Usulan hak angket yang sempat mendapatkan protes keras dari masyarakat, termasuk sang pengetuk palu sidang, Fahri Hamzah yang sempat “dibully” massa, nampaknya tak pernah menyurutkan DPR untuk terus “menggempur” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui persetujuan Hak Angket yang segera akan digulirkan. Disinilah saya kira, terkadang sebuah realitas politik tak sama dengan realitas sosial, dimana hak angket yang sedemikian kuat ditolak oleh realitas masyarakat, ternyata berbeda dengan kenyataan di DPR. Beberapa fraksi yang sempat menolak usulan hak angket, belakangan malah mendukung dan hampir dipastikan seluruh fraksi di DPR mendukung penuh pelaksanaan hak angket atas KPK. Hanya tiga fraksi yang sejauh ini konsisten menolak, yaitu PKB, Demokrat dan PKS, sisanya tujuh fraksi mendukung usulan hak angket.
Bergulirnya usulan hak angket yang disahkan melalui ketukan palu sidang Fahri Hamzah, ternyata tetap bertuah. Padahal, publik banyak yang mempertanyakan legalitas dari “ketukan palu” Fahri tersebut, karena dianggap bukan cerminan persetujuan dari seluruh fraksi yang ada. Kritikan yang keras dari masyarakat tetap tak mempengaruhi realitas politik di DPR, dimana Pansus Hak Angket tetap dibentuk, bahkan telah melakukan rapat tertutup diantara anggota Pansus menyepakati pembiayaan, mekanisme serta jadwal kerja para anggotanya. Ini artinya, Pansus Hak Angket KPK tetap bergulir yang bisa saja menjadi pintu masuk untuk “mengganyang” aturan-aturan yang selama ini terlampau powerfull dimiliki KPK.
Libido para wakil rakyat untuk membentuk Pansus Hak Angket KPK, barangkali dikarenakan banyak faktor. Salah satunya kewenangan yang dimiliki lembaga antirasuah ini yang terlampau besar, sehingga dalam banyak hal justru dianggap telah menghambat dan mungkin “mengebiri” tugas dan kinerja DPR. Belum lagi kekhawatiran mereka, setelah beberapa kali KPK memanfaatkan kewenangannya melakukan OTT terhadap para pelaku korupsi, sedikit banyak telah membangun sebuah opini bahwa DPR adalah sarang “koruptor”.
Libido “politik” para wakil rakyat ini semakin memuncak, ketika terbit kebijakan baru pemerintah yang memberikan kewenangan pada aparatur perpajakan untuk mengintip rekening nasabah dengan saldo akhir minimal Rp 200 juta. Rasanya nafsu para anggota parlemen untuk melakukan revisi terhadap UU KPK harus segera terpenuhi.
Tuntutan yang sedemikian deras dari publik agar DPR urung membentuk Pansus Hak Angket tak bisa membendung hasrat mereka yang tinggi agar mereka tetap “terlindungi” dari berbagai “tekanan” dan juga “ancaman”. Saya berasumsi, bahwa semakin hari, DPR semakin terancam oleh berbagai tekanan dari masyarakat, belum lagi oleh beragam kasus korupsi yang dibongkar oleh KPK. Soal persetujuan hak angket yang dianggap ilegal oleh publik, segera direspon oleh DPR untuk mengubah aturan-aturan mengenai pengajuan hak angket yang tertera dalam UU MD3 DPR. Lagi-lagi, mereka yang mendapat kecaman dari masyarakat soal legalitas hak angket KPK, akan diubah segera mekanismenya. Perubahan pasal mekanisme hak angket bahkan telah disepakati Baleg DPR dan pemerintah terutama untuk menghindari adanya multi-tafsir soal sah-tidaknya pembentukan hak angket.
Lengkap sudah, hasrat yang terlampau besar bagi DPR untuk merevisi UU KPK tampaknya sudah ada di depan mata, para wakil rakyat tinggal mengeksekusi saja dan hasrat politiknya yang membuncah selama ini akan segera terpenuhi. Terlepas dari suatu kebetulan ataupun tidak, hampir seluruh fraksi yang mendukung hak angket adalah berasal dari kekuatan politik yang dirugikan nama baiknya oleh kasus E-KTP yang sedang dalam penyidikan KPK. Yang lebih mengherankan, terdapat beberapa fraksi yang pada awalnya menolak pengguliran hak angket, malah saat ini mendukung dengan alasan untuk memperkuat KPK “dari dalam”. Alasan apapun yang diungkapkan ke publik, tidak akan mengurangi libido politik DPR untuk terus melakukan upaya pelemahan terhadap KPK.
Walaupun mekanisme revisi perundang-undangan tetap masuk wilayah tersendiri diluar mekanisme hak angket, namun rasa-rasanya dengan persetujuan atas pembentukan Pansus Hak Angket KPK, DPR akan melakukan evaluasi menyeluruh atas seluruh kewenangan KPK, dari mulai soal prosedur penangkapan, penyelidikan, penyidikan bahkan soal pembiayaan negara yang bisa saja akan menjadi bahan evaluasi DPR. Anggaran negara yang besar untuk operasional KPK, sempat disebut-sebut DPR tak sesuai dengan hasil pengembalian harta hasil korupsi kepada negara yang dilakukan KPK. Melihat dari kenyataan ini, libido politik DPR seakan tak tertahankan, terlebih fungsi DPR sebagai pengawasan, legislasi dan anggaran nampaknya ingin dimaksimalkan, terlebih sejauh ini, KPK merupakan lembaga negara yang sulit “disentuh” DPR.
Bagaikan gayung bersambut, ketukan palu Fahri Hamzah dalam sidang paripurna DPR meskipun sempat diwarnai drama walkout karena menolak pengguliran hak angket, saat ini justru malah berbeda, mereka sepertinya mendukung hak angket sebagai bentuk penguatan solidaritas politik diantara mereka. Hak Angket KPK sepertinya telah “menyatukan” kembali perbedaan politik diantara para anggota DPR, dan satu suara “menggempur” KPK secara konstitusional.
Saya kira wajar saja, bahwa wajah DPR yang pernah tercoreng sejauh ini adalah karena keterlibatan anggotanya dalam beragam kasus korupsi yang diungkap oleh KPK. Solidaritas antarwakil rakyat ini justru tampak menguat, ketika DPR menggulirkan hak angket atas KPK yang dianggap sebagai lembaga “super power” bahkan seringkali “mengangkangi” hak imunitas yang melekat pada mereka. Buktinya, KPK secara sepihak menetapkan “cekal” pada Ketua DPR Setya Novanto yang membuat berang DPR dan membuat nota protes pada presiden.
Saya justru khawatir, ketika masing-masing lembaga negara ini justru tidak menunjukkan kerjasamanya secara baik, tetapi masing-masing mempertahankan ego politik dan arogansinya yang sewenang-wenang. Lihat saja, ketika DPR secara yakin akan sukses “menghakimi” KPK dengan segala kewenangan dan legalitas yang dimilikinya, KPK malah masih pikir-pikir untuk hadir ketika diundang Pansus Hak Angket oleh DPR. Padahal, koordinasi secara baik dan seimbang antarlembaga negara, akan berdampak pada seluruh sistem kenegaraan berjalan secara normal, tanpa kegaduhan.
Cermin negeri kita seringkali mempertontonkan dagelan para elit yang rakyat tidak tahu apa yang mereka perjuangkan dan perebutkan sebenarnya: kekuasaan? jabatan? kedudukan? prestasi? Rakyat hanya dibingungkan oleh hiruk pikuk para elit, sampai-sampai kebutuhan ekonomi mereka seringkali terbengkalai. Rakyat awam hanya menyaksikan bahwa libido politik para elit, baik yang di parlemen atau pemerintahan sedang memuncak, mempertahankan ego-nya masing-masing dan ingin tetap menjadi elit penguasa yang bisa memerintah dan mempengaruhi rakyat banyak.