Sebagai seorang muslim, saya sangat menyadari sepenuhnya bahwa keikhlasan dan ketulusan hati seseorang dapat menggerakkan apa pun yang telah menjadi keinginannya. Ketika memohon bantuan sesuatu kepada orang lain tetapi tidak didapatkannya, maka jalan yang paling bisa dilakukan adalah memohon kepada Tuhan agar seluruh keinginannya terkabulkan. Hati seseorang mungkin saja sulit terketuk untuk dapat memenuhi keinginan orang lain, tetapi tidak berlaku untuk Tuhan, karena semua permintaan siapa pun pasti akan dikabulkan-Nya.
Pun ketika dilakukan dialog dengan orang lain yang cenderung sulit mendapatkan jalan keluar, maka berdialog dengan Tuhan, melalui doa dan dzikir apalagi dilakukan bersama-sama akan lebih memperkuat esensi sebuah keinginan manusia dalam mencari setiap jalan keluar yang diharapkan. Doa, merupakan proses dialogis antara manusia dan Tuhan yang dapat menggetarkan dan membuka “pintu langit” sebagai sebuah jalan keluar dari berbagai persoalan hidup kemanusiaan.
Inilah barangkali yang saat ini dilakukan jutaan umat muslim Indonesia di Lapangan Silang Monas Jakarta, mereka datang dari berbagai penjuru Tanah Air dengan harapan yang sama memohon kepada Tuhan agar seluruh bangsa ini dilindungi, diberikan kekuatan, dipersatukan kembali dan yang paling penting adalah dijauhkannya negeri ini dari para avonturir politik yang sengaja selalu mencari keuntungan di tengah terpuruknya kondisi sosial-ekonomi dan rongrongan para kapitalis busuk yang sengaja membenturkan rakyat dengan aparat untuk mengejar keuntungan ekonomi mereka sendiri.
Semangat mereka untuk berdoa dan berdzikir bersama di tengah berbagai kesulitan hidup yang saat ini mereka rasakan di negeri ini hendaknya dapat pula mengetuk hati siapa pun, terutama para pemangku negeri ini, agar tidak mudah lengah dalam menghadapi setiap gempuran antinasionalisme, antikebhinekaan dan antidemokrasi.
Sejak pagi ini, tanggal 2 Desember 2016, Jakarta menjadi saksi digetarkannya lantunan dzikir, doa, sholawat dari setiap bibir manusia yang jauh dari ketamakan, keserakahan atau permusuhan. Rintihan dzikir dan doa menggantikan setiap ucapan kecongkakan, hujatan, caci-maki, kebencian atau teriakan kata-kata kotor yang penuh ambisi kekuasaan, fitnah atau tuduhan-tuduhan tak berdasar. Untaian kalimat indah yang penuh nuansa kedamaian selalu mengiringi setiap langkah anak bangsa yang sampai saat ini masih terus menerus berdatangan ke pusat Kota Jakarta.
Sebagai bagian dari anak bangsa, mereka tidak lagi menunjukkan identitas, kelompok, afiliasi atau primordialisme apa pun, karena yang ada dalam masing-masing hati mereka adalah harapan, keikhlasan dan ketulusan yang mendalam untuk perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negeri ini. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika Presiden Jokowi menyatakan bahwa hari ini tidak ada demonstrasi, tidak ada aksi, walaupun pihak-pihak tertentu menamakannya sebagai bentuk “Aksi Super Damai 212”.
Kita tentunya tidak juga dibuat buta, oleh berbagai persoalan bangsa ini yang sudah semakin besar yang terkadang justru terlalu sulit dicarikan jalan keluarnya. Persoalan kebangsaan, kebhinekaan, keadilan masyarakat, ekonomi dan politik seakan menjadi balutan persoalan yang semakin pelik dan mengancam sendi-sendi NKRI yang sejauh ini senantiasa dipertahankan. Mengetuk hati para penguasa memang tidak mudah karena banyaknya beragam kepentingan yang justru merongrong, membelenggu, menelikung dan menjauhkan para penguasa dari rakyatnya. Maka, mengetuk Sang Pemberi Kekuasaan merupakan cara yang paling bermartabat untuk mengingatkan mereka yang telah diberikan kekuasaan menyadari dan memperbaiki kondisi kebangsaan yang telanjur menjadi keropos ini.
Dalam kondisi apa pun, proses dialogis untuk mencapai kebersamaan dan kesepakatan memang seharusnya senantiasa dikedepankan. Inilah yang terjadi pada Aksi Super Damai 212 yang merupakan hasil kesepakatan dan kebersamaan yang berhasil diraih oleh para ulama dan juga umara. Tuhan pun demikian, Dia selalu membuka kesempatan kepada seluruh manusia untuk berdialog dengan-Nya walaupun kenyataannya bahwa Tuhan itu “lebih dekat” dengan siapa pun. Al-Quran menjelaskan, “Dan jika seorang hamba bertanya tentang Aku, sesungguhnya Aku ini dekat (dengan mereka). Akan Aku kabulkan setiap permintaan mereka jika mereka meminta (berdialog) kepada-Ku,” (Q.S. Albaqarah: 186).
Ahli tafsir menjelaskan, bahwa ayat ini berkaitan dengan kondisi peperangan di zaman Rasulullah, di mana para pasukan waktu itu tidak berjalan menuruni bukit atau menaiki gunung, tetapi mereka mengumandangkan takbir dan dzikir berdiam sesaat dalam suasana keheningan namun penuh semangat yang menggelora. Dialog sangat diperlukan, tidak hanya antarsesama manusia, tetapi juga antara manusia dengan Tuhannya.
Proses dialogis tentunya tidak akan pernah berhenti, karena dari proses inilah justru akan tercipta simpul-simpul kekuatan yang mendorong untuk terus dinamis, kreatif yang semakin meningkatkan kemartabatan manusia. Dialog merupakan proses memberi dan juga menerima, sehingga masing-masing akan semakin disadarkan dan diingatkan kembali akan perjuangan sebuah kebenaran. Kebenaran tidak akan terwujud tanpa adanya proses dialogis yang terjalin, baik antarsesama manusia maupun manusia dengan Tuhan.
Menghindari atau alergi terhadap dialog justru semakin menunjukkan kecongkakan dan kesombongan yang semakin jauh menerima sebuah kebenaran. Kita tentunya tidak lupa bahwa keberadaan negeri ini dan segala konsekuensinya yang saat ini ada dan kita terima adalah hasil proses dialogis para founding fathers kita.