Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Korupsi dan Budaya Malu

7 Juni 2017   12:41 Diperbarui: 7 Juni 2017   17:10 2163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)

Mungkin sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja bagi masyarakat ketika seseorang tersangkut masalah korupsi, stigmatisasi mereka tidaklah seburuk ketika mengetahui bahwa ada warga di sekitar lingkungannya yang terjerat kasus perampokan atau pembunuhan. Mindset yang terbangun dalam opini publik kebanyakan akan menanggung rasa malu yang besar ketika ada keluarga atau koleganya tersangkut kasus kriminal, seperti pembunuhan, perampokan atau narkoba, tetapi biasa-biasa saja ketika keluarga, saudara, atau koleganya tertangkap karena korupsi. Hal inilah yang kemudian menjadikan korupsi hanya sebagai suatu bagian dari “rekayasa politik”, bukan seperti kasus kriminal lainnya yang menakutkan. Budaya malu dalam korupsi tidak berlaku, terbukti dari masih banyaknya para tokoh atau pejabat publik yang tetap terpilih kembali meskipun sebelumnya dia pernah dicap sebagai “koruptor”.

Mereka-mereka yang pernah dibui karena korupsi malah tampak lebih berjaya dan dihormati oleh masyarakat selepas menjalani hukuman korupsinya. Yang lebih mengherankan lagi, para wakil rakyat meskipun sudah terbukti melakukan praktik korupsi, toh tetap biasa-biasa saja, menjalani aktivitasnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bolak-balik “menghadap” KPK tak mengurangi secuil pun kredibilitas dan kehormatan mereka sebagai anggota parlemen. Melihat serangkaian fenomena ini, korupsi tak sanggup melahirkan budaya malu dalam masyarakat kita sehingga yang terjadi kemudian adalah kebiasaan korupsi yang terus-menerus dijalankan, tidak menyesal, tidak malu dan mungkin tidak kapok. Korupsi sudah terstruktur dan sistematis dan uang-uang hasil korupsi tidak hanya bermanfaat untuk pribadi si koruptor tetapi juga bermanfaat untuk rakyat banyak.

Koran Tempo (07/06) misalnya melaporkan bahwa beberapa anggota DPRD Jawa Timur terlibat kasus korupsi, yang salah seorang di antaranya terbukti dalam kurun waktu tiga bulan terus-menerus “memeras” pejabat eksekutif agar mau menggelontorkan “uang pelicinnya” agar seluruh proyek dan pekerjaan yang telah dianggarkan dapat dilaksanakan. Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur berinisial MB ini, rasa-rasanya kebal untuk malu kepada masyarakat. Buktinya, tanpa malu-malu, dia dipilih kembali menjadi anggota DPRD Jawa Timur setelah pada tahun 2002 pernah dipenjara karena kasus korupsi dana Tunjangan Kesehatan dan biaya operasional yang merugikan negara 1,2 miliar. Korupsi tidak mengenal budaya malu, terbukti MB tetap dipilih dan dihormati sebagai anggota parlemen yang tanpa menanggung beban malu sedikit pun. Anehnya, rakyat yang memilihnya pun seakan tak punya rasa malu mempunyai wakilnya yang doyan sekali korupsi.

Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad pernah menyatakan, “Lakukanlah apa yang kamu mau, jika kamu tak punya malu.” Memang ucapan Nabi Muhammad ini sepertinya mempersilakan siapa saja untuk berbuat semaunya, tetapi itu hanya berlaku bagi mereka yang tidak punya malu. Mungkin kita bisa mengukur budaya kita dengan budaya bangsa lain, bahwa dalam soal “malu” bangsa ini nomor satu. Bahkan saking malunya, kebiasaan masyarakat kita selalu memilih duduk di deretan belakang walaupun barisan depan masih kosong. Bahkan dalam beberapa hal, budaya malu yang melekat dalam tradisi bangsa ini terbawa-bawa sampai ke negeri orang dan yang sering kali terjadi budaya malu merendahkan diri menjadi budaya “malu-maluin” dan menjadi bahan tertawaan orang asing.  

Budaya malu sesungguhnya adalah budaya baik dan malu sejatinya merupakan “insting” kemanusiaan yang telah tertanam menjadi bagian dari cara hidup setiap orang. Dengan adanya rasa malu, seseorang akan lebih sadar bahwa dirinya banyak memiliki kekurangan dan kesalahan sehingga malu jika kekurangan dan kesalahan dirinya tak bisa tertutupi oleh peningkatan perbaikan. Rasa malu juga secara tidak langsung akan mendorong seseorang enggan berbuat buruk atau berbuat sesuatu yang menurunkan derajat kemanusiaan dirinya.

Seorang koruptor yang terus-menerus melancarkan aksi korupsinya jelas telah kehilangan rasa malunya sehingga rasa semakin beranilah yang tampak di permukaan. Tidak hanya koruptor, siapa pun yang seringkali melakukan perbuatan buruk, intensitasnya sama, terus-menerus tanpa didasari oleh rasa malu, maka insting dirinya berbuat kebajikan pasti akan hilang. 

Seharusnya, seorang koruptor yang sudah bergelimang kenikmatan hidup justru semakin malu karena dia tidak mampu mensyukuri seluruh anugerah Tuhan yang telah diberikan. Ah, mungkin budaya malu ketika sudah hengkang dari badan, maka tak ada lagi sangkut paut kehidupan dirinya dengan Tuhan. “Persetan dengan Tuhan” rasanya menjadi adagium ampuh yang ada dalam benak setiap koruptor.

Diakui maupun tidak, budaya malu yang tecermin dalam bangsa ini kian hari kian hilang dan malu bukan lagi menjadi ukuran seseorang untuk bertindak. Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa membayangkan dan mungkin merasakan, generasi 20 tahun yang lalu dengan generasi saat ini. Bandingkan saja soal budaya malu yang masih dirasakan oleh generasi terdahulu yang sangat berbeda jauh dengan generasi saat ini. Malu yang dahulu pernah membatasi kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, maka saat ini batas malu itu sudah tak pernah terwujud. Ucapan dan perbuatan di era kekinian tak lagi dibatasi oleh budaya malu sehingga sering kali keduanya tak berkesesuaian dalam aktualisasinya. Orang mengaku beragama, tetapi bertindak anarkis, itu sudah biasa; orang bicara tentang kesalahan orang lain dengan begitu gamblangnya, tetapi kesalahan dirinya tak pernah diakui, bahkan lari; ujaran-ujaran kebencian, kepongahan yang diiringi ancaman dan intimidasi sudah menjadi “makanan” kita sehari-hari.

Bagi saya, jangan salahkan siapa-siapa jika kenyataan kejahatan semakin merajalela. Salahkanlah bahwa budaya malu yang tertanam dalam masyarakat kita sudah hampir punah, bak fosil yang sulit dicari dan mahal harganya. Padahal, 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad sudah membicarakan soal rasa malu yang seharusnya ada dalam benak setiap orang. “Malu itu sebagian dari iman”, begitu kata Nabi Muhammad. Adagium ini justru seharusnya dipahami oleh siapa pun yang merasa beragama dan mengaku sebagai orang beriman yang memiliki keyakinan akan kebenaran terhadap agamanya. Dengan demikian, “jika tidak merasa malu, berarti dia bukan orang beriman” adalah frasa yang tepat ditujukan kepada siapa pun yang tak pernah merasa malu terhadap apa yang dilakukannya. Tepat sekali ketika Nabi Muhammad kemudian menjelaskan “berbuatlah sesukamu jika kamu tak punya malu” yang dalam pengertian lain bahwa siapa pun yang berbuat berdasarkan nafsunya dan sesuka dirinya jelas adalah orang yang benar-benar tak tahu malu!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun