Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Teks Kitab Suci Dikritisi

11 Oktober 2016   14:41 Diperbarui: 11 Oktober 2016   14:55 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Polemik soal Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang disebut melecehkan ayat 51 Surat al-Maidah ketika mengadakan kunjungan kerja ke Pulau Seribu ternyata berbuntut panjang meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf ke publik. Ahok tetap diproses secara hukum karena beberapa aktivis muslim telah melaporkan ke kepolisian soal kasus “pelecehan” terhadap kitab suci al-Quran tersebut yang dinilai telah membuat keresahan dan memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam tradisi Islam, sebuah teks yang berasal dari sumber otentik keagamaan, seperti hadits bahkan lebih-lebih yang bersumber dari al-Quran memiliki nilai kesucian secara agama, sehingga bentuk apapun yang dilakukan seseorang, baik mengkritisi, mempermainkan atau apalagi melecehkan dianggap sebagai sebuah penistaan terhadap agama itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan kandungan teks, memang tidak mudah bagi pihak kepolisian untuk kemudian memproses soal tindak pidana yang disebut masuk dalam kategori penistaan terhadap agama tersebut. Kasus yang bermula dari sebuah video yang tersebar di media sosial soal keterangan Ahok yang menyetir ayat 51 surat al-Maidah dalam al-Quran sebagai teks yang “membohongi” dan “membodohi” ketika dihadapkan pada soal pilihan politik, memang sangat berkait dengan dimensi kebahasaan dan penafsiran. Oleh karenanya, pihak kepolisian berinisiatif untuk memproses kasus ini dengan meminta keterangan terlebih dahulu kepada para ahli bahasa atau ahli tafsir al-Quran sekaligus juga para ahli agama Islam. Saya kira, isu agama ketika dikaitkan dengan isu politik, apalagi menyangkut soal teks atau ayat yang tertulis dalam sebuah kitab suci yang sengaja dikritisi sungguh merupakan wilayah yang sangat sensitif, sehingga kesalahan sedikit saja bisa melahirkan konflik berkepanjangan dalam masyarakat.

Dilihat dari sudut pandang hermeneutika, sebuah teks ketika disuguhkan kepada publik, entah itu sebuah buku ataupun kitab suci selalu terdapat tiga subjek yang mengelilingi keberadaanya, yaitu pengarang, teks itu sendiri dan tentunya pembaca. Dengan demikian, kehadiran sebuh teks yang sudah menjadi milik publik, tentunya akan memunculkan tiga variabel yang saling bertaut, yaitu the world of the text, the world of author dan the worl of reader. Masing-masing pada akhirnya berada pada pusarannya sendiri-sendiri meskipun kesemuanya bisa saling mendukung (bahkan bisa menyesatkan?) ketika pihak pembaca memahami sebuah teks. Sama halnya dengan kitab suci, al-Quran sejatinya merupakan sekumpulan informasi dan pesan-pesan Ilahi yang tersimpan dalam bahasa manusia yang kemudian terabadikan dalam teks. Hanya saja, pembacaan terhadap al-Quran selalu dimaknai oleh suasana keimanan seorang muslim yang terkadang untuk memahami kalimat-kalimat tertentu didalamnya, nalar seringkali bertekuk lutut dan tak mampu menangkap secara utuh pesan-pesan Ilahi yang tercantum dalam setiap untaian teks yang terdapat dalam al-Quran.

Dalam konteks memahami ayat-ayat al-Quran, memang tak bisa dipungkiri terdapat tingkatan pemahaman pada saat seorang muslim ketika membacanya. Ada yang berpikir dalam kapasitas dan pengalaman sehari-hari, namun diarahkan untuk suatu objek yang diimani yang berada diluar jangkauan nalar dan inderanya. Ada juga yang berangkat dari semangat keimanan lalu mencari dukungan dari pemikirannya. Ada juga yang memahami secara literal, verbal sesuai bunyi lahiriyah ayat, bahkan ada yang memahami dari sudut pandang makna spirit dan makna batin ketika membaca realitas ayat-ayatnya. Oleh karenanya wajar jika kemudian manusia disebut sebagai “man is an interpreter being” (manusia sesungguhnya adalah mahluk penafsir) dengan beragam kemampuan, bahasa, pemikiran dan tingkat keimanan yang dimilikinya oleh masing-masing.

Al-Quran secara teologis diyakini oleh umat Islam, baik lafal maupun maknanya, sebagai sebuah kitab suci yang didiktekan Jibril kepada Nabi Muhammad. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dan tetap terjaga keotentikannya dari semenjak turunnya hingga masa kini bahkan yang akan datang, karena al-Quran dibelahan bumi manapun tetap dalam bahasa Arab sehingga sangat tidak mungkin tercemari polusi-polusi yang bersifat pemikiran atau kebudayaan. Bagaikan sang guru, al-Quran selalu mengembara menjenguk murid-muridnya bahkan juga para lawan dan pengkritiknya yang tersebar di seantero bumi semenjak 15 abad yang lalu. Dengan kekuatan yang ada pada dirinya, al-Quran senantiasa melayani setiap pertanyaan, sanggahan, kritikan yang datang dari berbagai macam latar belakang kultur, agama, atau berbagai disiplin keilmuan. Tidak ada sebuah teks kitab suci yang daya gravitasinya mampu menyedot perhatian banyak orang, meskipun tak jarang terjadi perselisihan soal penafsiran teks yang kemudian dieksplorasi dari dalamnya.

Al-Quran dan teks-teksnya begitu mengalir seperti sumber mata air yang demikian jernih belum terkena dampak polusi apapun. Ibarat sebuah “ledakan nuklir” radiasi yang dihasilkan oleh al-Quran bukannya melemah, malah semakin menguat menjadi pusat-pusat kekuatan baru yang daya pancar intelektual dan spiritualnya tidak akan pernah menyusut. Dimensi kekuatan al-Quran yang sebesar ini justru menjadi semakin menarik ketika kemudian setiap kandungan yang terdapat dalam setiap teksnya dibicarakan, ditafsirkan, dan dibahasakan kembali dengan bahasa manusia dengan beragam kultur, bahasa dan pemikiran yang berbeda. Oleh karena itu sebenarnya, diakui ataupun tidak, setiap membacanya seseorang akan melakukan tindakan hermeneutik atau penafsiran yang dianggap cocok dan otentik bagi dirinya. Setiap kita membaca al-Quran apalagi terjemahannya, maka sepertinya kita dihadapkan oleh berlapis-lapis penafsiran yang ada. Apalagi al-Quran berisikan ayat-ayat (signs) yang menyimpan banyak pesan-pesan kemanusiaan dan juga ketuhanan.  

Oleh karena itu, saya melihat bahwa banyak sekali interpretasi yang dilakukan oleh kalangan umat Islam dalam soal membaca surat al-Maidah ayat 51 yang beberapa yang lalu dikritisi oleh Ahok. Perbedaan pemahaman, baik secara latar belakang keilmuan, tingkat pemahaman agama, ataupun berkaitan dengan situasi ketika ayat 51 surat al-Maidah itu diungkap apalagi dikaitkan dengan isu politik, tentunya selalu memberikan banyak dimensi pemahaman berbeda tentang bagaimana teks tersebut dapat diposisikan dalam dimensi sosio-kultural dalam konteks manusia kekinian. Hanya saja, ketika Ahok kemudian membawa teks suci itu menjadi semacam gurauan atau candaan inilah yang saya kira justru membuat polemik karena telah menyakiti perasaan umat Islam. Al-Quran bagaimanapun adalah kitab suci, yang lafal serta maknanya diyakini “suci” oleh seluruh umat Islam. Mempermainkan atau melecehkan ayat-ayat al-Quran tentunya merupakan penghinaan terhadap kesuciannya sekaligus melecehkan agama Islam.

Meski demikian, banyak dalam sejarah bahwa ketika seseorang kemudian melakukan kesalahan dalam bentuk pelecehan atau penistaan terhadap ajaran agama tertentu kemudian meminta maaf, memang sudah seharusnya kita memaafkan. Al-Quran mengajarkan porsi yang lebih tentang hubungan-hubungan kemanusiaan disamping hubungan inklusif dengan Tuhan. Menahan marah dan  memaafkan merupakan aspek terpenting ketika seorang muslim benar-benar mengaku bertakwa kepada Tuhannya. Ketakwaan justru ditandai oleh penguatan terhadap aspek-aspek sosial-kemanusiaan. Terakhir saya mengutip sebuah teks ayat suci, bahwa ketakwaan "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang.Tuhanmenyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."  (QS. Ali Imron: 34). 

Wallahu a'lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun