Kemunculan “khilafah” yang digaungkan oleh ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seakan kontraproduktif dengan model NKRI yang sudah final dan menjadi landasan bangunan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. MUI melalui pernyataan yang diungkap ketua umumnya, KH Ma’ruf Amin dalam acara Kongres Ekonomi Umat di Jakarta bahkan menyayangkan masih adanya kelompok baru yang menginginkan sistem lain yang dengan keyakinannya sendiri akan mampu menggeser prinsip-prinsip NKRI yang sejauh ini tetap dipegang teguh oleh seluruh elemen bangsa. “Sistem khilafah tidak cocok di Indonesia karena sudah berbentuk republik”, demikian ungkap Kiai Ma’ruf. Lagi pula, Pancasila yang sejauh ini dipedomani dalam tataran negara-bangsa, justru merupakan hasil “kompromi ideologis”, dimana Indonesia bukanlah “negara agama” juga bukan “negara sekuler”. Negeri ini sudah menemukan bentuknya sendiri dalam bingkai besar NKRI yang tak mungkin lagi dapat diganggu gugat.
Menarasikan “khilafah” sebagai sebuah konsep yang utuh tentang kekuasaan politik dalam sejarah Islam telah seringkali menuai perdebatan, terutama oleh tajamnya perbedaan antara mereka yang berpandangan bahwa Islam merupakan sebuah ajaran yang komprehensif, integratif sehingga politik termasuk bagian integral dari ajaran Islam dan tentunya pandangan lain yang cenderung memisahkan urusan keagamaan (Islam) dengan politik kekuasaan. Keduanya hadir dalam sebuah wacana besar politik Islam, bahkan sudah menjelma sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Persoalan yang muncul sepeninggal Nabi kemudian adalah mengenai siapa yang berhak menggantikan Nabi (kholifatu al-nabiy) dalam hal urusan agama dan juga sosial-politik. Sejarah pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah yang kemudian sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai “pengganti” Nabi ternyata tidak sepenuhnya “diterima” oleh kalangan muslim, sehingga kemudian muncul perdebatan yang melahirkan wacana kepemimpinan (politik) dalam Islam.
Abu Bakar yang menggantikan Nabi kemudian disebut sebagai “khalifah” karena statusnya pada saat itu jelas “menggantikan” peran Nabi SAW sebagai pembimbing dan pemimpin umat muslim lengkap dengan otoritas keagamaan yang dimilikinya. Diantara keempat khalifah yang ada, hanya Umar bin Khatthab yang menolak disebut “khalifah” karena dia lebih suka memakai gelar “amir al-mu’minin” (pemimpin kaum beriman), sehingga kesan politisnya lebih tampak dibanding pengganti Nabi yang lainnya. Namun demikian, istilah “khalifah” kemudian berkembang menjadi semacam “pembenaran” secara agama yang disematkan kepada para penguasa muslim pasca Khulafa al-Rasyidin (para khalifah yang diberi petunjuk), baik yang kemudian dipraktekkan secara hirarkis yang mewujud secara jelas pada dinasti politik Amawiyyah dan Abbasiyah bahkan juga setelahnya.
Konsep “khilafah” kemudian menjadi bagian paling penting dalam sejarah kekuasaan politik Islam yang dijadikan “pedoman” bagi bentuk pemerintahan muslim yang dianggap paling otoritatif. Teori-teori kekuasaan politik Islam kemudian disusun oleh para pakar secara lebih sistematis dengan mengambil tema “khalifah” sebagai bentuk “ideal” bagi model kekuasaan (politik) yang disusun berdasarkan fakta historis kejayaan Islam pada masa-masa awal dan mengacu kepada bentuk kekhalifahan yang tercermin pada praktik para khulafa al-rasyidin serta merujuk pada sumber-sumber otoritatif hukum Islam, baik dari kitab suci al-Quran maupun al-Hadits. “Khilafah” tidak hanya sebagai sebuah “sunnatullah” karena setiap orang adalah “khalifah”, tetapi ia juga menjadi bagian dari kewajiban umat muslim untuk tetap mempertahankan dan meneruskannya dalam sebuah rotasi kepemimpinan sebuah realitas masyarakat muslim.
Sebagian masyarakat muslim meyakini, bahwa sistem kekhalifahan merupakan bentuk paling ideal dalam sebuah struktur pemerintahan dalam konteks negara-bangsa walaupun sesungguhnya ketika merujuk istilah “khalifah” kepada sumber-sumber otoritatif ajaran Islam, tidaklah sepenuhnya menunjukkan keterikatan pada sebuah sistem kepolitikan atau lebih jauh sistem pemerintahan. Istilah “khalifah” yang tertulis dalam al-Quran dengan beragam derivasinya, tidak sepenuhnya merujuk pada model sistematika kekuasaan (politik) tetapi lebih menunjukkan adanya prinsip “pergantian” setiap generasi yang hidup di muka bumi sehingga tidak memiliki konotasi politik apapun. Hal ini sebagaimana disebut dalam surat al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". “Khalifah” yang merujuk kepada ayat ini adalah keberadaan manusia yang “menggantikan” kedudukan mahluk sebelumnya yang telah hadir lebih dahulu di muka bumi. Kondisi ini tetap berlanjut dalam serangkaian sejarah kemanusiaan, dimana setiap orang atau kelompok akan saling menggantikan kelompok lainnya secara berkelanjutan.
Kata-kata lain yang merupakan derivasi dari “khalifah” baik itu “khulafa”, “khalaif” atau “istakhlafa” yang terdapat dalam al-Quran lebih banyak berkaitan maknanya dengan “datang setelah” atau “menggantikan” dari satu generasi ke generasi berikutnya. Walaupun sebenarnya ada ayat yang menunjukkan keterkaitan dengan kekuasaan (kedaulatan) seperti yang disebut dengan tegas pada model kekhalifahan Nabi Daud AS. “Kami telah menjadikan khalifah di muka bumi”, kata Allah, “maka hakimilah manusia secara adil” (QS, Shad: 26). Jika ditarik lebih jauh dalam konteks sosial-politik, maka sebenarnya makna “khalifah” secara lebih umum merujuk pada representasi “keterwakilan” manusia di muka bumi sebagai “agen-agen Tuhan” dalam memakmurkan bumi dan menata kehidupan mereka secara lebih baik bukan direduksi menjadi model kepemimpinan.
Asumsi saya, khilafah yang merujuk pada sebuah sistem pemerintahan atau kekuasaan politik yang diambil dari otoritas agama sangat terkesan dipaksakan. Nabi Muhammad sendiri sebagai representasi dari seorang pemimpin politik sekaligus agama—terutama saat membentuk pemerintahan di Madinah—tidak pernah membuat model kepemimpinan politik atau pemerintahan secara sistematis dengan merujuk pada model kekhalifahan yang tertulis dalam al-Quran. Hal ini jelas, bahwa Nabi mengemban misi kemanusiaan dalam upaya membangun sebuah masyarakat yang beradab yang didasarkan pada tradisi, kesepakatan atau konsensus yang terambil dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Adapun para sahabat yang menggantikan Nabi kemudian disebut para “khalifah” yang melanjutkan kepemimpinan Nabi sebagai pembimbing umat.
Pandangan tertentu yang kemudian mencari dukungan dari otoritas awal masa kekhalifahan para sahabat Nabi termasuk diperkuat oleh doktrin khalifah yang diambil dari otoritas agama, justru semakin menambah kabur makna kekhalifahan itu sendiri, apalagi kemudian disistemisasikan menjadi model pemerintahan. Ali ‘Abd Raziq (1888-1966) bahkan secara tegas menyatakan bahwa tidak ada konsep khilafah dalam otoritas agama Islam. Prinsip kekhalifahan atau khilafah hanyalah mengacu pada konsep kekuasaan politik diluar otoritas agama walaupun istilah “khalifah” memang diambil dari sumber otoritatif hukum Islam. Tidak adanya kesepakatan antara para ulama mengenai terminologi khalifah justru mendorong ‘Abd Raziq beranggapan lebih jauh, bahwa sebenarnya konsep khilafah dalam Islam bukanlah rule model yang sejauh ini dipersepsikan umat muslim sebagai konsep sistematis negara dan pemerintahan Islam. Terlebih jika khilafah terus dihadap-hadapkan dan bahkan dibenturkan dengan sistem pemerintahan atau negara yang telah disepakati, maka jelas khilafah merupakan bentuk pengingkaran atas Pancasila dan juga NKRI.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H