Seseorang dikatakan telah “tamyiz” menurut terminologi hukum Islam (fiqh) adalah ketika dia mampu untuk menentukan pilihan dan membedakan mana yang baik dan bermanfaat untuk dirinya dan mana yang buruk dan merugikan dirinya. Sehingga, orang yang disebut dalam kategori tamyiz sejatinya adalah mereka yang secara umur sudah memenuhi (cukup), secara akal sudah dewasa (matang) dan secara keyakinan sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, jika seseorang belum bisa memilih dan membedakan sesuatu baik atau buruk bagi dirinya dianggap orang yang belum “tamyiz” sehingga konsekuensinya tidak ada hukum yang berlaku untuk seseorang dalam keadaan ini.
Dalam konteks pilihan politik, tamyiz justru diatur berdasarkan umur, dimana seseorang yang sudah mencapai umur 17 tahun dianggap tamyiz dan memiliki hak suara untuk menentukan apapun pilihan politiknya. Mungkin secara psikologis, seseorang yang telah mencapai umur 17 akan mampu memilih dan membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya, termasuk dalam hal pilihan politik.
Dengan demikian menjadi hal penting kiranya dimana seseorang memilih berarti dia telah dianggap mampu membedakan segala hal yang akan berdampak baik maupun buruk, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Memilih sesuatu yang baik pasti ada konsekuensinya begitupun sebaliknya, memilih sesuatu hal yang buruk sudah tentu memiliki dampak keburukan, baik bagi dirinya ataupun lingkungan sekitarnya.
Manusia tentunya selalu dihadapkan pada banyak pilihan, tetapi dengan keyakinan dan kedewasaan pikiran yang dimilikinya, pasti dapat memilih diantara banyak pilihan yang ada untuk sesuatu yang baik atau buruk bagi dirinya. Bahkan, Tuhan ternyata telah menancapkan “ilham” (keyakinan semu) ke dalam hati seseorang sehingga dia akan dituntun untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
“Fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha” (Maka Tuhan mengilhamkan kedalam jiwa itu (jalan) keburukan dan kebaikan, Q.S Asyams: 8). Disinilah terdapat “keyakinan semu” dimana setiap manusia dapat memilih berdasarkan keyakinan hati jalan pilihannya masing-masing, bisa kebaikan atau keburukan. Keyakinan semu yang ada dalam hati seseorang biasanya berimplikasi pada keraguan tentang mana pilihan yang seharusnya dipilih oleh dirinya.
Fiqh tamyiz ketika dikaitkan pada pilihan politik, maka ia tidak hanya berbicara pada tataran rasionalitas yang cenderung mengedepankan sesuatu yang tampak terlihat atau disaksikan dalam sebuah realitas sosial-politik, tetapi lebih berdasarkan keyakinan yang selalu “bertarung” dalam hati seseorang tentang ke arah mana pendulum politik mereka arahkan.
Betapapun hebatnya dan populernya seorang kontestan politik dalam sebuah ajang kontestasi, tetap tidak akan berarti apa-apa karena sesungguhnya pilihan politik seseorang akan selalu berangkat dari keyakinan pilihan mereka masing-masing, bukan pada ukuran realitas sosial-politik yang diperlihatkan. Pada akhirnya, rasionalitas akan dikalahkan oleh keyakinan karena ibarat kita hendak naik kendaraan, kita cenderung tidak mempertanyakan siapa sopirnya, bagaimana track record-nya tetapi keyakinan akan membawa kita kepada tujuan yang hendak kita capai.
Dalam sebuah realitas kontestasi politik, umumnya penentuan pilihan akan didasarkan terlebih dahulu pada hasil rekaman image pada ruang kognitif seseorang. Beragamnya pilihan politik cenderung sulit diidentifikasi oleh seseorang, kecuali ketika sisi kognitifnya telah terlebih dahulu merekam image politik sebuah parpol atau seorang kontestan secara kuat. Inilah kemudian yang umumnya selalu dijalankan oleh parpol atau kontestan politik, senantiasa memperkuat image yang baik yang ditanamkan dalam benak setiap orang agar dapat lebih mudah didentifikasi ketika seseorang dihadapkan pada sebuah pilihan politik.
Image yang kuat memang dapat dijadikan petunjuk oleh masyarakat, walaupun tidak pernah ada jaminan bahwa kuatnya sebuah image politik yang ada pada seorang kontestan politik kemudian dapat menjadi rujukan seseorang untuk memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Ketika masyarakat memiliki ideologi berbeda dengan parpol atau kontestan politik, maka dipastikan mereka tidak akan memilihnya.
Kekuatan sebuah image politik hanya berlaku untuk memudahkan masyarakat mengidentifikasi, untuk memilih atau tidak memilih. Sedangkan pilihan politik yang akan diberikan seseorang justru sangat tergantung dari sistem kepercayaan dan keyakinan yang tertanam dalam setiap masing-masing individu. Disinilah saya kira, begitu kuatnya peran “ilham” atau “keyakinan” yang terlepas dari pengaruh kuat atau lemahnya image politik yang ada.
Sebuah image yang dibentuk oleh seorang kontestan politik pada tahap tertentu hanya mampu menjadi motivasi bagi pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Motivasi ini muncul berdasarkan image dan persepsi masyarakat yang diolah secara kognitif bahwa seorang kontestan—berdasarkan program kerja dan ideologinya—diyakini mampu menyelesaikan persoalan bangsa.