Hari Senin (12/12) acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di halaman Masjid AlHuda, Menteng, Jakarta Pusat dihadiri oleh calon pejawat gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dalam peringatan itu, Ahok didaulat untuk memberikan sambutan di momen hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut. Banyak kisah yang dia ceritakan, diantaranya adalah pesan sang Ibu yang mengingatkan Ahok agar dapat meneladani sifat-sifat kenabian Muhammad, seperti shiddiq (jujur), amanah (terpercaya/kredibel) dan tabligh (selalu menyampaikan kebenaran) dan fathonah (cerdas/intelektual).
Keempat sifat luhur Muhammad saw ini memang melekat dalam diri Sang Nabi sehingga membentuk sebuah pribadi luhur yang bahkan sulit untuk dicari tandingannya. Muhammad saw memang selalu menjadi panutan umat manusia lintas batas, karena beliau disebut al-Quran sebagai “rahmatan lil’alamin” (menjadi ‘panutan kebaikan’ untuk seluruh alam).
Ahok juga dalam kesempatan tersebut menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas segala tindak-tanduknya yang selama ini membuat bangsa ini heboh dan berpotensi memunculkan konflik, perpecahan dan permusuhan. Ahok jug kemudian memohonkan agar didoakan untuk senantiasa berada dalam bimbingan para ulama dan seluruh masyarakat, sehingga setiap kesalahan yang diperbuat hendaknya selalu diingatkan oleh mereka.
Bahkan, menjelang sidang kasus dugaan penistaan agama yang saat ini sedang menjeratnya, Ahok memohon didoakan oleh seluruh masyarakat agar diberikan kemudahan dalam menjalani sidang yang akan dihadapinya. Tidak ada yang salah dari apa yang diharapkan Ahok, apalagi doa merupakan “kalamu al-ashoh” (perkataan yang paling baik) yang diucapkan seseorang. Doa yang dipanjatkan dengan terlebih dahulu memohon maaf dan menyadari atas kesalahannya adalah salah satu dari adab berdoa dalam ajaran Islam yang memiliki nilai maqbulah (diterima) disisi Tuhan.
Saya teringat akan perkataan Imam Ghazali (1111) yang menyatakan bahwa “addu’a mukhul ‘ibadah” (doa adalah intisari ibadah), dimana seluruh prosesi ibadah yang dilakukan manusia tidak bukan melalui proses dialogis dengan Tuhan yang dikenal dengan doa. Doa dengan demikian merupakan permintaan seseorang kepada Tuhannya, siapapun, dimanapun, kapanpun, karena doa merupakan inti dari ibadah itu sendiri. Mana ada ibadah yang tanpa dijalani dengan doa? Seluruh rangkaian ibadah yang dijalani semua agama apapun di dunia ini pasti senantiasa menyertakan doa di dalamnya. Dengan demikian, hak setiap manusia adalah “meminta” atau berdoa kepada Tuhan dan Tuhanlah yang memiliki hak prerogratif untuk mengabulkan dan menolak doa seseorang.
Walaupun demikian, tentunya ada doa-doa khusus yang dimintakan kepada Tuhan untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti misalnya doa meminta hujan, istighasah untuk keselamatan bangsa atau “doa politik” yang diucapkan seseorang berkait dengan dirinya yang menjadi kontestan dalam sebuah kontestasi politik. Saya menyebut dengan “doa politik” karena momentum doa yang diucapkan Ahok pada saat acara Maulid Nabi Muhammad di Jakarta, berkait erat dengan persoalan dirinya yang dililit masalah elektoral.
Kasus penistaan agama yang saat ini sedang disidangkan, sedikit banyak telah menjadi beban tersendiri bagi elektabilitas Ahok di Pilkada DKI 2017, bahkan beberapa lembaga survey banyak yang merilis elektabilitas dirinya turun menjelang Pilkada kali ini. Saya kira, kisah-kisah yang diceritakan mantan Bupati Belitung Timur di acara Maulid Nabi Muhammad kemarin, termasuk permintaan maaf dan minta didoakan adalah upaya Ahok untuk kembali diterima oleh warga Jakarta sebagai bagian dari upaya seorang kontestan politik yang memiliki hak untuk dipilih pada perhelatan politik tahun depan.
Sebagai seorang muslim, saya tentu meyakini bahwa doa yang dipanjatkan seseorang kepada Tuhan pasti akan dijawab oleh Tuhan sesuai dengan hak prerogratif diri-Nya. Tuhan senantiasa memberitahukan kepada manusia bahwa diri-Nya dekat dengan mereka, sehingga sudah sepatutnya manusia selalu berdoa meminta harapan yang diinginkannya kepada Tuhan.
Al-Quran menjelaskan, “Dan apabila kamu (Muhammad) ditanya (oleh mereka) tentang Aku, katakanlah bahwa Aku dekat, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, taatlah kepada-Ku dan berimanlah kepada-Ku, semoga mereka menjadi orang-orang yang diberi petunjuk (dalam kebenaran),” (QS. al-Baqarah: 186). Dalam ayat ini terpetik jelas, bahwa memohon doa kepada Tuhan merupakan proses dialogis untuk mencapai sebuah kebenaran dengan konsekuensi bahwa seseorang harus berada dalam ketaatan dan keyakinan kepada Tuhan. Bahkan cara “mendekati” Tuhan bisa saja melalui “washilah” (perantara) orang-orang yang taat dan soleh untuk mendoakan dirinya agar lebih mudah terkabul.
Ahok, saya kira, sedang berada dalam posisi “bersalah” sehingga pertemuan pada acara Maulid Nabi Muhammad dijadikan sebagai kegiatan meminta maaf sekaligus memohon doa kepada para ulama, asatidz dan orang-orang soleh agar diberi keringan beban yang saat ini terasa berat dihadapi. Bukan hanya kasus penistaan agama yang saat ini dihadapinya, tetapi juga stigmatisasi buruk sebagian besar umat Islam yang dialamatkan kepadanya selama ini.
Proses dialog dengan sesama manusia nampaknya selalu mengalami kebuntuan dan kegagalan, maka dalam rangka mencari “kebenaran” Ahok memohon didoakan kepada para ulama agar senantiasa diingatkan dan dimudahkan dalam menanggung semua beban yang saat ini dipikulnya. Upaya melakukan dialog dengan Tuhan melalui washilah doa nampaknya menjadi jalan satu-satunya yang saat ini dijalankan Ahok, karena memang semua pintu dialog dengan sesama manusia sudah benar-benar tertutup.