Manusia seringkali tidak pernah menyadari, bahwa sesungguhnya apa yang dia peroleh selama hidup hakikatnya adalah atas izin Tuhan. Kedudukan yang tinggi, jabatan yang menjanjikan bahkan kekuasaan yang dia dapatkan adalah atas Kuasa-Nya. Hal inilah yang pernah diungkapkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sesaat setelah dia menyaksikan hasil hitung cepat Pilkada Jakarta yang menunjukkan persentase rival-nya Anies-Sandi justru lebih unggul dibandingkan dirinya. “Pendukung kami pasti sedih dan kecewa. Enggak apa-apa, percayalah kekuasaan itu Tuhan yang kasih dan Tuhan pula yang ambil”, demikian ungkap Ahok ketika dengan legowo menerima keunggulan Anies-Sandi melihat hasil quick count Pilkada Jakarta. Dalam kondisi seperti ini, menyandarkan seluruhnya kepada kekuasaan Tuhan menunjukkan bahwa manusia lemah dalam banyak hal tetapi dengan menghadirkan Tuhan, maka manusia seakan tetap merasa kuat.
Mungkin bagi sebagian orang, menyangkut pautkan kekuasaan yang diberikan atau dimiliki seseorang adalah merupakan atas upaya dirinya sendiri yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan, saya kira menunjukkan kesombongan dan kepongahan yang terlampau berlebihan. Namun dengan berkeyakinan bahwa kekuasaan adalah hak Tuhan untuk diberikan kepada siapapun dan juga mencabutnya dari siapapun, justru menunjukkan kerendah hatian, sikap legowo dalam menerima apapun hasilnya yang menunjukkan keluhuran sikap pribadi dirinya yang selalu sadar terhadap hakikat sebuah kekuasaan. Namun kebanyakan diantara manusia lebih banyak menganggap bahwa sekecil apapun, kekuasaan itu diperebutkan dan dicari karena dengan kekuasaan seseorang dapat melakukan apa saja dan mudah mengontrol keinginan orang lain.
Saya justru sangat mengapresiasi ungkapan Ahok ketika menggelar konferensi pers ditengah para pendukungnya di Hotel Pullman menyikapi hasil quick count Pilkada Jakarta 2017. Paling tidak, ungkapan ini justru sangat berpengaruh, baik kedalam diri Ahok sendiri dan terlebih keluar yang ditujukan kepada para pendukungnya. Ahok tentu sangat menyadari sepenuhnya, bahwa tidak ada kekuasaan yang bersifat abadi, ia pasti berotasi mengikuti irama kontestasi yang selalu berjalan secara periodik, sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah tidak ada istilah “menang” atau “kalah” dalam sebuah rotasi kekuasaan (politik) yang ada adalah “pergantian” kekuasaan tergantung siapa yang dalam hal ini diizinkan Tuhan untuk memperolehnya. Saya kira, hampir sangat jarang ketika seseorang mengungkapkan hal ini dalam kondisi “tidak unggul” pada sebuah iklim kontestasi. Ungkapan Ahok bisa menjadi preseden positif terhadap pembelajaran demokrasi, terlebih ketika “kekuasaan manusia” dikaitkan dengan “kekuasaan Tuhan” yang tanpa batas.
Saya malah teringat kepada sebuah ayat al-Quran yang merupakan teguran kepada Nabi Muhammad tatkala memohon kepada Tuhan agar kaisar Romawi dan Persia menjadi salah satu pengikutnya. Tuhan menegur melalui surat Ali Imron ayat 26: “Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ayat ini menunjukkan bahwa kekuasaan manusia hakikatnya adalah kehendak Tuhan, bahkan kemuliaan dan kehinaan yang diperoleh manusia pada hakikatnya berada dalam skenario Tuhan Yang Maha Agung.
Bagi saya, ungkapan Ahok justru menyimpan makna yang cukup dalam dalam soal bagaimana seharusnya seseorang memandang sebuah kekuasaan. Kekuasaan yang diperoleh seseorang, tentu saja memiliki efek positif sekaligus negatif, baik terhadap dirinya dan juga orang lain yang dipimpinnya. Kekuasaan dalam dalam pengaplikasiannya pada sebuah realitas sosial, bak pedang bermata dua, ia bisa berpotensi membangun ke arah suasana yang lebih baik, tetapi di sisi lain, bisa saja merusak banyak hal, termasuk tatanan masyarakat. Dengan mengkaitkan bahwa kekuasaan yang diperoleh adalah dari Tuhan, maka nilai-nilai ketuhanan paling tidak akan mewujud dalam diri seseorang yang dianugerahkan Tuhan sebuah kekuasaan. Inilah saya kira, sisi terpenting yang memang harus selalu disadarkan dalam memandang kekuasaan.
Memberikan pemahaman dan kesadaran akan keniscayaan rotasi kekuasaan yang mewujud dalam sebuah sistem yang demokratis, maka seharusnya tidak ada siapapun yang merasa kecewa atau sakit hati ketika “kekuasaan” yang seharusnya ia peroleh tetapi “direbut” pihak lain. Terlebih jika dibangun sebuah kesadaran, bahwa yang berhak “memberi” dan “mencabut” kekuasaan yang disematkan kepada seseorang hanyalah Tuhan, maka jelas tidak akan ada seseorang yang meratapi karena kehilangan kekuasaan yang pernah diperolehnya. Ahok dalam hal ini, justru membangun kesadaran-kesadaran lebih jauh tidak hanya kepada para pendukungnya, tetapi kepada siapapun yang melulu memandang kekuasaan sebagai hal yang harus “diperebutkan” dan harus “dicari” bagaimanapun caranya, sekecil apapun pengaruhnya. Saya kira, ungkapan tulus Ahok dalam memandang kekuasaan justru acapkali diartikan berbeda oleh banyak pihak, terutama pihak-pihak yang sejak awal memang membangun prasangka negatif terhadap dirinya.
Saya sangat mengapresiasi atas segala ungkapan Ahok yang diiringi kerendah hatian, sikap legowo dan memberikan kesadaran kepada para pendukungnya utuk memahami esensi yang benar dari sebuah kekuasaan. Namun kebanyakan kita hanya mampu memandang terhadap kekuasaan yang harus “direbut” dari seseorang yang sangat tidak kita sukai dan benci, tidak pernah disadarkan bahwa kekuasaan adalah proses rotasi periodik yang akan “diberikan” secara bergilir kepada seseorang yang memang dikehendaki Tuhan. Manusia terlampau tamak dan pongah sehingga bagaimanapun “kekuasaan” hendaknya direbut dengan cara apapun. Tanpa perduli dengan kondisi pertemanan, persahabatan bahkan kekeluargaan yang bisa saja hancur berantakan! Memang, politik itu kejam, terkadang bisa dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai potensi “kekejaman” kepada pihak lain, tetapi bisa tiba-tiba menjasi sangat kejam dan bengis hanya karena tidak rela “kekuasaan” direbut atau jatuh ke tangan orang yang dibenci. Ingatlah, kekuasaan yang diberikan kepada seseorang adalah kehendak Tuhan, bukan kehendak siapapun walaupun dengan canggih mengatur proses-proses dalam memperoleh kekuasaan!
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H