Pilkada Jakarta semakin diramaikan oleh beragam eksperimen yang dilakukan masyarakat tidak hanya mereka yang menggunakan simbol-simbol keagamaan, tetapi juga oleh mereka yang merasa terganggu dengan gerakan politisasi agama dan membuat simbolisasi politik tandingan. Jargon-jargon politik mulai bermunculan sebagai bagian dari ekspresi politik, entah itu yang bernama “keragaman”, “kebhinekaan”, “NKRI”, “bela agama” atau “bela ulama” dan lebih heboh lagi adalah mereka yang gemar melakukan politisasi agama dengan membawa simbol-simbol dan jargon-jargon politik bernuansa “agamis”. Sebut saja misalnya simbol “jari tiga” dengan jari telunjuk dan jempol membentuk bulatan sepertinya dianggap atau diasosiasikan dengan “lafadz Allah”, aksi-aksi tertentu yang menggunakan simbolisasi angka dan belakangan diduga ada pergerakan untuk mengamankan Pilkada Jakarta dengan mengatasnamakan “Tamasya Almaidah” tentu merupakan bentuk nyata dari sebuah “politisasi agama”.
Untuk gerakan yang disebut terakhir ini, justru sangat kental nuansa politisnya ketimbang aura keagamaannya, karena kata “almaidah” sendiri yang merujuk pada kasus penistaan agama menyoal surat al-Maidah ayat 51 yang disalahtafsirkan oleh salah satu kandidat gubernur di Jakarta, justru seringkali diekspolitasi menjadi bagian dari agitasi politik. Kata “tamasya” sendiri terambil dari kata bahasa Arab “masya” yang artinya “berjalan”, sehingga bentuk derivatifnya “tamasya” mengandung konotasi “perjalanan”. Sebenarnya agak membingungkan, ketika kata ini digabung dengan “al-maidah” yang berarti “hidangan” dalam pengertian yang diambil dari salah surat dalam kitab suci al-Quran. Jika memang keduanya merujuk kepada istilah bahasa Arab, maka tentu saja memiliki kerancuan luar biasa karena memang keluar dari kaidah-kaidah yang benar dalam bahasa Arab. Inilah artinya, kenapa istilah ini bobot politiknya lebih besar dibanding nuansa keagamaan yang seharusnya dapat lebih bertujuan membawa pesan-pesan keagamaan yang lebih humanis.
Entah kenapa, terkadang banyak istilah-istilah yang dianggap “Islami” oleh sebagian orang, padahal sesungguhnya bahasa merupakan hasil dari perpaduan beragam tradisi dan budaya yang justru tidak selalu berhubungan dengan tradisi agama. Bahasa Arab sendiri sesungguhnya banyak yang terbentuk atau dipengaruhi oleh bahasa Persia atau Turki yang penggunaannya sama sekali tidak terkait dengan konteks keagamaan. Sebut saja misalnya istilah “ummah” yang terambil dari asal kata “umm” yang berarti “ibu” adalah bahasa yang berasal dari zaman pra-Islam yang kemudian diasosiasikan untuk kelompok masyarakat tertentu yang tidak monolitik, tetapi berdasarkan beragam etnik, agama, budaya dan juga memiliki konotasi prilaku dan moral. Hal ini jelas disebut dalam berbagai ayat dalam al-Quran, dimana kata “ummah” dengan berbagai derivasinya, merujuk kepada berbagai hal yang terkait dengan klasifikasi sosial dalam masyarakat. Istilah “ummah” yang lebih spesifik sebagai sebuah masyarakat metropolis kemudian diambil oleh Nabi Muhammad ketika membangun sebuah tatanan masyarakat modern di Madinah untuk pertama kalinya.
Memang serasa sulit untuk dipungkiri, bahwa di beberapa negara mayoritas muslim, Islam sepertinya tetap menjadi sebuah kriteria yang paling tinggi untuk sebuah identitas dan juga loyalitas. Islam-lah yang membedakan dirinya dengan orang lain (insider dan outsider), antara saudara dan orang asing yang tentu saja membedakan dengan kriteria yang terjadi di negara-negara Barat bahwa mereka menunjukkan klasifikasi-klasifikasi politik berdasarkan identitas negara-bangsa, tidak didasarkan pada klasifikasi yang bersifat keagamaan. Umumnya pada sebuah kondisi yang dianggap krisis atau darurat, umat muslim cenderung mendasarkan identitas mereka secara loyal dalam komunitas keagamaan, sehingga yang muncul di permukaan adalah sebuah realita dimana asal-usul etnis, bahasa, atau negara dimana mereka adalah warganya terkesan dikesampingkan. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu yang dianggap tidak kondusif dalam pandangan mereka, realitas ikatan keagamaan berdasarkan “ummah” justru mengalahkan ikatan “negara-bangsa” akibat serangkaian agitasi yang menggugah kesadaran muslim untuk bersikap loyal dan mengikatkan diri mereka pada relasi-relasi yang bersifat keagamaan.
Pandangan yang dirasa sempit dalam memahami konsep “ummah” justru sebenarnya telah mengingkari tradisi Islam itu sendiri yang sejak awal diproyeksikan Nabi Muhammad ketika membangun kota Madinah dalam konsep city-state. Konsep “ummah” yang dibangun semasa beliau masih hidup justru merujuk pada sebuah komunitas yang memperlihat penyatuan dalam beragam klasifikasi sosial, melepaskan ikatan-ikatan kesukuan, kekelompokan dan agama dan digantikan dengan sebuah “ikatan iman” yang lebih luas. Konsep masyarakat Madinah kemudian kemudian diambil menjadi istilah Islami, yaitu “masyarakat madani” yang berkonotasi akan sebuah ikatan sosial yang kosmopolit, memiliki nuansa kemajemukan namun bersatu dalam bingkai keragaman. Pengambilan istilah “madinah” sendiri yang berasal dari kata “din” (agama) dan “mudun” (peradaban) justru bermakna politis, yaitu sebuah masyarakat agamis dan berperadaban.
Sejauh ini, Islam senantiasa menyediakan simbol bagi mobilisasi politik yang paling efektif, entah itu untuk menggerakkan rakyat dalam mendukung dan mempertahankan sebuah rezim yang dipandang memiliki “legitimasi keagamaan” atau sebaliknya, melawan sebuah rezim yang dipandang oleh mereka sebagai tidak “Islami” sehingga benar-benar dianggap telah kehilangan legitimasinya dalam pandangan mereka. Dewasa ini, keterpanggilan mereka untuk semakin gencar menyuarakan beragam rentetan kesalahan yang dilakukan rezim serta keberpihakan rezim kepada sesuatu yang dianggap mereka “tidak islami” justru semakin membesarkan gerakan ini yang pada tahap tertentu justru mempertontonkan simbolisasi agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Simbol tersebut bisa saja dalam bentuk verbal, seperti pidato-pidato politik yang disampaikan tokoh keagamaan atau non-verbal dalam bentuk bendera, lambang, atau istilah-istilah tertentu yang dianggap memiliki konotasi keagamaan.
Pada konteks ini, saya tentunya sepakat dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan bahwa “arabisasi” tidak sama dengan “islamisasi”. Kita seringkali disibukkan oleh istilah-istilah arab yang dianggap bahwa seakan-akan jika seorang muslim tidak menggunakan istilah-istilah arab lantas disebut sebagai orang yang “tidak islami” atau keislaman seseorang justru berkurang ketika tidak mencatut istilah-istilah tertentu yang tidak berbahasa Arab. Hal ini justru bisa ditelusuri bagaimana sejarah awal Islam merujuk pada istilah-istilah atau peristiwa-peristiwa tertentu justru dikaitkan dengan “tempat” atau situasi kesejarahan yang melingkupinya. Nama-nama masjid-pun saya rasa selalu dikaitkan dengan tempat atau lokasi dimana masjid itu dibangun, termasuk istilah-istilah perang misalnya, selalu berhubungan dengan lokasi tempat peperangan atau riwayat kesejarahan tempat peperangan itu terjadi.
Disinilah saya kira, banyak sekali kemudian istilah-istilah agama yang dimonopoli bahkan “dipaksakan” oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mobilisasi politik dan tak jarang kemudian agama dipakai sebagai “alat” pembenaran bagi tujuan-tujuan politik tertentu. Disadari ataupun tidak, “simbolisasi agama” telah menjadi semacam “kekuatan” sosial yang berhasil menempatkan para elit keagamaannya pada posisi “superior” dan sumber kebenaran itu sendiri, bahkan tanpa “reserve”. Konsep “ummah” pada tataran ini justru malah jatuh hanya pada aliansi kekelompokkan yang bersifat ekslusif dan primordial, kehilangan relevansinya dengan konsep “ummah” sebagaimana diproyeksikan Nabi Muhammad pada periode awal kesejarahan Islam sebagai tatanan masyarakat kosmopolit, religius, beradab dan berpadu dalam realitas kemajemukan.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H