Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesabaran Akan Menyelamatkan Kita

4 Juni 2016   13:37 Diperbarui: 4 Juni 2016   17:40 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu fungsi dari berpuasa sejatinya adalah melatih kesabaran. Kesabaran merupakan salah satu prilaku manusia yang paling positif dan banyak mendatangkan kemanfaatan. Kita bisa membayangkan, bagaimana seandainya kita sedang berada dalam suatu antrian panjang dan tiba-tiba ada seseorang yang menyerobot tanpa mau bersama-sama mengantri dahulu, maka sudah pasti cacian-makian, sumpah serapah, emosi akan ditimpakan kepada orang tersebut. Belum tentu juga prilaku menyerobot antrian tersebut akan menyelesaikan masalah, malah seringkali justru banyak menimbulkan masalah. Tetapi jika semua orang sabar dalam mengantri, pasti masalah-masalah akan lebih mudah teratasi dan diselesaikan dengan memberi manfaat kepada semua orang.

Ada sebuah kisah, di sebuah desa terpencil di wilayah Turki. Seorang petani muda bernama Hasan baru saja melangsungkan pernikahannya. Pernikahan Hasan terasa sangat spesial, karena dihadiri oleh dua orang cendekiawan terkenal yang sangat dikagumi Hasan. Di penghujung acara pernikahan, Hasan mengajak dua cendekiawan ini untuk tinggal lebih lama dan mengajarkan pengetahuan kepada Hasan. Merekapun menyetujui dan akhirnya terlibat diskusi serius antara Hasan dan kedua cendekiawan tersebut hingga beberapa hari lamanya. Hasan yang merasa semakin haus akan ilmu, diberikan saran oleh salah satu cendekiawan agar mencari ilmu lebih jauh, keluar dari desanya menuju tempat-tempat dimana ilmu pengetahuan dapat ditemukan dan digali lebih banyak.

Hasan kemudian bertekad untuk menimba ilmu lebih banyak sehingga dia harus rela meninggalkan istri dan desanya yang selama ini telah membuatnya hidup. Dengan berat hati, Hasan berpamitan kepada warga desa dan istrinya untuk merantau pergi mencari ilmu dan kebijaksanaan sebagaimana yang disarankan para cendekiawan. Kepergian Hasan dari desanya, justru menjadi pembicaraan masyarakat dan sampai-sampai Hasan digelari “si Gila” karena dia tega-teganya meninggalkan istrinya yang baru beberapa minggu dinikahinya. Tidak ada warga desa disitu yang segila Hasan mau meninggalkan keluarganya hanya demi menuntut ilmu. Tapi tekad Hasan tidak bisa dikalahkan oleh apapun, dia tetap dengan keyakinannya dan semangatnya pergi jauh meninggalkan desanya dan istrinya, entah sampai kapan waktunya.

Bertahun-tahun Hasan tanpa terasa sudah banyak belajar mengenai banyak hal, setelah sampai genap 20 tahun, Hasan kemudian bertekad untuk mengakhiri petualangannya dan pulang ke desanya sebagaimana yang telah dia janjikan kepada istrinya. Disela-sela perjalanan pulang, Hasan kemudian bermalam di sebuah desa yang tak jauh dari desanya tinggal, hanya berjarak setengah hari perjalanan. Hasan bermalam di rumah seorang petani sederhana yang hanya tinggal berdua dengan istrinya yang sudah sama-sama tidak muda lagi. Si Petani kemudian mencoba membuka perbincangan dengan menanyakan perihal Hasan dan apa saja yang selama ini dia lakukan.

Hasan menceritakan dengan bangga bahwa dia sudah 20 tahun meninggalkan desanya untuk sebuah harapan: mendapatkan ilmu yang bermanfaat agar dia bisa berguna untuk masyarakat. Petani tua itu kemudian mengajukan pertanyaan kepada Hasan, “tahukan engkau dari mana asal mula kebijaksanaan?” Dengan cepat Hasan menjawab, “Kebijaksanaan itu awalnya percaya kepada Tuhan”. Si Petani berujar, “bukan, bukan itu jawaban yang benar”. Kemudian Hasan menjabarkan segala hal tentang argumennya itu dengan panjang lebar dari beragam sudut ilmu pengetahuan yang telah dia pelajari. Tetapi si Petani tetap pada pendapatnya, bahwa bukan itu yang dimaksud kebijaksanaan. Sehingga Hasan-pun menyerah dan dia meminta si Petani agar menjelaskan dari mana asal kebijaksanaan itu. Si Petani kemudian mengatakan, “jika engkau ingin tahu apa kebijaksanaan, tinggalah beberapa hari disini, nanti akan aku jelaskan kepadamu”.

Hasan kemudian menyepakati dan tinggal bersama Petani itu. Semua kegiatan Petani diikuti Hasan dari mulai bercocok tanam, menyiraminya sampai kemudian membantu memanennya, hanya itu pekerjaan rutin setiap hari yang dilalui Hasan selama dia tinggal bersama si Petani di desa tersebut. Sampai akhirnya, Hasan belum juga memperoleh jawaban tentang apa itu kebijaksanaan. Bahkan  hampir satu tahun, Hasan tinggal bersama Petani itu tetapi tetap belum diterima jawaban yang memuaskan mengenai kebijaksanaan, hingga akhirnya Hasan kesal dan merasa tertipu oleh si Petani. Dengan nada datar, si Petani hanya menjawab, “Selama disini, engkau baru tahu tahap awal mengenai kebijaksanaan. Kesabaran adalah awal dari kebijaksanaan”. Keesokan harinya, Hasan pamit kepada Petani dan istrinya untuk melanjutkan perjalanan pulang ke desanya meskipun dengan hati yang kesal karena jawaban dari Petani belum memenuhi keinginan rasionalitasnya.

Kira-kira menjelang matahari hampir tenggelam, Hasan tiba di desanya yang selama 20 tahun lebih dia tinggalkan. Dia menyaksikan desanya banyak berubah, banyak orang baru yang tidak dia kenal sama sekali. Keinginan untuk bertemu dengan istrinya yang cantik sangat menggebu-gebu dalam diri Hasan. Tinggal beberapa langkah ia mencapai pintu rumahnya, Hasan terkejut bukan kepalang, karena ia dapati istrinya sedang duduk berdua bersama seorang laki-laki yang masih belia dengan mesra. Laki-laki gagah itu kira-kira hanya berumur 20-an tahun, saat dilihat Hasan, kepalanya sedang dibelai oleh istrinya. Seketika Hasan mulai terbakar emosinya, disiapkan belati dibalik bajunya dan dia berpikir singkat, keduanya harus dibunuh karena selama ini ternyata istrinya justru telah mengkhianatinya. Tetapi waktu adzan tiba, Hasan mengurungkan niatnya sementara, sehingga dia bergegas ke masjid yang tak jauh dari rumahnya untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah.

Didalam Masjid Hasan masih tidak melihat satu orangpun yang ia kenal, sampai kemudian dia bertanya kepada seseorang disebelahnya. “Kau kenal si Ahmad, dimana dia sekarang?”. Orang yang ditanya menjawab, “Ahmad sudah meninggal 5 tahun yang lalu,”. Dan beberapa kali Hasan bertanya soal teman-temannya jawabannya tetap sama, sudah tiada atau pindah dari desa tersebut. Sampai kemudian sholat akan segera dilaksanakan, Hasan terkejut ketika mendapati orang yang duduk bersama istrinya tadi justru sekarang berada di baris paling depan, dia menjadi imam! Rasa penasaran Hasan ditanyakan kembali kepada orang yang disebelahnya, “Siapa orang yang jadi imam?” Spontan sebelahnya menjawab, “Dia itu anak si Hasan Gila yang dulu meninggalkan desa ini bertahun-tahun, tapi tidak pernah kembali. Dia si Jamal, ketika si Gila itu pergi, istrinya menitipkannya kepada seorang cendekiawan disini, hingga akhirnya dialah orang yang paling berilmu di desa ini”.

Hasan seketika baru menyadari bahwa apa yang dipikirkan dia sore tadi justru sangat berbahaya jika dia benar-benar dia lakukan. Ternyata dia semakin memahami bahwa awal dari kebijaksanaan yang dimaksud Petani yang sempat mengajarinya adalah benar adanya, yaitu kesabaran. Hasan kemudian memutuskan untuk kembali lagi malam itu menemui si Petani di desa sebelah karena Hasan merasa bersyukur karena petuah dan ajaran si Petani itulah hidupnya justru terselamatkan. Sesampainya di rumah Petani itu, Hasan bersimpuh dan berucap kepada Petani itu, “Terima kasih guruku, engkau telah mengajarkanku kesabaran, sehingga aku dan keluargaku dapat terselamatkan”.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun