Indonesia hingga saat ini masih memiliki aturan hukum soal hukuman mati terutama bagi para penjahat Narkoba, baik yang mengedarkan atau sebagai bandar. Empat terpidana mati dalam kasus Narkoba telah rampung di eksekusi di Lapas Nusakambangan, Cilacap. Penyelesaian kasus dengan cara hukuman mati ini memang menjadi perdebatan publik, bahkan menuai kritik dari organisasi PBB maupun Amnesty Internasional.
Memang, jika melihat kepada persoalan penghilangan nyawa seseorang secara paksa dalam bentuk apapun, dalam nalar manusia merupakan sebuah pelanggaran hak hidup seseorang dan nurani tentu sangat sulit menerimanya.
Namun, jika melihat kepada dampak menyeluruh terhadap ulah para pengedar dan bandar Narkoba ini yang telah membunuh, menyengsarakan, membuat miskin, menularkan kepada yang lain dan bahkan meracuni anak-anak dibawah umur maka setiap orang akan berpikir ulang tentang hukuman mati yang dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak.
Hukuman mati semestinya tidak dipandang sebagai bentuk pemberangusan hak hidup seseorang secara paksa, tetapi lebih dilihat sebagai hukuman akibat kerugian dan dampak lebih besar terhadap kehidupan generasi manusia lainnya yang justru “mati” akibat penyalahgunaan Narkoba.
Sejauh ini, hukuman mati akan diberlakukan kepada seseorang yang terbukti secara hukum membuat hak hidup seseorang tercabut, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Seorang yang terbukti membuhuh dengan merencanakan atau membunuh secara brutal, seperti memutilasi misalnya maka secara nalar sehat dia wajib menerima hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, meskipun dia hanya sebatas penyuruh bukan eksekutor.
Tak berbeda jauh dengan pengedar atau bandar Narkoba yang meskipun hanya sebatas mengendalikan, bukan eksekutor tetapi karena terbukti secara hukum telah membuat nyawa orang lain melayang akibat penyalahgunaan Narkoba yang diedarkannya, maka selayaknya dia mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Nalar akan condong untuk menghukum seseorang sesuai dengan kejahatannya, meskipun terkadang hati nurani lebih banyak memberikan penolakan atas hukuman yang dianggap kejam ini. Oleh karenanya, berbicara hukum positif berdasarkan nalar, bukan berdasarkan nurani soal penentuan hukumannya. Nurani akan ikut menentukan soal bagaimana hukuman yang layak, tergantung kemana palu seorang hakim diketuk atau kebijakan presiden kepada siapa grasi diberikan.
Saya kira, tidak ada hukuman apapun yang dapat membuat jera seseorang, yang ada hanyalah bahwa setiap orang yang melanggar hukum, baru menyesal ketika dia dihukum. Jika hukuman dapat membuat “efek jera” terhadap seseorang yang melanggar hukum, tentu akan berdampak secara langsung terhadap berkurangnya mereka yang melanggar hukum. Padahal, kita semua tahu, di Indonesia saja, ada permintaan tambahan pembangunan ruang tahanan akibat penuhnya jeruji besi yang ada di hampir seluruh Lapas di Indonesia.
Penjara kita sudah penuh, bahkan sudah tidak lagi mampu menampung setiap orang yang harus dipenjara karena terbukti melanggar hukum. Hal ini membuktikan, bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap ringan-beratnya hukuman seseorang apalagi menggunakan prinsip efek jera untuk setiap hukuman.
Tak jauh beda dengan hukuman korupsi, yang meskipun ada prinsip efek jera yang dipakai, baik dengan cara menyita seluruh aset koruptor, dimiskinkan oleh negara, dipermalukan secara hukum, dicabut hak-hak politiknya, korupsi tetap bergeming bahkan semakin terkesan merajalela. Lalu bagaimana sebenarnya dengan hukum di negeri kita?
Praktek peradilan di negeri kita ini terlalu banyak menghukumi daripada bersikap antisipasi. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Ungkapan tersebut seakan hanya mampu sampai pada tataran konsep, namun praksis politiknya susah dilaksanakan. Padahal, pemberdayaan manusia agar lebih sadar hukum dapat dilalui dalam beragam hal, bisa dengan memberikan pendidikan yang layak, membuka lapangan pekerjaan lebih banyak, memperhatikan rakyat miskin yang kesusahan atau memberikan pelatihan-pelatihan atau mendorong serta memberikan modal kepada rakyat kecil agar dapat berwirausaha secara mandiri.