Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Wali Songo Bukan "Wali Songong"

23 Juli 2017   21:40 Diperbarui: 23 Juli 2017   22:01 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islamisasi Nusantara lekat sekali dengan sejarah para "Wali Sembilan" (Wali Songo) yang cukup fenomenal. Bagi saya, mereka adalah para ulama yang sukses mengislamkan Indonesia dengan cara damai dan bermartabat. Terlepas dari berbagai unsur mitos yang melingkupinya,  penyebaran Islam yang mereka lakukan, tak jauh berbeda dengan praktik Islamisasi Arab yang dijalankan Nabi Muhammad. Baik Nabi Muhammad maupun Wali Songo sama-sama berhasil mengislamkan orang kafir bukan karena peperangan, tetapi karena proses akulturasi budaya dan nilai yang "diislamisasi"dan"dimodifikasi" selaras dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Jika para Wali Songo berperan penting dalam mengislamkan orang kafir, maka lain halnya dengan "Wali Songong" yang justru seringkali mengafirkan orang Islam. Mereka adalah para juru dakwah atau semacam misionaris yang berlaku sombong, tak tahu adat bahkan merasa bahwa paham dan ajaran Islam yang dibawanya adalah paling benar.  Celakanya, produk agama yang disebarkan selalu membawa-bawa unsur kebencian yang gemar sekali menyalahkan sesama muslim. Semangat kebencian yang mereka tularkan, justru membuat beragama semakin menakutkan, menyulitkan, sama sekali tak pernah menunjukkan kegembiraan.

Islam jelas merupakan agama yang menggembirakan. Bagaimana tidak, hal yang terkecil seperti membuang duri di jalan termasuk yang diajarkan Islam dan berpengaruh pada  kegembiraan  orang lain. Bahkan, sabda Nabi Muhammad sangat jelas, "bassyiruu wa laa tunaffiru, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lain takut". Membuat gembira orang lain adalah inti dari ajaran agama Islam, karena dapat dipastikan, seluruh hubungan yang bersifat sosial, seperti menolong orang kesusahan, bersedekah, menengok orang sakit atau menghibur orang yang dalam kesedihan, adalah ajaran-ajaran Islam yang jelas membahagiakan dan menggembirakan.

Islam yang tersebar di bumi Nusantara dan diperkenalkan oleh para Wali Songo memiliki kesan yang kuat akan humanisme, kegembiraan dan hampir tak pernah terbaca dalam sejarah dilakukan dengan semangat kebencian apalagi peperangan. Sejarah, misalnya mencatat, bagaimana para wali penyebar agama Islam ini, tidak sekadar menyebarkan agama, tetapi juga mengajari masyarakat bercocok tanam, saling membantu sesama, dan menghargai nilai-nilai  tradisi yang sudah ada dengan cara akulturasi budaya. Proses-proses ini kemudian memberikan nuansa yang kuat akan sebuah "pribumisasi Islam", menjadikan Islam bagian budaya, adat dan nilai-nilai yang kemudian menyatu dalam kehidupan masyarakat.

Belakangan santer terdengar istilah "arabisasi" dimana keberislaman seseorang jika belum  "arab" maka dianggap masih belum "islam". Lihat saja, sebutan "saya" diganti menjadi "ana" atau "kamu" menjadi "antum" atau "terima kasih" menjadi "syukron". Munculnya istilah-istilah Arab seakan meneguhkan keislaman seseorang, bahkan simbol arab lebih banyak bermain dalam realitas kekinian, seperti gamis, jilbab syar'i, cadar yang justru dianggap itulah islam. 

Saya kadang membayangkan, alangkah sulitnya seorang perempuan muslim yang biasa bertani di sawah, lalu harus ke sawah dengan memakai jilbab syar'i, atau bercadar misalnya, pasti akan sangat menyulitkan, apalagi ketika harus turun ke sawah yang penuh dengan lumpur untuk menanam padi atau memanennya. Kondisi bangsa Arab yang bercadar dan berbaju panjang (jilbab) tidak mungkin dipaksakan kepada para petani yang hidup di lingkungan agraris.

Sejarah Wali Songo memberitahukan kepada kita, bagaimana Islam secara damai dan berkembang dalam nuansa akulturasi di Nusantara---khususnya di Jawa. Hampir tak pernah kita temui model "arabisasi" yang dipaksakan kepada masyarakat. Yang ada, mereka melakukan "islamisasi" terhadap tradisi dan budaya, tanpa sedikitpun merusak nilai-nilai luhurnya. Bahkan, bahasa Arab yang mereka ajarkan, diubah menjadi bahasa lokal dan terserap menjadi bahasa sehari-hari. Syair-syair bahasa Arab-pun sama, digubah menjadi syair-syair bahasa Jawa dengan nuansa kearifan lokal yang kental. Lagu-lagu, seperti "Gundul Pacul", "Lir-ilir" "Sluku Bathok" adalah syair-syair Arab yang dipribumisasikan dan bernuansa sangat islami bahkan sukses menjadi populer di tengah masyarakat.

Keberhasilan para Wali Songo yang mengislamkan Nusantara---terutama di Jawa---dari masyarakat yang dahulunya masih "kafir" justru saat ini tercemar oleh kegiatan "Wali Songong" yang berbalik mengafirkan sesama muslim. Tuduhan-tuduhan "kafir", "thaghut" justru dialamatkan kepada sesama muslim yang dianggap tidak mau mengikuti paham keagamaan yang mereka anut. Bahkan, tidak sekadar mengafirkan, darah sesama muslim-pun dianggap halal oleh mereka untuk ditumpahkan. Efek dari dakwah yang dilakukan mereka justru cenderung melahirkan kelompok-kelompok yang "radikalis" dan "jihadis", yang kemudian tumbuh menjadi gerakan-gerakan yang mengumandangkan perang dan kebencian, kepada siapapun, termasuk sesama muslim.

Fenomena "Wali Songong" sepertinya memang memiliki metode dan paham serta ajaran tersendiri soal bagaimana seharusnya Islam mampu menjadi bagian hidup dalam masyarakat di Nusantara. Hanya saja, ketika metode yang mereka pergunakan dengan kesombongan, paksaan,  apalagi dengan pandangan merasa dirinya benar, maka nilai-nilai Islam yang gembira, penuh kemuliaan dan keagungan justru malah tercemar. Bagi saya, metode apapun yang dijalankan untuk berdakwah dapat bervariasi dan berbeda-beda, hanya saja sangat disayangkan ketika pada akhirnya hanya mencemari kemuliaan dan keluhuran agama itu sendiri. Sangat berbeda jauh dengan metode penyebaran Islam yang dilakukan Wali Songo, mudah dipahami, tidak menakutkan dan mampu menjaga nilai-nilai tradisi dan budaya. Para Wali Songo jelas menjalankan proses "pribumisasi" Islam tanpa pernah memaksakan budaya Arab masuk di dalamnya. Bagaimana dengan "Wali Songong"? Saya kira anda bisa menilainya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun