Kisruh antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama atau Ahok dengan bawahannya yang juga Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi sebaiknya tidak dilihat hanya berdasarkan persoalan pribadi yang terjadi antara keduanya. Jabatan walikota merupakan jabatan politik, meskipun di DKI Jakarta terdapat kekhususan bahwa walikota diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, namun tetap seorang walikota terikat tanggungjawab kepada masyarakat yang dipimpinnya. Jabatan politis yang dimaksud adalah bahwa seorang walikota tidak hanya terikat secara hierarkikal dengan pejabat diatasnya, tapi secara langsung memiliki tanggungjawab penuh terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Hal ini karena bahwa posisi walikota secara tidak langsung pengangkatannya berdasarkan atas pertimbangan parlemen, yang dalam hal ini DPRD DKI Jakarta.
Kasus mundurnya Rustam Effendi dari jabatan walikota Jakarta Utara menambah panjang para pejabat potensial yang tidak terindikasi korupsi apalagi politisasi tetapi justru berseteru dengan atasannya, Ahok. Sebelumnya, tercatat, dua pejabat eselon II yakni Haris Pindratno yang menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI dan Tri Djoko Sri Margianto dengan jabatan Kepala Dinas Tata Air DKI juga memilih untuk mengundurkan diri. Bahkan hingga Maret 2015 lalu, ada 15 pejabat eselon IV Pemprov DKI Jakarta yang sudah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya.
Dalam sebuah iklim birokrasi politik pemerintahan yang sehat, seharusnya dibangun tata kelola yang rasional dengan mengandalkan sistem komunikasi politik yang baik. Komunikasi politik antar elemen dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal penting dalam suksesnya pembangunan. Dalam sebuah birokrasi yang rasional, semestinya unsur efektivitas, efisiensi dan equity (pelayanan yang sama) terhadap masyarakat harus menjadi pertimbangan. Komunikasi yang buruk dalam sistem birokrasi justru akan merusak efisiensi birokrasi itu sendiri. Saya melihat, kasus mundurnya Rustam sebagai bentuk buruknya komunikasi politik yang dilakukan Ahok kepada bawahannya, padahal sebuah komunikasi yang baik harus bercerminkan kepada flow information, dimana terjadi proses saling memahami antara pemerintahan dan organisasi-organisasi dibawahnya. Proses komunikasi seperti ini pula dapat mencegah bentuk otoritarianisme “atasan” terhadap “bawahan”, karena secara sadar yang “bawah” akan memberikan respon positif terhadap suatu kebijakan.
Membangun komunikasi politik yang baik dalam sebuah birokrasi pemerintahan juga dapat menciptakan suatu kesatuan pendapat atau konsensus sehingga pada perkembangannya akan menumbuhkan stabilitas politik bahkan pada semua tingkatan. Bagaima pembangunan bisa berjalan dengan baik jika tidak ada kondisi politik yang favourable? Jadi bisa dipastikan, jika instabilitas politik dalam kepemimpinan Ahok terus berjalan maka perlahan tapi pasti, pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan akan mengalami kemacetan total.
Asumsi saya, dalam berbagai kasus mundurnya para pejabat di pemerintahan Ahok lebih banyak timbul karena komunikasi politik yang buruk dan tidak terarah. Ahok kelihatannya dalam menilai seseorang lebih cenderung berpandangan mono-paradigmatik, dimana memandang setiap prilaku “bawahan” nya sangat kaku. Orang-orang yang berpikir mono-paradigma tidak memiliki kemampuan untuk melihat bahwa kehidupan sosial, ekonomi ataupun politik berlangsung dan tegak diatas berbagai paradigma. Contoh yang jelas dari model seperti ini adalah asumsi bahwa individu/kelompok harus berpikir sama dengan apa yang dia pikir. Jadi, ketika ada individu/kelompok yang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya maka jelas berarti dia harus disingkirkan. Fenomena kasus “geng golf” dan mundurnya beberapa pejabat di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta merupakan kasus yang hampir mirip dengan model mono-paradigmatik yang dianut Ahok.
Seyogyanya, kegiatan politik merupakan kegiatan yang mampu mempersatukan beragam kepentingan. Meskipun kenyataannya, dalam kegiatan politik, tak pernah sepi dari konflik, baik konflik atau perang terbuka, sehingga sulit sekali menemukan ruang konsensus didalamnya. Hanya saja, kita mesti melihat bahwa setiap pertikaian dalam ruang politik jarang yang yang sepenuhnya bertikai secara hitam-putih, sehingga masih terdapat ruang dimana masing-masing pihak berpeluang memperoleh kepastian. Disinilah pentinya dialektika, komunikasi yang baik yang didasari oleh kerendah-hatian dalam rangka memperoleh kebenaran. Seorang penguasa yang memiliki kerendah-hatian dalam komunikasi politik akan cenderung menunda penilaian final atas sesamanya. Sebab, pada akhirnya penilaian final atas seseorang oleh seorang penguasa merupakan arogansi yang justru menutup pintu segala hal upaya komunikasi. Komunikasi dan arogansi tak akan pernah bertemu selamanya.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H