Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anomali Anti Narkoba

27 Juni 2016   10:44 Diperbarui: 27 Juni 2016   10:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi pada perhelatan Hari Anti Narkoba Internasional di Jakarta menyatakan bahwa narkoba sudah menjadi racun bagi 5,1 juta rakyat Indonesia dan sudah menjadi kejahatan yang multi level dalam masyarakat, mulai dari anak-anak TK hingga dewasa, mulai dari buruh sampai pejabat pemerintahan. Sampai-sampai, presiden jika tidak melihat kepada aturan yang berlaku akan memerintahkan aparat agar men-dor para pengedar narkoba yang telah meresahkan dan merusak generasi bangsa. Narkoba seakan menjadi musuh bersama bagi negara, karena sifatnya yang merusak, membunuh dan menghancurkan elemen-elemen kemanusiaan. Tidak pernah ada jeranya para pengedar narkoba, karena memang belum pernah di-dor secara langsung di tempat.

Disaat gencarnya pemerintah menyuarakan dukungan untuk melawan segala macam bentuk peredaran narkoba, disaat yang sama masih banyak juga peredaran narkoba justru dikendalikan oleh jaringan mafia yang sedang menjalani hukuman di penjara. Bahkan para pengedar yang sudah divonis seumur hidup atau mati sekalipun masih menikmati enaknya berbisnis barang haram tersebut dan mereka seakan menjadi “raja” di setiap tahanan yang mereka tempati. Mereka yang telah divonis mati yang secara undang-undang telah sah, juga belum tentu akan dieksekusi kalaupun dieksekusi tidak pernah menunjukkan kejelasan, benarkan mereka sudah di eksekusi? Buktinya, para pengedar narkoba tetap leluasa, nyaman, bahkan lebih kreatif dalam strategi melakukan peredaran barang-barang haram tersebut.

Keseriusan Presiden Jokowi dalam melawan peredaran narkoba belum bisa secara menyeluruh diamini oleh para bawahannya. Bahkan, masih terdapat perwira polisi yang menangani kejahatan narkoba justru terlibat dalam peredaran sindikat narkoba. Ironi, negara melawan narkoba tetapi oknum aparat justru mengedarkannya. Ini artinya, perang melawan narkoba barulah sebatas jargon yang menjadi retorika negara dalam setiap perhelatan anti narkoba.

Terbongkarnya modus-modus yang dilakukan oleh para pengedar bisnis obat terlarang ini oleh negara tidak serta merta menyurutkan semangat para pengedar untuk memutar otak bagaimana peredaran narkoba bisa semakin tak terendus oleh pihak aparat. Saya kira, negara masih lemah karena tidak adanya keseriusan aparat dan koordinasi yang menyeluruh antar aparat-masyarakat dalam pemberantasan narkoba. Narkoba tetap diminati oleh banyak kalangan, anak-anak, pemuda, orang tua, aparat, pejabat, para artis dan banyak yang lainnya. Himbauan presiden agar di-dor terhadap para pengedar narkoba juga tidak pernah menyurutkan bisnis menggiurkan barang haram tersebut.

Memang sangat mengerikan peredaran dan dampak narkoba yang menggurita di negeri ini. Menurut laporan dari BNN, kematian para pengguna narkoba mencapai angka 12.044 pertahun, jika dirata-ratakan berarti kira-kira 33 orang perhari. Belum lagi kerugian yang diderita secara sosial ekonomi akibat narkoba yang meningkat dari tahun ke tahun. BNN mencatat, tingkat kerugian ekonomi-sosial tahun 2008 mencapai 32,44 milyar dan tahun 2014 sudah pada angka 63,14 milyar. Terlihat peningkatan yang mencapai 50 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Data-data seperti ini mestinya tidak hanya berhenti di BNN, tetapi merupakan kajian serius aparat terkait yang memiliki hubungan sosial kemasyarakatan agar dapat menekan angka peredaran narkoba secara lebih intensif. Jika presiden saja sudah menyatakan perang melawan narkoba, maka sejatinya seluruh jajaran dibawahnya juga sama, berperang melawan narkoba.

Persoalan narkoba bukanlah persoalan sederhana, dia sudah menjadi kegiatan massif secara internasional yang mengalir sejak dari hulu ke hilir. Yang terlihat saat ini hanyalah pemberantasan peredaran narkoba yang baru menyentuh wilayah hilir, belum mengungkap atau memberantas pada wilayah hulu-nya.  Para pengedar jaringan internasional seakan lenyap, bagaikan hantu yang tidak dapat terdeteksi keberadaannya, kirena sejauh ini yang ditangkap kebanyakan hanya para pengedar kelas teri, belum menangkap atau menghukum mati para pengedar kakap-nya. Walaupun terdapat beberapa pengedar kelas kakap yang tertangkap, itupun masih bebas berbisnis dibalik jeruji besi menikmati hasil penjualan narkoba-nya dan “berbagi” kesenangan dengan aparat. Sebuah ironi yang yang dipertontonkan negeri ini.

Apalagi eksekusi hukuman mati yang masih belum jelas terhadap para pengedar narkoba, kapan akan dilaksanakan. Narkoba yang jelas-jelas membuhuh jutaan orang terkesan diulur-ulur karena bisa jadi masih ada “kepentingan” yang masih bermain di wilayah tersebut. Berbeda dengan hukuman mati para teroris bahkan tembak mati para teroris di tempat yang hanya berakibat pada kerusakan lebih sedikit dibanding narkoba. Jika kejahatan teroris dapat dilakukan tembak di tempat, kenapa tidak bisa dilakukan dengan para penjahat narkoba?

Padahal ekses dari kejahatan narkoba jauh lebih besar dibanding kejahatan terorisme. Keinginan melawan narkoba hanya menjadi anomali ditengah tumbuh suburnya keuntungan yang diraih dari bisnis narkotika ini. Jika negeri ini sudah darurat narkoba, maka buatlah shock therapy seperti penangkapan para teroris, sehingga mereka justru lebih sulit bergerak di tengah masyarakat. Saya justru setuju ketika kejahatan narkoba perlakuannya sama dengan penangkapan para teroris. Karena keduanya jelas-jelas merusak cara hidup masyarakat, merusak sendi-sendi budaya dan agama masyarakat dan yang jelas membunuh masyarakat secara bertahap dan massif.

Tetapi, nampaknya kejahatan narkoba masih seringkali mendapat “perlindungan” atau “beckingan” aparat sehingga kegiatan peredaran narkoba tidak pernah berhenti. Penangkapan para bandar narkoba hanya sekedar “pindah tempat” bisnis mereka yang tadinya di rumah sekarang di penjara. Ironinya, hasil keuntungan penjualan barang haram tersebut seringkali menjadi ajang korupsi yang melibatkan aparat dan jarang sekali terendus oleh pihak penegak hukum sekalipun! Padahal, gelontoran uang milyaran rupiah justru ada pada kasus korupsi narkoba tidak hanya sekedar korupsi di jajaran pemerintahan dan politik yang terlalu sering diungkap. Dari sinilah terlihat lebih jelas, bahwa sebenarnya narkoba belum benar-benar menjadi ancaman bagi negara, sehingga belum terlalu penting untuk melakukan perlawanan yang sesungguhnya. Inlah bedanya penangan penyelesaian negara terhadap terorisme dan narkoba.

Dengan demikian, buatlah kejahatan narkoba melalui hukuman yang dapat menimbulkan efek jera, sama halnya dengan kegiatan terorisme. Keseriusan penangan kejahatan dan kerusakan yang ditimbukan oleh narkoba harus benar-benar dilakukan serius oleh negara tidak hanya sebatas retorika dalam perhelatan-perhelatan anti narkoba saja. Keseriusan harus dibuktikan melalui segera dieksekusi para gembong narkoba yang telah lama divonis mati tetapi masih terlihat tenang-tenang saja di penjara, bahkan mereka masih dapat berbisnis seperti biasa. Jika negara ini negara hukum, maka selayaknya tegakkanlah hukum, bukan mengulur-ulurnya. Penegakan hukum justru akan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan negara berarti berpihak pada supremasi hukum, bukan supremasi para pengusaha dan pebisnis.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun