannya, maka hatinya akan diisi oleh cahaya kebaikan yang diberikan oleh Tuhan.
Lebaran sejatinya berintikan saling memohonkan maaf antara sesama sehingga diharapkan setiap manusia sudah terbebas dari segala kesalahan yang diperbuatnya, baik memohon maaf secara vertikal kepada Tuhan, maupun horizontal kepada sesama manusia.
Dalam Tradisi Kupatan, masyarakat Jawa akan saling berkunjung dan bersama-sama memakan ketupat yang diolah dengan sayur khas bernama “olah petis” dengan aroma pedas. Olah Petis ini dibuat dari olahan tempe dan telor ayam dengan rempah-rempah sehingga membentuk warna kuning yang menggoda seperti olahan masakan padang.
Namun demikian, makanan khas lebaran ketujuh ini hanyalah simbolik yang dijadikan makanan khas saat lebaran saja, bukan tujuan utama dari tradisi Kupatan itu sendiri. Dalam kultur Jawa, penguatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang dibawa secara turun-temurun oleh masyarakatnya sulit tergantikan oleh bentuk apapun, meskipun era gadget dan komputerisasi telah mampu menggeser budaya komunikasi manual.
Disinilah letak kekuatan sebuah tradisi, dia tetap terjaga menjadi budaya yang tak pernah lekang oleh waktu karena di dalamnya mengandung banyak sekali unsur kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Jika melihat kepada jatuhnya tradisi Kupatan pada hari ketujuh lebaran, sangat dimungkinkan oleh angka 7 dalam tradisi Jawa yang dianggap mistis. Angka 7 memang merupakan angka dengan sebutan lain dalam bahasa Jawa, yaitu “pitu”. Pitu sendiri konon katanya merupakan kependekan dari kata “pitulungan” (pertolongan) sehingga masyarakat Jawa meyakini hari ketujuh merupakan hari dimana manusia mengharapkan datang pertolongan pada hari tersebut, baik pertolongan dari sesama manusia terlebih pertolongan yang datang dari Tuhan.
Namun, dalam ajaran Islam terdapat ritual puasa sunnah yang dilakukan setelah Ramadhan yaitu selama enam hari setelah tanggal 1 Syawal, maka hari ke tujuh umat Islam sudah benar-benar tidak lagi menjalani puasa, maka diadakanlah tradisi Kupatan sebagai bentuk kegembiraan setelah melewati puasa Ramadhan maupun puasa enam hari di bulan Syawal.
Sehingga jika dilihat, tradisi ketujuh setelah lebaran bukanlah sebuah kebetulan, tetapi sangat bersinggungan dengan tradisi lokal dan ajaran Islam. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, ajaran Islam dan kultur setempat dapat bersinergi secara baik, tanpa harus ada pertentangan atau benturan antara keduanya.