Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Masih Bisa Dikalahkan!

31 Maret 2016   15:01 Diperbarui: 31 Maret 2016   15:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelaran Suksesi Pilkada DKI Jakarta yang kurang dari setahun lagi makin membuat greget banyak pihak. Bukan saja kalangan tokoh masyarakat, politisi, pejabat daerah bahkan sampai orang biasa-biasa sudah terlihat mulai berhasrat untuk menjadi orang nomor satu di Jakarta. Bursa cagub di DKI Jakarta semakin semarak, bukan karena faktor penduduk Jakarta yang memang terbanyak, tetapi karena utamanya adalah faktor sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sudah lebih dahulu mendeklarasikan dirinya maju melalui jalur independen untuk ikut kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Seandainya Ahok tidak lebih dulu mendeklarasikan dirinya maju dalam kontestasi pilkada Jakarta nanti, mungkin alur ceritanya tidak akan seramai ini.

Ahok memang populer karena sepak terjangnya yang cukup banyak menyita perhatian publik. Kepopulerannya bukan hanya karena dukungan oleh media massa saja, tetapi juga didukung oleh banyak bukti mengenai keberhasilannya dalam mengurai “kemacetan-kemacetan” dalam berbagai hal di Jakarta, seperti kemacetan birokrasi, pembangunan, komunikasi bahkan kemacetan aspirasi politik rakyat—pada tahap ini, Ahok berhasil membuat aspirasi politik alternatif berupa relawan politik. 

Meskipun popularitas bukanlah segalanya, tetapi yang jelas bahwa bukti-bukti keberhasilan Ahok dalam mengurai banyak hal di DKI Jakarta telah meningkatkan kepercayaan publik atas kinerjanya, mungkin hanya “kemacetan” lalu-lintas di Jakarta yang masih belum dapat diurai oleh mantan Bupati Belitung Timur ini.

Saya jadi teringat tentang inisial namanya yang menjadi sebuah adagium pribadinya, yaitu BTP bukan “Basuki Tjahaja Purnama” tetapi “Bersih, Transparan dan Profesional”. Melalui adagium ini, Ahok terkesan ingin menunjukkan konsistensinya sebagai pejabat negara yang tidak korupsi, terbuka mengenai informasi dan komunikasi berkaitan dengan anggaran-anggaran negara serta bersikap profesional berarti bebas dari segala macam intervensi apapun. Adagium ini selalu dipakai Ahok, paling tidak selama ia masih menjabat sebagai pejabat publik, baik waktu masih di DPR maupun setelah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta . Adagium “BTP” ini memang sudah sejak lama dipakai Ahok sejak menjabat sebagai anggota DPR.

Jakarta saat ini seakan menjadi “magnet” yang melahirkan daya tarik sendiri bagi banyak pihak yang berkepentingan, entah itu karena “keterpanggilan” untuk jadi pemimpin ataukah ada hasrat atau ambisi politik kekuasaan sehingga banyak pihak harus rela terjun langsung menjajaki pertarungan menuju kursi DKI Jakarta satu. Kita bisa saja menilai diantara para calon-calon yang mulai muncul sebagai “penantang-penantang” Ahok, sebut saja misalnya Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Dhani, Haji Lulung, Sandiaga Uno atau bahkan sederet nama-nama yang cukup populer sebagai pemimpin di daerahnya, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, Suyoto dan yang paling mengejutkan adalah dai kondang Yusuf Mansur yang berkeinginan terjun langsung menjajaki kemungkinan elektabilitas dirinya bisa diperhitungkan di ajang suksesi politik di DKI Jakarta nanti.

Menjadi pemimpin adalah mendapatkan privilege, baik berupa kehormatan, gengsi, kedudukan, jabatan dan sederet privilege lainnya yang tentunya kemudian diikuti oleh keuntungan materi. Jika menjadi pemimpin adalah karena “keterpanggilan”, biasanya hal ini dihubungkan oleh adanya mereka yang terpanggil untuk memimpin dan adanya orang-orang yang memilih untuk mengikuti. Nah, kita akan lebih mudah memetakan disini mengenai mereka yang kemudian mencalonkan diri untuk ikut suksesi dalam Pilkada DKI Jakarta nanti, apakah karena keterpanggilan, hasrat ataukah ambisi yang dipertontonkan.

Semakin ramainya bursa pencalonan gubernur DKI Jakarta, maka semakin berpeluang Ahok dikalahkan dalam gelaran suksesi Pilkada Jakarta tahun depan. Meskipun berbagai lembaga survey telah memberikan laporannya mengenai elektabilitas cagub pilhan warga Jakarta, bahwa Ahok tetap masih memiliki rating tertinggi sebagai cagub pilihan warga Jakarta—terakhir survey dilakukan Charta Politika, Ahok mendapat rating tertinggi 51 persen disusul Yusril dengan 11 persen. Meskipun demikian, survey hanyalah “alat ukur” yang dijalankan secara acak untuk mengetahui respon masyarakat, bukan merupakan representasi sesungguhnya atas siapa yang nanti akan dipilih oleh masyarakat Jakarta.

Melihat dari sisi elektabilitas, peluang Yusril Ihza Mahendra mungkin bisa menjadi calon terkuat penantang gubernur petahana Ahok di gelaran kontestasi pilgub Jakarta nanti. Hal ini nampaknya dapat dibaca dari gelagat Ahok, yang selalu merespon pernyataan-pernyataan “nyinyir” Yusril dan para pendukungnya, berbeda dengan ketika Ahok merespon para kontestan lainnya. 

Yusril merupakan tokoh nasional sejak digulirkannya Reformasi 1998, sehingga segmentasi pemilih Ketua Partai Bulan Bintang ini cukup beragam, bisa dari kalangan profesional, politisi, bisnis bahkan kalangan agamawan. Jadi, jika dilihat dari segi popularitas, Yusril cukup bisa menjadi seteru Ahok yang paling diperhitungkan pada saatnya nanti. Jadi, tinggal masing-masing dapat dengan jeli melihat siapa saja segmentasi pemilih mereka karena biasanya hubungan antara kontestan dengan pemilih merupakan hubungan yang tidak selalu stabil sehingga menjadi penting bagi para kontestan memahami warna-warni pemilih yang akan menjadi pendukung mereka.

Yusril memang berasal dari parpol yang tidak memenuhi elektabilitas (parliamentary threshold) untuk bisa masuk di parlemen, sehingga banyak orang beranggapan bahwa pemilih yang mendukungnya relatif sedikit. Tetapi saat ini, Yusril maju sebagai calon independen sehingga memiliki kesempatan lebih luas dalam meraup segmentasi pemilihnya. Sebagai sosok yang mempunyai banyak pengalaman dalam dunia politik—dia pernah dua kali menjabat menteri, sebagai Menkumham dan Mensesneg di dua era presiden berbeda, Megawati dan SBY—bahkan dia dikenal media sebagai Pakar Hukum dan Tata Negara yang memiliki reputasi cukup baik serta memiliki track record sebagai politisi bersih dan tidak bermasalah. Disamping itu, kedekatan ideologi dengan parpol lain, seperti PAN, PKS atau PPP akan membuka peluang lebih besar kepada Yusril untuk terus maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Yusril mungkin bisa menjadi “lawan terberat” Ahok dalam Pilkada Jakarta tahun depan, jika memang kemudian gelaran Pilkada Jakarta hanya menyuguhkan dua atau tiga pasang calon. Saat ini hanya butuh legitimasi dari parpol mengenai siapa yang akan diusung sebagai bakal cagub DKI Jakarta nanti. Karena PDI Perjuangan sudah menegaskan tidak akan mengusung calon dari jalur independen, maka hanya dua parpol besar yang masih terbuka peluang baik mengusung calon sendiri atau mengambil dari cagub yang sudah teruji elektabilitasnya oleh publik, yaitu Partai Golkar dan Partai Gerindra. Namun demikian, keputusan-keputusan politik bersifat dinamis, sehingga kemungkinan-kemungkinan apapun bisa terjadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun