Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Djarot dan Pecinya di Putaran Kedua Pilkada Jakarta

24 Maret 2017   11:34 Diperbarui: 25 Maret 2017   00:00 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang akan digelar bulan April mendatang akan nampak semakin seru dan kompetitif jika dilihat dari antusiasme masyarakat yang begitu tinggi dalam berebut pengaruh terhadap masing-masing kandidat yang ada. Kelompok pendukung Anies-Sandi maupun pendukung Basuki-Djarot tampak saling melontarkan isu-isu politik terkait keunggulan masing-masing pasangan calon (paslon). Tidak hanya berebut simpati dan pengaruh di dunia maya, di dunia nyata-pun tak luput dari saling berebut pengaruh dan membangun image politik positif terhadap keberadaan dua paslon. Masing-masing pendukung paslon terlihat berjibaku mendekonstruksi setiap image politik negatif yang melekat di masing-masing kandidat. Paslon nomor urut 3, Anies Baswedan  yang pernah diisukan mempunyai “istri simpanan” atau isu korupsi yang dihembuskan ketika dirinya menjadi menteri pendidikan terus ditepis dengan merekonstruksi image positif melalui berbagai macam cara.

Tak berbeda dengan paslon nomor urut 2, Basuki-Djarot, melalui para pendukungnya, image politik mereka yang pernah merosot akibat isu penistaan agama dibangun kembali dengan cara membangun simpati masyarakat yang didasarkan atas sentimen-sentimen keagamaan. Gubernur (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok misalnya meresmikan cagar budaya situs Mbah Priok yang merupakan makam seorang ulama Betawi yang disakralkan masyarakat muslim Jakarta Utara, berkunjung ke salah satu tokoh NU di Jawa Timur atau beragam kegiatan lain yang dapat menguatkan sentimen keagamaan. Belum lagi cawagubnya, Djarot yang terlihat beberapa kali mengikuti serangkaian kegiatan keagamaan, baik itu dzikir bersama, peringatan keagamaan atau tiba-tiba tampil dihadapan publik semakin agamis dengan atribut-atribut keagamaan yang dikenakannya. Membangun atau rekonstruksi image politik adalah hal yang sangat penting, karena akan memberikan “kesan positif” dalam setiap benak masyarakat.

Untuk lebih meningkatkan sebuah citra politik, pasangan urut nomor dua bahkan mencoba memposisikan dirinya melalui construed external image dengan mengganti foto cawagubnya Djarot tampil berpeci hitam di surat suara untuk dicoblos di Pilkada Jakarta putaran kedua nanti, padahal sebelumnya foto Djarot di surat suara yang lalu tanpa mengenakan peci hitam. Saya kira, paslon nomor urut dua di Pilkada DKI ini menyadari betul bahwa perlu melakukan dekonstruksi image yang sejauh ini melekat kepada diri mereka. Peci tidak hanya merupakan simbol budaya Indonesia, tetapi juga atribut keagamaan yang seringkali diidentikkan dengan atribusi keislaman. Identitas yang dibangun melalui “peci” bukan sekedar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi sudah menjadi semacam pelekat (attachment) yang dapat berpengaruh terhadap emosional pemilih. Disinilah saya kira, bagaimana upaya merekonstruksi image politik agar dapat menyesuaikan dengan sisi kognitif masyarakat, sehingga identitas apapun selalu ditonjolkan guna meraih simpati para pemilih.

Sebuah image politik yang dibangun, memang tidak juga sepenuhnya mencerminkan suatu realitas yang objektif. Seringkali sebuah image hanya bagian dari imajinasi yang terkadang berbeda dengan kenyataan fisik. Tidak hanya Djarot yang dalam surat suara tampak berpeci, paslon nomor urut tiga, Anies-Sandi sudah terlebih dahulu membangun image dirinya dengan berpeci yang tampak lebih melekat sejak pilkada DKI putaran pertama. Kenyataan sehari-hari diantara semua paslon adalah jelas tidak berpeci sehingga peci bisa menjadi identitas mereka hanya pada saat-saat membangun image politik ditengah masyarakat. Masing-masing kandidat menyadari, bahwa sebuah image politik mampu mempengaruhi opini publik dan menyebarkan makna-makna tertentu kepada publik.  

Memang, hal yang paling menarik adalah ketika foto Djarot yang tampil berpeci di surat suara pada Pilkada DKI putaran kedua nanti. Hal ini mungkin didasarkan oleh serangkaian pengalaman dirinya ketika berkampanye mendapatkan resistensi ditengah masyarakat Jakarta. Image yang kadung negatif akibat terpaan isu penistaan agama yang melilit Ahok berimbas resistensi masyarakat terhadap dirinya. Bahkan tak jarang, beberapa kali Djarot diteriaki “kafir” oleh sebagian masyarakat Jakarta sehingga sangat mengganggu beragam aktivitas politik dirinya ketika harus terjun ke masyarakat. Sebutan “kafir” pun tampaknya ditepis dengan cerdas oleh dirinya, dengan menyatakan “kafir” adalah istilah lain yaitu “kangen farida” (farida adalah istri Djarot) dimana secara tidak langsung dia mendekonstruksi image negatif yang selama ini melekat kepada dirinya akibat isu penistaan agama yang melilit partner pasangannya Ahok. Maka, upaya yang kemudian dijalankan adalah terus menerus membangun citra positif ditengah sentimen keagamaan yang semakin menguat, dengan merangkul berbagai kalangan muslim melalui serangkaian kegiatan keagamaan yang senantiasa diikuti oleh dirinya.

Lagi pula, Djarot merupakan representasi dari PDI-P yang masih memiliki kesan tradisonalisme politik, dimana konstituen pendukungnya adalah mereka yang memiliki “ikatan batin” dengan garis keturunan Soekarno bukan sepenuhnya partai yang beridentitas modern yang selalu mengedepankan rasionalitas politik. Saya kira, nilai-nilai tradisional lokal, baik itu berupa sentimen terhadap nasionalisme sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Proklamator, identitas-identitas kepolitikan yang selalu menyertainya selalu menjadi tujuan perjuangan para pengikut dan simpatisannya. Identitas Soekarno yang selalu berpeci juga melekat dan bisa menjadi pengaruh atau memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut. Maka secara tidak langsung, masyarakat awam-pun pada akhirnya akan memposisikan Djarot dan PDI-P sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional yang diyakini oleh mereka. Perubahan foto Djarot dalam surat suara pilkada DKI putaran kedua dengan berpeci, saya kira, merupakan image yang bagus, sehingga diyakini dapat memberikan efek positif bagi masyarakat pemilih untuk memberikan suara kepadanya nanti.

Sulitnya membangun positioning dalam hal platform atau program kerja yang rata-rata selalu memiliki kesamaan dan keunggulan diantara masing-masing kandidat, kemudian membawa Djarot dan PDI-P menggeser strateginya melalui serangkain dekonstruksi image negatif dengan membangun citra positif melalui penguatan sentimen keagamaan. Diakui atau tidak, membangun kembali image politik agar tertanam didalam benak masyarakat dalam rentang waktu yang cukup singkat adalah pekerjaan yang sangat sulit. Masayarakat dengan berbagai asumsi politiknya merupakan masyarakat dengan derajat kebebasan (degree of freedom) yang cukup tinggi sehingga butuh waktu lama untuk dapat mempersepsikan serangkaian informasi kepada mereka. Maka, cara mudah dan singkat untuk menanamkan image dalam persepsi masyarakat adalah dibuat surat suara dengan foto Djarot menggunakan peci. Peci paling tidak dapat menjelaskan identitas dirinya sebagai seorang muslim, warga negara Indonesia asli dan menjunjung tinggi aspek nilai dan budaya Indonesia.

Meskipun sebuah image itu memiliki kompleksitas yang tidak saja abstrak, tetapi juga harus dapat memenuhi unsur kognitif sekaligus afektif yang akan diterima oleh masyarakat, namun saya rasa, peci dapat menjadi domain image yang dapat memenuhi unsur keduanya. Pertimbangan rasional dan emosional masyarakat nampaknya sedikit banyak akan terpengaruh oleh image peci yang melekat dalam diri Djarot pada sebuah surat suara. Memilih dan mencoblos di bilik suara selalu bermain pada realitas rasional dan emosional sekaligus, sehingga foto Djarot dengan berpeci tentu memiliki pengaruh pada saat masyarakat melaksanakan pencoblosan di bilik-bilik suara.

Wallahu a’lam bisshawab        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun