Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Angkot dan Kejahatan: Wajah Buruk Transportasi Kita

12 April 2017   11:12 Diperbarui: 12 April 2017   11:19 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geliat modernisasi bidang transportasi yang saat ini menjamur di kota-kota besar khususnya Ibu Kota ternyata tidak linier dengan jaminan keamanan dan juga kenyamanan yang seharusnya diterima publik. Infrastruktur raksasa yang dibangun semisal Mass Rapid Transit (MRT), penambahan armada modern yang terkoneksi seperti TransJakarta, angkutan umum berbasis daring, keseluruhannya tentu tidak akan berdampak lebih besar untuk menarik ekspektasi publik beralih menggunakan moda transportasi umum sepanjang tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pihak pemerintah. Saya kira, modernisasi transportasi dengan beragam derivasinya harus juga diiringi oleh jaminan keamanan dan kenyamanan yang diberikan kepada publik, sehingga publik diyakinkan ketika mereka harus beralih dari moda transportasi pribadi ke angkutan publik.

Terutama jaminan keamanan, yang sejauh ini selalu menjadi PR besar bagi pemerintah yang rasa-rasanya belum mampu memenuhi target maksimal. Tidak seragamnya sistem dan aturan yang dibuat untuk beragam moda tranportasi publik, baik angkot, bus dan kendaraan umum lainnya, belum lagi ditambah oleh isu pungli atau aksi “kongkalikong” antara aparat dengan para pemilik transportasi umum, menjadikan wajah transportasi kita carut-marut bahkan bisa dibilang “buruk”. Sebagai pengguna transportasi publik, sudah puluhan tahun rasanya bahwa image transportasi publik di wilayah Ibu Kota cenderung “tidak aman” karena maraknya aksi kejahatan yang semakin agresif dijalankan justru pada angkutan-angkutan umum yang bersifat publik.

Kasus yang menimpa seorang ibu dan anaknya yang disandera oleh seorang pelaku kejahatan di dalam angkot Koperasi Wahana Kalpika (KWK) jurusan Rawamangun-Pulogebang pada Ahad (4/9) yang lalu justru akan memprediksi semakin meningkatnya ketakutan publik dalam menggunakan transportasi umum. Kasus ini saya kira, bukan kali ini saja yang dirasakan oleh sekian banyak orang yang “terpaksa” menggunakan jasa angkutan umum, semisal angkot atau bus. Beberapa tahun yang lalu, saya juga merasakan hal yang sama, dimana kejahatan yang begitu jelas didepan mata menimpa seorang wanita, tetapi kita-pun serasa tidak mampu berbuat apa-apa. Saya sendiri yang beberapa tahun sempat menjadi penikmat angkutan umum, justru beberapa kali pula terimbas aksi kejahatan, entah itu ditodong, dicopet atau modus-modus aneh lainnya yang dijalankan melalui serangkaian drama yang justru membuat kita lengah.

Sejauh ini, ketika kemudian terungkap berbagai modus kejahatan yang dilakukan dalam transportasi umum seperti angkot, yang akan menjadi tertuduh dan tersangka selalu mereka yang berprofesi sebagai “supir tembak”. Istilah “supir tembak” seakan menjadi “pesakitan” yang justru publik tidak pernah tahu dan menyadari jika angkot yang ditumpanginya dikemudikan oleh seorang “supir tembak”. Lalu, jika “supir tembak” kemudian menjadi biang kisruh keamanan dan kenyamanan penumpang, adakah aturan tegas yang dapat menjatuhkan sangsi kepada para pemilik angkot? Saya kira, publik tidak perlu dipusingkan oleh keadaan para “supir tembak” yang jelas seluruh masyarakat sangat mengharapkan bahwa keamanan dan kenyamanan tranportasi umum dapat dijamin oleh pemerintah, bagaimanapun caranya.

Bagi saya, image Ibu Kota sebagai kawasan “rawan kejahatan” belum dapat dihilangkan hingga saat ini, padahal pembangunan infrastruktur yang akan dijadikan media bagi layanan transportasi publik sedemikian digencarkan. Saya justru khawatir, bahwa proyek pembangunan infrastruktur transportasi publik tanpa linier dengan jaminan keamanan pada akhirnya hanya sebatas “ukuran kebanggaan” bahwa Ibu Kota semakin modern menyusul kota-kota besar lainnya di wilayah Asia Tenggara yang sudah lebih terkenal dan memodernisasi lewat layanan transportasi publik. Saya kira, beralihnya orang-orang Singapura menggunakan metoda transportasi publik, tidak sekedar karena mereka merasa nyaman, tetapi juga ada konsekuensi keamanan yang ketat dan terjamin dari otoritas setempat selama mereka menggunakan layanan transportasi publik.

Kasus penodongan dan penyanderaan yang terjadi baru-baru ini yang menimpa salah satu angkutan umum di Ibu Kota saya kira justru menjadi preseden buruk bagi berkurangnya warga untuk lebih memilih transportasi umum lainnya, termasuk bus TransJakarta yang dikelola pemerintah. Bus Transjakarta yang senantiasa dimodernisasi-pun belum jelas jaminan keamanannya, karena tindak kejahatan, seperti pencopetan atau bahkan pelecehan seksual justru masih marak terjadi dan luput dari pantauan petugas. Yang lebih mengerikan lagi, mereka yang sesama menjadi penikmat layanan publik ini seakan “nafsi-nafsi”, individualis dan merasa “masa bodo” terhadap aksi kejahatan yang menimpa sesama pengguna lainnya. Bagi saya, justru ini menjadi hal yang paling krusial yang harus diupayakan pemerintah, bahwa jaminan keamanan pengguna transportasi umum harus lebih diutamakan daripada sekedar “memoles” wajah baru dunia transportasi publik.

Sulitnya memberi jaminan keamanan dan kenyamanan bagi transportasi publik, tidak terletak hanya pada aturan yang tidak seragam dan cenderung tidak ketat pada tahap seleksi angkutan umum “layak pakai”. Kita semua tahu, sistem uji KIR yang sempat ketat sebagai aturan bagi layak-tidaknya sebuah angkutan publik, saat ini entah tak pernah terdengar lagi. Uji KIR seakan hanya sebatas “lips service” dan pada tataran prakteknya seringkali melibatkan pungli dan “kongkalikong” antaraparat, sehingga tanpa uji KIR ketat-pun angkutan umum bisa dengan senang hati melenggang di Ibu Kota. Padahal, uji KIR justru menentukan terhadap kelayakan dan juga “kenyamanan” bagi para pengguna angkutan umum, dimana sebenarnya terdapat “kode SOS” yang dipasang diatas angkot, semisal KWK, yang ketika dinyalakan berarti merupakan tanda bahaya dan diduga sedang terjadi sesuatu didalam angkot itu sendiri.

Kita tentu tidak ingin kejadian penyanderaan terjadi berulang dalam sebuah angkutan umum dan ini tentunya harus dijadikan perhatian yang serius bagi pemerintah. Setidaknya, pemerintah harus memiliki semangat “goodwill” yang tidak sekedar pada soal bagaimana memperbanyak transportasi umum yang modern, tetapi yang lebih penting memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi setiap warga yang memang pengguna utama transportasi publik. Kejahatan memang selalu sulit diberantas, tetapi paling tidak, dapat dicegah melalui beragam cara termasuk menghilangkan pungli dan menegakkan aturan-aturan yang ketat kepada para pemilik moda transportasi publik. Jika keberadaan para “supir tembak” seringkali menjadi alasan bagi mudahnya masuk beragam aksi kejahatan, maka seyogyanya hal ini dapat dilarang melalui aturan-aturan yang tegas. Publik nampaknya lebih ingin keamanan dan kenyamanan, meskipun hanya naik angkot ataupun bus daripada tersedianya transportasi yang canggih, tetapi mereka kehilangan keamanannya.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun