Semestinya kita tidak lagi harus menghitung, berapa jumlah korban akibat gempa berkekuatan 6,5 SR yang mengguncang Tanah Rencong, atau menghitung-hitung berapa bangunan yang hancur untuk sekedar menimbang berapa kerugian yang harus diganti kemudian, bahkan sebaiknya kita tidak terlalu mengumbar berapa banyak jumlah bantuan yang terus berdatangan untuk sekedar meringankan beban para korban yang selamat di Pidie Jaya.
Gempa bumi yang terjadi di Aceh bukan hanya sekedar bencana alam yang diakibatkan oleh pergerakan lempengan bumi yang kebetulan membentang dan tepat berada di wilayah Serambi Mekkah, tetapi lebih dari itu bahwa musibah kemanusiaan ini harus dipandang sebagai sebuah proses sebab-akibat yang dihasilkan oleh perbuatan manusia itu sendiri, sehingga yang diperlukan sebenarnya adalah “muhasabah” atau “bercermin kepada diri kita sendiri” tentang kenapa dan sejauh mana kesalahan-kesalahan kita atau perbuatan kita yang terkadang seringkali tidak bersahabat dengan alam sekitar.
Kita tentu sulit untuk menerima sebuah cobaan, apalagi cobaan yang terlalu berat sehingga seakan-akan kita sendiri tak akan sanggup memikulnya. Padahal, cobaan sebarat apapun sebenarnya selalu disesuaikan dengan tingkat kemampuan seseorang untuk dapat menerimanya. “Tuhan tidak akan membebani suatu cobaan kecuali cobaan itu sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah: 286). Itulah kenapa kemudian, manusia hanya dituntut untuk “menerima” segala cobaan yang ditimpakan dengan tetap bersabar terhadap segala sesuatu yang menimpa diri mereka.
Sikap sabar justru akan memberikan efek sosial yang sangat luar biasa, karena seseorang yang mampu bersabar justru akan diberikan “ganti” terhadap segala apapun yang pernah hilang dari dirinya. Al-Quran menyatakan, “bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”, (QS. Luqman: 17) dan ungkapan, “bersabarlah kamu dengan sabar yang baik”, (QS. al-Ma’aarij: 5). Tuntutan bersabar tidak hanya kepada yang ditimpa musibah saja, tetapi kepada semua pihak yang saat ini sedang berupaya dengan cara apapun merehabilitasi apa saja yang terimbas bencana di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebagai seorang muslim, saya tentu sangat meyakini, bahwa setiap musibah yang terjadi dalam bentuk apapun tentu selalu ada hikmah dibalik kejadian itu yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang amat berharga. Lalu, mungkin setiap orang akan bertanya, mengapa harus Aceh? Mengapa tidak yang lain? Disinilah letak keterbatasan pengetahuan manusia, bahwa teknologi sehebat apapun tidak akan ada yang sanggup menahan bencana.
Bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja, kepada siapa saja yang bertujuan untuk mengingatkan diri kita agar selalu “muhasabah” atau introspeksi terhadap diri kita sendiri. Mungkin bisa saja pertanyaan kemudian muncul lagi dalam benak kita, kenapa harus Aceh lagi? Bukankah gempa bumi dahsyat pernah terjadi di bumi Serambi Mekkah ini 12 tahun yang lalu? Bahkan lebih dahsyat dari saat ini? Semua pertanyaan itu pasti ada di setiap benak orang yang saat ini justru sangat merasakan duka nestapa yang menimpa saudara-saudara mereka di wilayah paling barat Nusantara.
Mungkin saya tidak perlu menguak kembali luka lama yang pernah menimpa Aceh 12 tahun yang lalu, disaat tsunami menyapu bersih tanah kelahiran Tjut Nyak Dien. Hanya saja, tentu kita belum lupa, bahwa sedemikian banyaknya mereka yang peduli dan membantu membangun kembali Aceh tetapi disisi lain, sedemikian banyak pula dana-dana bantuan yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri.
Triliunan rupiah yang digelontorkan untuk rekonstruksi Aceh pasca tsunami mungkin hanya sebagian kecil saja dinikmati para korban bencana, sisanya justru menguap entah kemana. Bahkan, otoritas pemeriksa keuangan negara seperti BPK, mengaku sulit untuk mengaudit dana bantuan korban bencana tsunami Aceh karena lemahnya koordinasi antarlembaga, baik yang ditunjuk pusat maupun yang ada di daerah. Bencana tsunami 2004 yang lalu, justru telah menjadi semacam “rembukan gelap” para koruptor yang justru memanfaatkan beragam dana bantuan kemanusiaan untuk memperkaya diri mereka sendiri, sungguh sangat ironis!
Saya kira, kejadian 12 tahun yang lalu yang menimpa Aceh, seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita, bahkan hingga musibah yang kemudian kembali menerpa mereka beberapa waktu yang lalu. Kita tentu bangga dengan gelar daerah Serambi Mekkah yang disematkan kepada Tanah Rencong ini, tetapi terkadang kita juga miris oleh banyaknya lahan ganja yang justru ratusan hektar ditemukan disana.
Gelar “Serambi Mekkah” tentu bukan sekedar isapan jempol belaka, karena memang Aceh dikenal sebagai daerah yang sangat agamis. Bagaimana tidak, setelah Aceh berubah menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (Negeri Aceh yang Selamat), kemudian diberlakukan peraturan daerah yang memperluas syariat Islam didalam seluruh aturan bermasyarakat. Mungkin dari sini kita perlu introspeksi lebih banyak kepada diri kita sendiri, khususnya bagi para pemangku negeri ini, bahwa bencana-demi bencana tidaklah dianggap sebagai gejala alam biasa, tetapi sebagai sebuah pelajaran yang seharusnya selalu mengintrospeksi diri kita.
Dalam hal bencana alam atau musibah apapun, tentunya tidak ada yang perlu disalahkan, tetapi harus berani bercermin kepada diri kita sendiri. Bukankah kita tahu bahwa ketika Nabi Yunus AS pernah mendapat musibah sekian lama berada dalam perut ikan? Yang dilakukan Nabi Yunus kemudian adalah berdoa sembari berintrospeksi terhadap dirinya sendiri, “Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang dzalim” (QS. Al-Anbiya: 87). Kesalahan yang terjadi akibat musibah atau bencana sejatinya akibat dari ulah diri kita sendiri, sehingga yang kita butuhkan hanyalah introspeksi. Namun kenyataan yang terjadi adalah seringkali setiap musibah yang menimpa kepada diri kita, justru selalu ditujukan kepada kesalahan pihak lain. Inilah seharusnya yang perlu kita ambil pelajaran dari musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam.