Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Agama di Antara “Berlaku Adil” dan “Mencari Keadilan”

7 November 2016   12:06 Diperbarui: 7 November 2016   21:25 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi 4 November. Tempo.co

Membicarakan agama memang nampaknya tak bisa terlepas dari sesuatu yang sifatnya “melangit”, genuine, privat, bernuansa “ketundukan dan kepasrahan”, berdimensi eskatologis (kedisanaan) sehingga terkadang agama seringkali sulit diaktualisasikan dengan nalar kemanusiaan. Nalar “dipaksa” untuk tunduk dan patuh terhadap agama karena memang sejatinya nalar selalu memiliki keterbatasan. 

Dalam banyak hal, agama atau keagamaan seringkali terwujud dalam bentuk semangat spiritualitas yang ketika dihubungkan dengan realitas sosial, agama “dipaksa” pula untuk membumi, menjadi simbol pengikat solidaritas, berwajah kultur dan hadir sebagai jawaban atas segala tantangan dalam sebuah realitas kemanusiaan. Ketika agama sudah mewujud dalam sebuah realitas sosial yang dinamis, maka keberagamaan dituntut untuk dapat berlaku adil terhadap banyak  hal dan dalam keadaan lain, ketika kemudian agama dimarginalkan, dipojokkan atau bahkan “dilecehkan”, agama akan bangkit menjadi gerakan spiritual yang menuntut keadilan.

Melihat fenomena aksi massa 4 November kemarin, saya kira, inilah konteks di mana ketika peran keagamaan justru dimarginalkan, disisihkan bahkan seringkali dilupakan oleh sekelompok orang yang menganggap bahwa agama hanya memikiki peran yang “melangit” dan tidak mungkin “membumi” menjadi sebuah gerakan spiritual yang maha dahsyat. 

Sejauh ini, para pengagum pemikiran Islam-Liberal, justru seringkali menegasikan gerakan spiritual ini dalam konstelasi sosial-politik, bahkan banyak yang mencibir bahwa tingkat keberagamaan masyarakat di era kekinian bukanlah formal-struktural yang dikedepankan tetapi lebih bernuansa substantif-ideologis. 

Namun kenyataannya, aksi 4 November merupakan bentuk nyata dari sebuah gerakan spiritual yang lebih bernuansa formal-struktural (dalam hal membela agama) dibanding sekedar gerakan substantif-ideologis yang cenderung tidak mempercayai bahwa agama bisa menjadi sebuah “gerakan politik”.

Saya beranggapan, melihat gerakan spiritual yang didasarai oleh semangat keagamaan pada 4 November yang lalu, dengan beragam banyak pendapat dan komentar terhadap aksi ini, mungkin dapat dipotret melalui dua perspektif: pertama, mereka yang terlibat aksi secara langsung merupakan bagian kelompok yang benar-benar menginginkan keadilan bagi rasa keberagamaannya dan kedua, mereka yang berada pada posisi “menyetujui” dan memberikan harapan (dengan tidak ikut secara langsung dalam aksi) agar suara-suara yang sudah terwakili dapat lebih cepat memenuhi rasa keadilan. Perspektif kedua nampaknya lebih memandang bahwa prinsip bagaimana berlaku adil dalam konteks semangat keagamaan lebih dikedepankan dibanding tuntutan untuk mencari keadilan dalam sebuah realitas sosial-politik.

Frasa “keadilan” nampaknya menjadi semacam kata kunci yang menggerakan aksi 4 November ini benar-benar dahsyat. Sesungguhnya, dalam sejarah realitas kemanusiaan, di manapun, konsep keadilan ini seringkali menjadi kata bertuah yang dapat menggerakkan siapapun dan kapanpun ketika rasa keadilan itu benar-benar sulit didapatkan. 

Pincangnya sebuah “keadilan” atau bahkan ketiadaan keadilan pasti akan memicu reaksi keras dalam sebuah masyarakat. Indonesia sudah mengalami gerakan massa yang begitu besar ketika reformasi, di mana mereka “jenuh” dengan realitas keadilan yang justru lebih berpihak kepada penguasa sedangkan rakyat dibiarkan mandul untuk mencari keadilannya sendiri. 

Maka, ketika keadilan sulit didapat, atau kualitas keadilan yang diberikan masih berasa “pincang”, justru akan memicu aksi massa untuk menuntut keadilan ditegakkan, tanpa kecuali, tanpa perbedaan dan tanpa ada pretensi apapun.

Namun demikian, konsep agama (Islam) dalam tataran substantif-ideologis memang mengajarkan bagaimana etika keberagamaan dapat diaktualisasikan dalam hubungannya dengan realitas sosial-politik untuk lebih mampu berlaku adil kepada siapapun dan dalam hal apapun. Sikap “adil” ini kemudian bersinggungan secara langsung dengan perbuatan baik (ihsan) yang seharusnya menjadi manifestasi dari entitas keberagamaan seseorang. 

Al-Quran misalnya menyebutkan bahwa Tuhan menyuruh manusia untuk bersikap adil dan berprilaku baik serta menolong kerabatnya yang terdekat, sekaligus Tuhan melarang kepada manusia untuk berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan (QS. Annahl:90). Melihat kepada konteks ayat ini, setiap muslim dapat menilai, sebenarnya bahwa adil akan mendatangkan prilaku kebajikan yang pada tataran tertentu justru dapat mencegah perbuatan-perbuatan kejahatan yang justru akan merugikan manusia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun