Sudah menjadi hal yang lumrah, dari Ramadhan ke Ramadhan begitu seterusnya, seluruh harga kebutuhan pokok naik, dari mulai sayuran, minyak, beras sampai daging yang justru paling diminati masyarakat harganya justru selalu paling tinggi terutama saat Ramadhan bahkan sampai menjelang Idul Fitri tiba. Bulan Ramadhan seringkali dimanfaatkan para mafia “kebutuhan pokok” untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dengan sengaja menaikkan harga sendiri di pasaran. Para mafia ini memang sudah ‘kongkalikong’ dengan para produsen lainnya yang juga sama-sama ingin mengeruk keuntungan ditengah-tengah meningkatnya kebutuhan pokok manusia justru ketika bulan Ramadhan. Berbagai cara yang dilakukan pemerintah, nampaknya tidak berdaya melawan para ‘kartel-kartel’ bahan pokok ini, yang terjadi malah impor yang justru semakin memperparah kenaikan harga bahan-bahan pokok di pasaran.
Memang agak aneh, puasa yang logikanya merupakan pola pengaturan dan pengurangan terhadap porsi makan dan minum seseorang yang berpuasa, justru tidak demikian adanya. Kebutuhan bahan-bahan pokok selama bulan Ramadhan bagi masyarakat justru bisa seratus persen lebih tinggi dibanding selain di bulan Ramadhan. Kebutuhan orang yang meningkat terhadap bahan-bahan pokok sepanjang Ramadhan mulai dilirik para produsen sebagai kesempatan baik untuk mengeruk banyak keuntungan. Lihat saja kondisi di pasar misalnya, banyak orang yang mengeluhkan harga daging mahal, harga cabe mahal, bawang mahal, harga minyak mahal dan seabreg bahan-bahan pokok lainnya yang tidak lagi dalam kondisi normal harganya. Harga-harga barang ini tetap tinggi dan terus tinggi disaat masa-masa bulan Ramadhan, padahal diyakini bahwa Ramadhan adalah sebagian besar umat Muslim berpuasa dan semestinya yang terjadi adalah pengurangan porsi kebutuhan hidup. Lha, bagimana kebutuhan naik sedangkan orang-orang banyak yang berpuasa?
Seakan kondisi seperti ini sudah menjadi hal biasa, sehingga seringkali justru tidak disadari oleh mereka yang sedang berpuasa. Puasa yang semestinya memberikan pelajaran hidup agar lebih sederhana, lebih banyak menyentuh aspek-aspek sosial kemasyarakatan, mamahami nilai-nilai kesahajaan yang dilewati oleh rasa lapar dan haus ketika berpuasa, malahan seringkali dijadikan ajang “balas dendam” kebanyakan orang pada saat berbuka puasa. Inilah fenomena kapitalisme Ramadhan, sebuah kondisi dimana mereka tunduk pada kebutuhan pokok yang dikontrol, mereka tidak peduli dengan harga tinggi yang penting nafsu mereka terpenuhi. Kita mungkin bisa menyaksikan berapa banyak café-café, fast food, restoran yang justru melipatgandakan pembelanjaan bahan-bahan pokoknya dibanding bulan-bulan selain Ramadhan. Ternyata Ramadhan yang semestinya diapresiasi sebagai bulan ibadah, hanya dimaknai sebagai ajang keserakahan manusia pada akhirnya, keserakahan terhadap makanan dan minuman.
Lebih heran lagi, bahwa kebanyakan bentuk kapitalisme ini diciptakan oleh mereka yang berpuasa bukan yang tidak berpuasa. Keserakahan seperti ini yang kemudian memicu para ‘kapitalis’ lainnya yang bergerak dalam bisnis bahan-bahan pokok semakin diberi peluang menjadi ‘kartel-kartel’ ulung pemasok tunggal yang memainkan harga sendiri di pasaran. Pemerintah yang sudah bertahun-tahun mengusut bagaimana sebenarnya bisa terjadi kenaikan harga, sampai saat inipun belum ditemukan titik temunya berasal dari mana. Ibarat benang kusut, persoalan kenaikan harga sulit diurai di lapangan. Inilah barangkali yang dimaksud dalam teori ilmu ekonomi klasik, dimana Ramadhan selalu menciptakan kondisi permintaan akan kebutuhan bahan pokok yang meningkat dari masyarakat (demand) sehingga para produsen tentu menyediakan bahan-bahan pokok itu sesuai dengan harga yang akan dibuat oleh mereka (supply). Ramadhan sudah sejak dulu dicitrakan oleh fenomena kenaikan bahan pokok karena memang kebutuhan orang-orangnya yang telah melebihi porsi biasanya.
Jadi, kenaikan bahan-bahan pokok setiap Ramadhan bukan dipicu oleh langkanya barang-barang pokok atau naiknya ongkos kendaraan pengangkut, tetapi lebih banyak diciptakan oleh orang-orang yang berpuasa sendiri. Padahal, puasa yang semestinya lebih mengedepankan ibadah sosial, justru dimanfaatkan oleh kebanyakan orang hanya sebatas ibadah atau ritus individual. Ibadah atau kesalehan individual inilah yang banyak dikejar orang berpuasa, sehingga yang muncul justru pribadi-pribadi yang serakah dan tidak memiliki kepekaan sosial. Membelanjakan bahan-bahan pokok untuk kebutuhan puasa secara berlebihan, hanyalah aspek kebutuhan individual yang sebenarnya tidak masuk kedalam nilai-nilai yang dimaksud oleh puasa. Apalagi jika menganggap bahwa ini bagian dari kesenangan pribadi (hedonis) justru telah jauh meninggalkan makna puasa sebagaimana yang dipedomani dari Nabi Muhammad saw. Jika seandainya puasa tidak dimaknai secara individual, tetapi secara sosial, maka tidak akan terjadi kapitalisme Ramadhan yang selama ini selalu terjadi.
Puasa dan seperangkat nilai-nilai di dalamnya, sangat menunjukkan ke arah program pembentukan kesalehan sosial, bukan kesalehan individual. Menahan lapar, haus, marah atau bersikap sabar adalah sikap yang ada dalam diri seseorang tetapi erat kaitannya dengan aktivitas sosial. Nilai-nilai yang diajarkan dalam puasa selalu mengajak kecenderungan untuk lebih peduli dan peka terhadap kondisi sosial bukan terletak pada pendalaman praktek kesalehan individu-nya. Jika kesalehan sosialnya sudah terbangun secara baik, pasti kesalehan individu akan lebih matang terbentuk dengan sendirinya. Keserakahan yang justru banyak ditengah-tengah menu berbuka puasa saat Ramadhan, belum menunjukkan kesalehan sosial sehingga mendorong munculnya kapitalisme di bulan suci ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H