Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Idiosinkrasi dan Demo Bela Islam

29 Oktober 2016   14:37 Diperbarui: 29 Oktober 2016   14:45 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Idiosinkrasi kurang lebih merupakan sifat-sifat perorangan yang khusus ada pada seseorang, yang membuat ia lain dari orang kebanyakan. Meskipun terkadang idiosinkrasi memiliki konotasi negatif, tetapi dalam banyak catatan sejarah, seorang penguasa yang idiosinkrasi biasanya akan dimaafkan, karena penguasa tersebut memberikan banyak jasa dalam bidang-bidang kepentingan masyarakat. 

Pembangunan infrastruktur, baik jalan, jembatan, tata kota, merupakan diantara jasa-jasa yang banyak bermanfaat untuk kepentingan publik sehingga menjadi hal yang kemudian dipertimbangkan. Idiosinkrasi tetap akan ada dan cenderung dibiarkan selama memang tidak merugikan banyak orang. 

Tetapi jika kemudian idiosinkrasi yang melekat pada seseorang justru berpengaruh terhadap kerugian dan kesengsaraan orang banyak, maka biasanya akan terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.

Indonesia dulu pernah punya Sultan Agung Hanyokrokusumo, seorang penguasa yang berjasa besar bagi kepentingan rakyat. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya membuat sistem agraris yang birokratif demi memajukan potensi pertanian yang ada di wilayah kekuasaannya. Sistem ini pada akhirnya berhasil dan pertanian yang dibangun terus mencapai kemajuan dan tak pernah surut sepanjang masa hidupnya. 

Tetapi, kekurangannya adalah dia tidak memiliki kemampuan menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang dipimpinnya. Maka dalam pandangan Sultan, seluruh kekuatan laut yang ada diluar wilayahnya merupakan saingan politik dirinya dan harus segera dihancurkan. Salah satu idiosinkrasi Sultan Agung hanyalah kegemarannya menyiksa para “lawan politik” atau “bawahannya” yang terbukti menentangnya. 

Bahkan dalam banyak kisah, Sang Sultan seakan menikmati setiap penderitaan para lawan politiknya dengan santai sambil menikmati setiap hidangan yang tergelar dihadapannya.

Dalam sejarah lainnya, Sultan Trenggono dari Demak konon naksir seorang wanita cantik yang telah menjadi selir Ki Pengging Sepuh, salah satu panglimanya. Kemudian dengan siasat Sultan, Ki Pengging diperintahkan untuk berperang menyerbu daerah-daerah sekitarnya yang belum tunduk kepada kekuasaan Demak. 

Perang yang berkepanjangan pada akhirnya membuat Ki Pengging gugur dalam pertempuran, maka seiring dengan kematiannya, Sultan kemudian berhasil menikahi istri Ki Pengging yang kemudian dijadikannya sebagai selir istana. Idiosinkrasi Sultan Demak berarti bahwa dia memiliki “motif pribadi” yang memang tersembunyi dalam hatinya ingin memenuhi keinginannya merebut sesuatu dari tangan orang lain, meskipun seakan-akan terlihat sangat rapih dan tidak menyakiti siapapun, padahal kematian panglima perangnya justru merupakan tujuan utama dirinya.

Kita mungkin belakangan ini menyaksikan, bahwa idiosinkrasi yang membawa kepada konotasi negatif telah dilakukan salah satu penguasa di negeri ini. Memang, bahwa idiosinkrasi akan cenderung dimaafkan atau dibiarkan selama masih memberikan banyak kemanfaatan untuk banyak orang, tetapi lain halnya ketika idiosinkrasi seseorang justru malah memiliki “motif pribadi” atau memang tidak suka dan ingin menghancurkan lawan-lawan politiknya. 

Apalagi motif pribadi dan keinginan menghancurkan lawan-lawan politiknya kemudian dilakukan dengan cara menistakan suatu agama tertentu, maka seakan-akan sedang digelar sebuah drama politik yang membenturkan sesama umat beragama. Sesama umat beragama kemudian saling tuduh sebagai kelompok yang intoleran, picik, tidak demokratis sehingga tidak ada lagi rasa keberagaman dalam diri mereka. Maka, kondisi idiosinkrasi yang terlampau merugikan orang banyak, justru harus segera diakhiri.

Belakangan, kita melihat fenomena beruntunnya demo Bela Islam yang digelar oleh seluruh elemen umat Islam dihampir seluruh penjuru Indonesia, menunjukkan bahwa persoalan idiosinkrasi penguasa yang menyimpang terlalu jauh apalagi dengan membawa-bawa dan melecehkan nama agama semakin mengaburkan keberhasilannya sebagai seorang penguasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun